Laa Ilaaha Illallaah adalah Manhaj Kehidupan (2)

Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah yang dinamakan “masyarakat jahiliyah” itu? Dan bagaimana manhaj Islam menghadapinya?

Masyarakat jahiliyah adalah setiap masyarakat selain masyarakat Muslim. Jika kita hendak mendefinisikannya secara objektif: ia adalah setiap masyarakat yang tidak memurnikan penghambaannya kepada Allah semata. Penghambaan ini terejawantahkan dalam konsepsi teologis, ritual-ritual ibadah, dan dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan definisi yang objektif ini maka include dalam kriteria masyarakat jahiliyah adalah semua masyarakat yang ada di muka bumi sekarang ini!!

Termasuk dalam kategori masyarakat jahiliyah adalah masyarakat komunis. Pertama disebabkan paham atheisnya dan pengingkarannya sama sekali atas wujud Allah. Mereka berpendapat bahwa kekuatan kendali (control power) alam ini berasal dari ‘benda’ atau ‘alam’ sendiri, dan bahwa kekuatan kendali atas kehidupan manusia dan sejarahnya berpangkal pada soal ‘ekonomi’ dan ‘alat-alat produksi’. Kedua karena mereka membangun tatanan ketundukan terhadap partai -dengan asumsi bahwa kepemimpinan kolektif dalam sistem ini adalah berupa realitas yang aktual- bukannya kepada Allah Yang Maha Suci.

Konsekuensi dari konsepsi dan tatanan komunis adalah berupa disfungsi atas potensi-potensi manusiawi, dengan konsiderans bahwasanya kebutuhan-kebutuhan pokok manusia hanyalah sebatas kebutuhan-kebutuhan hidup yang terdiri atas makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan naluri seksual. Mereka menafikan kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia yang membedakannya dari binatang, terutama kebutuhan kepercayaan kepada Tuhan, serta kebebasan memilih dan mengekspresikan kepercayaannya, di samping kebebasan mengekspresikan jati dirinya yang merupakan ciri utama kemanusiaannya. Kesejatian diri inilah yang tampak pada kepemilikan individu dan preferensi pekerjaan dan spesialisasinya, di samping ekspresi unik mulai dari pribadinya sampai pada potensi lain yang membedakan diri kemanusiaannya dari jenis ‘binatang’ atau sekedar ‘alat/piranti’. Karena, konsepsi komunistik dan sistem komunistik adalah sama saja, sering kali menjatuhkan martabat manusia pada level binatang dan level alat (produksi).

Termasuk kategori masyarakat jahiliyah juga adalah masyarakat-masyarakat paganis. Masyarakat ini banyak dijumpai di India, Jepang, Filipina, dan negara-negara Afrika. Dikategorikan demikian, pertama disebabkan konsepsi teologisnya yang berasaskan penuhanan selain Allah -dengan menyekutukan-Nya ataupun menafikan-Nya- dan kedua  karena mendedikasikan ritual peribadatan kepada bermacam-macam dewa dan sesembahan yang diyakini memiliki unsur ketuhanan.

Di samping kedua alasan di atas, juga disebabkan penegakan berbagai sistem dan peraturan yang referensinya selain dari Allah dan syariat-Nya, entah sistem dan peraturan tersebut dikembangkan dari para pendeta, para dukun, orang-orang yang dijadikan perantara dengan Tuhan, ahli sihir, dan para sesepuh masyarakat, ataupun dikembangkan dari lembaga-lembaga sipil sekuler yang memiliki kewenangan legislasi tanpa pertimbangan syariat Allah. Artinya, lembaga-lembaga tersebut mempunyai otoritas tertinggi atas nama golongan, atas nama partai, atau atas nama apa saja. Padahal, sesungguhnya otoritas tertinggi hanyalah milik Allah Yang Maha Suci dan tidak bisa digunakan kecuali dengan cara-cara yang telah disampaikan oleh para Rasul-Nya.

Setali tiga uang adalah masyarakat Yahudi dan Nasrani di seluruh penjuru bumi. Dikategorikan demikian karena konsepsi teologisnya telah mengalami distorsi. Konsepsinya tidak lagi mengesakan Allah Yang Maha Suci dengan ketuhanan. Bahkan mereka merekayasa adanya sekutu bagi-Nya dalam salah satu bentuk syirik, entah dalam konsep Tuhan mempunyai anak ataupun dalam konsep trinitas. Ada juga yang menggambarkan Allah subhanahu wa ta’ala dengan ilustrasi yang tidak semestinya dan menggambarkan hubungan khaliq-makhluk tidak dengan pola yang sebenarnya.

