Lama dan Waktu Pelaksanaan I’tikaf

Pendapat yang kuat bahwa lama I’tikaf minimal sehari atau semalam, berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab, bahwa beliau menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dirinya di masa jahiliah pernah bernazar untuk I’tikaf di Masjidil Haram selama satu malam, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tunaikan nazarmu.” (HR. Abu Daud dan Tirmizi)

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa I’tikaf dapat dilakukan walau beberapa saat saja diam di masjid. Namun, selain bahwa hal ini tidak ada landasan dalilnya, juga tidak sesuai dengan makna I’tikaf yang menunjukkan berdiam di suatu tempat dalam waktu yang lama.

Bahkan Imam Nawawi yang mazhabnya (Syafii) berpendapat bahwa I’tikaf boleh dilakukan walau sesaat tetap menganjurkan agar I’tikaf dilakukan tidak kurang dari sehari, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabat bahwa mereka melakukan I’tikaf kurang dari sehari.

Sedangkan lama maksimal I’tikaf tidak ada batasnyadengan syarat seseorang tidk melalaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di tahun wafatnya pernah melakukan I’tikaf selama dua puluh hari (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Adapun waktu I’tikaf, berdasarkan jumhur ulama, sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melakukan I’tikaf di bulan Syawal (Muttafaq alaih). Beliau juga diriwayatkan pernah I’tikaf di awal, di pertengahan dan akhir Ramadhan (HR. Muslim). Namun waktu I’tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan hingga akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.