Laa Ilaaha Illallaah adalah Manhaj Kehidupan (1)

Beribadah kepada Allah semata merupakan separuh yang pertama dari fundamen akidah Islam, yang diejawantahkan dari syahadat laa ilaaha illallaah (bahwa tiada sesembahan selain Allah). Sedangkan mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam tata cara peribadatan merupakan separuh yang kedua, yang diejawantahkan dari syahadat anna Muhammadan rasulullah (bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah).

Hati yang beriman nan tunduk adalah hati yang mencerminkan prinsip di atas dengan kedua bagiannya. Karena segala amal selain keduanya merupakan hal-hal penyubur iman, sedangkan rukun Islam merupakan konsekuensi dari iman. Maka, iman kepada para malaikat Allah, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan kepada takdir, entah baik atau buruk; demikian halnya shalat, zakat, puasa, dan haji; juga ketentuan-ketentuan, sanksi-sanksi, kehalalan, keharaman, interaksi sosial, ketetapan-ketetapan, dan tuntunan-tuntunan yang bersumber dari Islam, semuanya didasarkan pada prinsip ibadah kepada Allah semata. Seiring dengannya, referensi yang menjadi pijakan semua itu adalah apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Tuhannya, kepada kita.

Masyarakat muslim adalah masyarakat yang mencerminkan prinsip di atas berikut segala konsekuensinya, karena tanpa cerminan semua itu, ia tidak bisa dinyatakan sebagai masyarakat Muslim.

Jelaslah bahwa syahadat laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah merupakan fundamen bagi manhaj integral yang melandasi kehidupan umat Islam dalam segala bidangnya. Maka, kehidupan ini tidak bisa kokoh sebelum fundamen ini tegak terlebih dahulu. Tidak bisa disebut kehidupan Islami jika berlandaskan pada selain fundamen ini, atau berlandaskan pada –satu atau beberapa- fundamen lain bersamanya. Allah berfirman:

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus…” (QS. Yusuf [12] : 40)

“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah…” (QS. An-Nisaa’ [4] : 80)

Pernyataan singkat yang general dan tegas di atas menunjukkan kepada kita tentang definisi semboyan yang membedakan (kalimah fashl) dalam berbagai persoalan yang mendasar berkenaan dengan substansi agama ini dan pergerakannya dalam realitas. Detailnya adalah sebagai berikut:

Pertama, pernyataan tersebut menunjukkan kepada kita tentang definisi karakteristik masyarakat Muslim.

Kedua, ia menunjukkan kepada kita tentang definisi manhaj menumbuhkembangkan masyarakat Muslim.

Ketiga, ia menunjukkan kepada kita tentang definisi manhaj Islam dalam bergumul dengan komunitas-komunitas jahiliyah.

Dan keempat, ia menunjukkan kepada kita tentang definisi manhaj Islam dalam bergumul dengan realitas kehidupan kemanusiaan.

Semua itu merupakan beberapa persoalan mendasar yang sangat urgen berkenaan dengan manhaj harakah Islam, sejak dahulu hingga sekarang.

Nuansa pertama yang membedakan karakter masyarakat Muslim adalah bahwa masyarakat ini berlandaskan pada fundamen ketundukan kepada Allah semata dalam segala perintah-Nya. Ketundukan inilah yang dicerminkan dan dicorakkan oleh syahadat laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah. Ketundukan ini tercermin dalam konsepsi teologis; tercermin dalam ritual-ritual ibadah; dan tercermin dalam hukum-hukum yang diundangkan (asy-syara’i al-qanuniyyah).