“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putra Allah’ dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Al-Masih itu putra Allah’. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka; mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Mereka dilaknati Allah. Bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-Taubah [9] : 30)

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maidah [5] : 73)

“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Tangan Allah terbelenggu’, padahal tangan merekalah yang dibelenggu, dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka lakukan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan-Nya terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki…” (QS. Al-Maidah [5] : 64)

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya’. Katakanlah: ‘Lalu mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa kalian?’ (Kalian bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kalian adalah manusia (biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya…” (QS. Al-Maidah [5] : 18)

Masyarakat-masyarakat tersebut (Yahudi dan Nasrani) dikategorikan jahiliyah juga disebabkan simbol-simbol ibadah, doktrin-doktrin, dan upacara-upacara keagamaan mereka yang bersumber dari konsepsi-konsepsi teologis yang menyimpang dan sesat. Selain itu, disebabkan pula tata aturan dan perundangan mereka, yang semuanya tidak didasarkan pada penghambaan kepada Allah semata. Mereka tidak menyatakan bahwa otoritas memerintah hanyalah kepunyaan Allah saja, dan tidak menyandarkan otoritas-otoritas lain bersumber dari syariat-Nya. Malahan, mereka mendirikan lembaga-lembaga -beranggotakan kelompok manusia- yang memiliki otoritas tertinggi yang seharusnya hanya dimiliki oleh Allah Yang Maha Suci. Sudah sejak lama Allah melaknati mereka sebab kesyirikannya. Mereka telah menyerahkan kebenaran ini di tangan para rahib dan pendeta; dua kelompok ini menetapkan syariat bagi mereka menurut pendapatnya sendiri, dan mereka pun menerima apa yang ditetapkannya.

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai sesembahan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah [9] : 31)

Masyarakat Yahudi dan Nasrani memang tidak meyakini ketuhanan para rahib dan pendeta. Mereka juga tidak mempersembahkan ritual-ritual ibadah kepada rahib dan pendeta tersebut. Akan tetapi, mereka mengakui bahwa para rahib dan pendeta tersebut mempunyai otoritas mengatur, dan mereka melaksanakan apa yang ditetapkan bagi mereka meski tidak sesuai dengan ketentuan Allah. Sekarang ini, mereka lebih pantas dilaknat sebab kesyirikan dan kekufuran, karena telah memberikan otoritas itu kepada orang dari kalangan mereka yang bukan rahib ataupun pendeta. Mereka sama saja.

Terakhir, termasuk juga dalam kategori masyarakat jahiliyah adalah komunitas-komunitas yang mengaku sebagai masyarakat Muslim. Masyarakat ini dikategorikan demikian bukan karena mereka meyakini ketuhanan seseorang selain Allah, bukan pula karena mendedikasikan ritual peribadatan kepada selain Allah. Tetapi, karena mereka tidak menjalankan penghambaan kepada Allah semata dalam tatanan kehidupan mereka. Sehingga, meski tidak meyakini ketuhanan seseorang selain Allah, tetapi mereka telah menyematkan otoritas ketuhanan yang paling hakiki kepada selain Allah. Hal ini berarti mereka tunduk pada kekuasaan selain Allah, kemudian menerima sistem yang ditetapkannya, juga peraturan dan nilai-nilainya, pertimbangan-pertimbangannya, tradisi-tradisi dan adat-istiadatnya, serta segala hal yang menunjang kehidupan mereka.

Berkenaan dengan para penguasa (pejabat), Allah Yang Maha Suci berfirman:

“…Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah [5] : 44)

Sementara kaitannya dengan (rakyat) yang dikenai hukum, Allah berfirman (yang artinya):

“Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.

Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang telah Allah turunkan dan kepada hukum Rasul’, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.

Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa suatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: ‘Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna!’

Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya[1] datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ [4] : 60-65)

Allah telah mencirikan kaum Yahudi dan Nasrani dengan kesyirikan, kekufuran, penyimpangan ibadah, dan penyematan unsur ketuhanan kepada para rahib dan pendeta, hanya karena mereka telah menyematkan -kepada para rahib dan pendeta- gelar yang selama ini juga diberikan oleh orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya adalah ‘Muslim’ kepada seseorang dari kalangannya sendiri. Allah menganggap hal ini -ketika dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani- sebagai perbuatan syirik. Misalnya menganggap Isa putra Maryam sebagai Tuhan yang mereka tuhankan dan mereka sembah. Ini sama saja syirik; keluar dari penghambaan kepada Allah semata. Yang demikian ini berarti telah keluar dari agama Allah, dan dari syahadat laa ilaaha illallaah wa ana muhammadan rasulullah.

Sebagian masyarakat jahiliyah ada yang terang-terangan menyatakan diri sebagai ‘masyarakat sekuler’ dan lepas sama sekali dari hubungan dengan agama. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka menghargai agama, tetapi mereka justru mengeluarkan agama dari tatanan sosialnya sama sekali. Menurut mereka, masyarakat mengingkari dunia mistik dan menyandarkan tata aturannya pada dunia ilmiah, sedangkan pertimbangannya bahwa dunia ilmiah bertentangan dengan dunia mistik. Ini adalah asumsi konyol yang tidak diikuti kecuali oleh orang-orang yang tolol.[2]

Sementara itu, ada juga sebagian masyarakat yang memberikan otoritas memerintah secara penuh kepada seseorang selain Allah; ia menetapkan aturan seenaknya, lalu mengatakan tentang apa yang telah ia tetapkan sendiri itu: “Inilah hukum Allah!” Semua masyarakat tersebut sama saja; mereka tidak berlandaskan pada penghambaan kepada Allah semata.

Ketika semuanya telah jelas, lantas bagaimanakah sikap Islam terhadap semua masyarakat jahiliyah tersebut? Semuanya disarikan dalam satu kalimat singkat: Islam sungguh menolak mengakui keislaman dan legalitas semua masyarakat tersebut, menurut sudut pandangnya.

Islam tidak menghiraukan berbagai macam simbol, slogan, atau model apa pun yang digunakan masyarakat ini. Mereka semua berada dalam satu titik persamaan: kehidupan mereka tidak berdasarkan atas penghambaan seutuhnya kepada Allah semata. Jadi, mereka itu sama -dengan masyarakat yang lain- dalam satu nuansa. Nuansa jahiliyah!

Problematika di atas mengantarkan kita pada persoalan terakhir, yaitu manhaj Islam dalam menghadapi semua realitas kemanusiaan. Yang terjadi kini, esok, dan sampai kapan pun. Berkaitan dengan hal ini, amat berarti bagi kami apa yang telah kami paparkan dalam paragraf pertama Bab 3 “Perkembangan Masyarakat Islami dan Karakteristiknya” dan berdirinya masyarakat Islami di atas penghambaan kepada Allah semata dalam segala urusan.

Pendefinisian substansi masyarakat ini haruslah mampu memberikan jawaban yang tegas untuk pertanyaan berikut:

Apakah sumber yang menjadi rujukan dan landasan bagi kehidupan manusia; apakah agama Allah ataukah manhaj-Nya untuk kehidupan? Ataukah realitas kemanusiaan apa pun itu?

Islam memberikan jawaban yang tegas, tidak bimbang, dan tidak membingungkan sedikit pun: bahwa sumber yang harus menjadi rujukan bagi seluruh kehidupan kemanusiaan adalah agama Allah dan manhaj-Nya untuk kehidupan. Sesungguhnya syahadat laa ilaaha illallaah wa ana muhammadan rasulullah adalah rukun Islam yang pertama. Rukun ini tidak akan tegak dan tidak pula berarti apa-apa kecuali menjadi sumber utama. Bahwasanya penghambaan kepada Allah semata disertai dengan megikuti tata caranya yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan terealisasi kecuali dengan pengakuan terhadap sumber utama tersebut, diiringi kemudian dengan menirukan tata caranya dari beliau secara benar tanpa bimbang dan ragu-ragu.

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (QS. Al-Hasyr [59] : 7)

Kemudian Islam bertanya:

“Apakah kalian yang lebih tahu ataukah Allah?”

Lalu dijawab:

“…Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 216)

“…Dan kalian tidaklah diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.” (QS. Al-Isra’ [17] : 85)

Allah-lah Dzat Yang Mengetahui, juga yang menciptakan dan memberikan rezeki. Tentunya, Allah jugalah yang berhak memerintah. Agama-Nya yang sekaligus manhaj-Nya bagi kehidupan, itulah sumber yang menjadi rujukan bagi kehidupan. Sementara realitas kemanusiaan juga teori-teori dan paham-paham humanistik adalah berbahaya dan menyimpang karena berdasarkan pada pengetahuan manusia yang tidak tahu apa-apa dan tidak diberikan ilmu kecuali hanya sedikit.