Tidak bisa disebut sebagai hamba Allah, orang yang tidak berkeyakinan atas keesaan Allah subhanahu wa ta’ala. Difirmankan dalam Al Quran:

“Allah berfirman, ‘Janganlah kamu menyembah dua Tuhan; sesungguhnya Dialah tuhan yang Maha Esa. Maka, hendaklah kepada-Ku saja kamu takut.’ Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya-lah ketaatan itu selama-lamanya. Maka, mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah?” (QS. An-Nahl [16] : 51 – 52)

Tidak bisa disebut sebagai hamba Allah, orang yang mendedikasikan ritual-ritual ibadahnya untuk seseorang selain Allah –entah menyekutukan-Nya ataupun menafikan-Nya. Firman Allah:

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. Al-An’am [6] : 162  – 163)

Pun tidak bisa dikatakan murni hamba Allah, yaitu orang yang menjalankan hukum-hukum perundangan dari pihak selain Allah, dan selain dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi perantara wahyu Allah.

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?…” (QS. Asy-Syu’ara [42] : 21)

“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” (QS. Al-Hasyr [59] : 7)

Demikianlah sejatinya masyarakat Muslim itu, yakni masyarakat di mana ketundukan semata kepada Allah tercermin dalam keeyakinan dan konsepsi masing-masing individunya; tercermin dalam ritual-ritual peribadatan mereka; dan tercermin dalam tatanan sosial dan konvensi-konvensi mereka. Jika salah satu saja –dari berbagai dimensi ini- tertinggal eksistensinya maka berarti eksistensi keislamannya tertinggal disebabkan ketertinggalan rukunnya yang pertama, yakni syahadat laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah.

Telah kami tegaskan: ketundukan kepada Allah semestinya tercermin dalam konsepsi teologis. Untuk itu, alangkah baiknya, kita menanyakan: apakah konsepsi teologis yang Islami itu?

Ia adalah konsepsi yang muncul dari pencapaian akal manusia berdasarkan pengetahuannya tentang esensi-esensi akidah dari sumber yang bersifat Rabbani (divine). Ia juga merupakan konsepsi yang dijadikan manusia sebagai standar pengetahuannya tentang hakikat Tuhannya, hakikat kehidupan –ghaib ataupun kasat mata- di mana ia menjadi bagiannya, dan tentang hakikat dirinya, yakni diri kemanusiaannya. Konsep ini –berlandaskan prinsipnya- mengatur hubungan manusia dengan semua esensi tersebut; juga hubungannya dengan Tuhannya dalam hubungan yang mencerminkan ketundukannya kepada Allah semata; serta interaksi manusia dengan alam berikut unsur-unsurnya, dengan berbagai organisme berikut habitatnya, dan dengan berbagai individu manusia berikut keanekaragamannya. Yang terakhir ini berupa interaksi yang aturan-aturannya bersumber dari agama Allah, sebagai bentuk realisasi atas ketundukannya kepada Allah semata dalam interaksi tersebut –sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah. Konsepsi ini, dalam ilustrasi yang demikian, telah mencakup segala aaktivitas kehidupan.

Apabila telah dikonsepkan beginilah “masyarakat Muslim”, lantas bagaimana masyarakat ini mampu tumbuh dan berkembang? Bagaimana pula manhaj pertumbuhannya?

Masyarakat seperti ini baru bisa tumbuh setelah terdapat sekelompok orang yang menyatakan bahwa penghambaan diri mereka seutuhnya hanyalah kepada Allah semata; dan bahwasanya mereka tidak menghinakan diri dengan penghambaan kepada selain Allah. Yakni, tidak menghinakan diri dengan penghambaan kepada selain Allah dalam hal keyakinan dan konsepsi, dalam hal ibadah dan ritual-ritualnya, dan lebih dari itu, dalam hal tata aturan dan perundang-undangan.

Di samping itu, masyarakat ini sungguh-sungguh menata seluruh kehidupannya berdasarkan penghambaan yang murni. Mereka menjernihkan sanubari mereka dari unsur kepercayaan yang menuhankan seseorang selain Allah, baik bersama-Nya ataupun tidak. Mereka mensterilkan perasaan mereka dari unsur pemujaan kepada seorangpun selain Allah, baik bersama-Nya ataupun tidak. Mereka memurnikan syariat mereka dari penukilan yang bersumber dari seseorang selain Allah, baik bersama-Nya ataupun tidak.