Agama Allah tidaklah semu, dan manhaj-Nya bagi kehidupan bukannya tidak berpola. Islam didefinisikan oleh bagian syahadat yang kedua: anna Muhammadan rasulullah (bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah). Islam tidak boleh keluar dari nash-nash yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai dasar pijakannya. Jadi, apabila dijumpai nash maka nash itulah yang menjadi hukum; tidak ada ruang ijtihad bersamaan dengan nash. Dan bila tidak ditemukan nash maka di situlah ijtihad memainkan perannya; tentunya sejalan dengan prinsip-prinsip pokok yang telah ditetapkan dalam manhaj Allah yang semestinya, bukannya berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan pribadi.

“…Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)…” (QS. An-Nisa’ [4] : 59)

Prinsip-prinsip pokok yang memberikan ruang bagi ijtihad dan penyimpulan hukum (istinbath) juga telah ditentukan dan diketahui, tidaklah semu dan tidak pula tanpa pola. Karena itu, siapa pun tidak boleh mengatakan tentang aturan yang dibuatnya: ‘Inilah aturan Allah!’ Terkecuali, juga dinyatakan bahwa otoritas tertinggi adalah milik Allah, dan sumber kekuasaannya adalah Allah Yang Maha Suci, bukannya golongan, partai, atau manusia; siapapun.

Hendaknya siapapun merujuk pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk mengetahui apa yang dikehendaki Allah. Hal ini tidak berlaku bagi orang yang ingin mengklaim kekuasaan atas nama Tuhan, sebagaimana dulu pernah populer di Eropa dengan istilah ‘teokrasi’atau ‘pemerintahan suci’. Hal semacam ini sama sekali tidak ada dalam Islam. Siapa pun tidak berhak berbicara atas nama Tuhan kecuali Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah yang menyampaikan nash-nash tertentu yang menjelaskan apa yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Sementara itu, slogan ‘agama adalah untuk kenyataan’ selain dipahami secara keliru, juga disalahgunakan. Memang, agama adalah untuk kenyataan, namun kenyataan yang mana dulu?!

Memang, kenyataan adalah sesuatu yang hendak dimunculkan oleh agama itu sendiri, sejalan dengan manhajnya dan sesuai dengan fitrah manusiawi yang lurus, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan humanistik yang hakiki secara keseluruhan. Kebutuhan-kebutuhan inilah yang telah ditentukan oleh Dzat Yang Menciptakan dan Yang Mengetahui apa yang diciptakan-Nya.

“Apakah (Allah) yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk [67] : 14)

Agama tidak menghadapi kenyataan apa pun, lantas mengakuinya dan mencarikan baginya rujukan dan hukum syar’i yang berkaitan dengannya seperti slogan semu di atas. Akan tetapi, agama menghadapi kenyataan untuk dicarikan solusinya menurut konsiderans agama, lantas menetapkan apa yang layak ditetapkan, dan menafikan apa yang patut dinafikan, serta memunculkan realitas lain jika realitas yang ada memang tidak diharapkan. Dan realitas yang dimunculkannya itulah realitas yang sesungguhnya. Inilah pemaknaan bahwa Islam ‘agama untuk kenyataan’. Atau dengan kata lain, inilah pemaknaan yang semestinya dalam memahami slogan tersebut secara tepat.

Mungkin saja dilontarkan pertanyaan: bukankah kepentingan kemanusiaan (human interest, mashlahatul basyar) adalah hal yang seharusnya membentuk realitas mereka sendiri?

Maka, sekali lagi, kita kembali pada pertanyaan yang dimunculkan Islam dan kemudian dijawabnya:

Apakah kalian yang lebih tahu  ataukah Allah? Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.[3]

Kepentingan manusia sebenarnya telah tercakup dalam syariat Allah, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya dan disampaikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnahnya. Seandainya suatu ketika manusia beranggapan bahwa kepentingan mereka tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah bagi mereka, maka di sini ada dua kemungkinan. Pertama, mereka ‘memahaminya secara keliru’ karena sebatas apa yang tampak secara lahir, sebagaimana firman Allah:

 “…Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS. An-Najm [53] : 23-25)

Kedua, mereka termasuk ‘kaum yang kafir’. Karena, siapa pun yang mengklaim bahwa kepentingan manusia -menurut pendapatnya- tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah, maka sedikitpun ia tidak berada dalam agama ini dan tidak pula termasuk pemeluknya.



[1] Maksudnya, berhakim kepada selain Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam

[2] Lihat keterangan lengkapnya dalam penafsiran firman Allah ta’ala dalam surat al-An’am ayat 59, Juz VII, Fi Zhilalil Qur’an.

[3] QS. Al-Baqarah [2] : 216.