Ketika itulah, dan hanya pada saat itulah, komunitas ini bisa menjadi Islami, dan begitu pula masyarakat yang dibangunnya menjadi masyarakat Muslim. Sebelum ada sekelompok orang menegaskan kemurnian penghambaan mereka kepada Allah –dengan cara seperti yang telah dijelaskan sebelum ini- maka mereka sejatinya belumlah menjadi kelompok Muslim. Adapun sebelum mereka menata kehidupannya berdasarkan prinsip di atas maka masyarakat mereka belum bisa dikatakan masyarakat Muslim. Demikian ini karena fundamen utama yang menjadi landasan Islam dan menjadi dasar bagi masyarakat Muslim –yakni syahadat laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah– belum tegak dengan kedua bagiannya.

Untuk itu, sebelum memikirkan penegakan sistem sosial yang Islami dan pembangunan masyarakat Muslim yang berlandaskan sistem ini, seyogianya perhatian kita fokuskan lebih dulu pada penjernihan sanubari setiap individu dari penghambaan kepada selain Allah –dalam bentuk apapun sebagaimana pernah kami paparkan. Kemudian individu-individu yang hatinya telah steril dari penghambaan kepada selain Allah, hendaklah bersatu dalam sebuah komunitas Islam. Komunitas –di mana hati para anggotanya telah steril dari penghambaan kepada selain Allah secara keyakinan, peribadatan, dan peraturannya- inilah yang akan mendirikan masyarakat Muslim. Akan bergabung bersama mereka, orang-orang yang ingin hidup dalam masyarakat ini dengan akidah, peribadatan, dan peraturannya, yang mencerminkan penghambaan kepada Allah semata. Atau dengan kata lain: yang mencerminkan syahadat laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah.

Begitulah proses munculnya komunitas Islam pertama kali yang mendirikan masyarakat Muslim. Demikianlah proses kemunculan setiap komunitas Islam, dan proses berdirinya setiap masyarakat Muslim.

Sejatinya, masyarakat Muslim hanya akan tumbuh bila tiap-tiap individu dan kelompok orang bersedia beralih dari penghambaan kepada selain Allah –baik dengan menyekutukan-Nya ataupun menafikan-Nya- menuju penghambaan kepada Allah semata. Bermula dari penegasan beberapa kelompok tersebut untuk menegakkan tatanan kehidupan berlandaskan penghambaan ini, maka tuntaslah proses kelahiran baru bagi masyarakat yang baru, yang berasal dari –dan berhadapan dengan- masyarakat jahiliyah lama, dengan akidah dan tatanan kehidupan yang baru, yang berdiri di atas prinsip akidah tersebut dan mencerminkan fundamen utama Islam dengan kedua bagiannya, yakni syahadat laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan rasulullah.

Masyarakat jahiliyah lama bisa jadi semuanya berafiliasi pada masyarakat Islami, dan bisa juga tidak, sebagaimana mereka bisa saja berdamai dengan masyarakat Muslim dan bisa juga malah memusuhinya. Perlu diperhatikan, catatan sejarah menunjukkan bahwa masyarakat jahiliyah telah melancarkan serangan biadab, baik terhadap para perintis masyarakat ini pada tahap pertumbuhannya –secara individual dan masif- ataupun terhadap bangunan masyarakat ini pasca berdirinya. Hal ini telah terjadi sepanjang perjalanan dakwah Islam sejak nabi Nuh ‘alaihissalaam sampai Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa kecuali.

Wajar saja, masyarakat Muslim baru tidak dapat tumbuh, dan eksistensinya tidak stabil, kecuali jika telah mencapai tahap kekuatan yang dapat digunakan untuk menandingi tekanan masyarakat jahiliyah lama. Kekuatan ini berupa kekuatan akidah dan konsepsi, kekuatan moral dan mental-psikis, kekuatan manajemen dan struktur sosial, serta jenis kekuatan lain yang bisa digunakan untuk melawan tekanan masyarakat jahiliyah dan mengalahkan mereka, atau paling tidak untuk mempertahankan diri.