Larangan Menjadikan Kafir Sebagai Wali (Pemimpin) Umat Islam

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi awliya’ (teman-teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam, (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: “Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?” dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: “Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?” Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (An Nisa: 138-141)

Menurut pakar bahasa Al Qur’an, Al Raghib Al Asfahani (w.425 H), kata Al Wala’ dan Al Tawali adalah menyatunya dua hal atau lebih sehingga tidak ada unsur di antara keduanya yang bukan dari mereka. Makna tersebut menekankan arti kedekatan pada sisi tempat, nasab, agama, persahabatan, pertolongan dan keyakinan. Sedangkan Al Wilayah berarti pertolongan, dan juga berarti menguasai suatu urusan (memimpin). (lihat kitab Mufradat Alfaz Al Qur’an, hlm.885)

Ayat Al Qur’an yang menunjukkan arti “pertolongan” diantaranya, “Allah adalah wali (penolong) orang-orang yang beriman” (Al Baqarah: 257), “Sesungguhnya wali (penolong) ku adalah Allah” (Al A’raf: 196) dan lain-lain. Sementara ayat yang menunjukkan arti “penguasaan atau kepemimpinan” di antaranya, “kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaanNya.” (Al An’am: 62), “Katakanlah: “Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa Sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, Maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (Al Jumu’ah: 6), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al Maidah: 51) dan lain-lain. (lihat kitab Mufradat Alfaz Al Qur’an, hlm.885)

Setelah 2 ayat sebelumnya menerangkan ciri-ciri keimanan yang hakiki dan jujur, dan ciri orang-orang yang ragu dan tak memegang prinsip alias plin-plan, “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, Maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An Nisa: 136-137) maka pada ayat ini Allah ta’ala menerangkan keadaan kaum munafik secara rinci.

Allah ta’ala berfirman: “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih”, bahwa mereka akan menerima azab yang pedih sesuai perilaku mereka yang buruk, “(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” Itu disebabkan mereka telah menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong dan pemimpin atas mereka dan meninggalkan orang-orang mukmin. Syekh Muhammad Abu Zahra menulis, ciri mereka adalah mencari pertolongan, kejayaan dan kemuliaan dari orang-orang kafir, loyalitas mereka diberikan kepada kaum kafir bukan kepada Negara (umat) Islam, dan menjadikan loyalitas itu untuk melawan orang mukmin atau sengaja mengingkari dan menjauhi loyalitas kaum mukmin, malah berkoalisi dengan orang-orang kafir. (lihat kitab Zahratu At Tafasir, vol.4/1909)

Kemudian Allah ta’ala membantah dugaan dan harapan mereka “Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- (lihat Tafsir Ibnu Katsir, vol.2/375) mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah untuk menyulut emosional orang mukmin agar mencari kemuliaan hanya dari Allah dengan mentaati-Nya dan masuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang mukmin. Beliau pun mengutip hadis Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Siapa yang menyambungkan nasabnya kepada 9 orang tua kafir untuk tujuan meraih kemuliaan dan kebanggaan dari mereka, maka dia adalah orang ke-10 yang akan bersama mereka di dalam neraka.” (HR. Ahmad dari Abi Rayhanah).

Allah menegaskan bahwa “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (Fathir: 10), dan juga “kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al Munafiqun: 8)

Kemudian Allah ta’ala berfirman, “dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir),” karena kaum munafik berwala’ kepada orang kafir, mereka sering duduk dan kongkow dengan orang kafir padahal seringkali ayat-ayat Allah diingkari dan dihina di hadapannya, maka Allah perintahkan kepada mereka “Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.”

 Hal ini sesuai dengan perintah Allah, “dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al An’am: 68), dalam realitas kontemporer misalnya orang kafir mengolok-olok dengan pernyataan bahwa ayat konstitusi harus didahulukan dari pada ayat kitab suci. Orang mukmin yang duduk bersama mereka, saat mendengarnya, harus segera berpaling dan meluruskan olok-olok tersebut dengan keimanan yang tegar. Ayat ini adalah peringatan buat orang mukmin untuk tidak menghadiri dan menyimak orang kafir dan munafik yang melecehkan ayat Allah dan hukum Islam. Sebab kata ulama, mendengarkan keburukan adalah keburukan itu sendiri. Mendengarkan pelecehan terhadap Al Qur’an bisa jadi mengantarkan pendengarnya ikut melecehkan Al Qur’an. Keburukan pertama dimulai dari mendengarkan keburukan itu sendiri, tegas Syekh Abu Zahrah.

Oleh sebab itulah perilaku tersebut dilarang Allah dengan ancaman, “karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.”

Dari ayat ini, Syekh Abu Zahrah menyimpulkan 3 pelajaran.

Pertama, seorang mukmin pantang mengolok-olok fakta-fakta kebenaran yang disodorkan Al Qur’an.

Kedua, mendengarkan kekufuran dan olok-olok terhadap hakikat Al Qur’an bisa menjadikan pendengarnya seperti sang pembicara. Karena sikap diam ada sedikit menunjukkan keridhaan.

Ketiga, keburukan akan mengalir dari pembicara kepada pendengarnya, seperti racun atau syetan yang merasuki tubuh.

Di akhir rangkaian ayat yang melarang menjadikan kafir sebagai wali/pemimpin umat Islam, Allah ta’ala menyatakan “dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” Ibnu Katsir menulis (lihat vol.2/386-387), kalimat tersebut adalah bantahan terhadap orang munafik yang berharap hancurnya Negara kaum beriman, dan perilaku mereka yang pro kaum kafir dikarenakan takut akan keselamatan jiwa mereka jika kaum kafir mengalahkan kaum beriman dan memusnahkannya hingga ke akar-akarnya, Allah membantah itu semua dengan menyatakan TIDAK MUNGKIN Allah berikan jalan kepada kafir untuk memusnahkan kaum Muslimin. Hal ini ditekankan agar kita tidak “menyesalinya” di kemudian hari (lihat Al Maidah: 52). Konsekuensi keimanan terhadap pernyataan itu adalah umat Islam tidak boleh gentar dan takut kepada kekuatan kaum kafir, apalagi ketakutan itu sampai taraf berkoalisi dengan mereka dengan dalih untuk melindungi nyawa kaum Muslimin.

Sebagai Muslim tentu kita harus percaya secara mutlak kepada pedoman dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam memilah dan memilih siapa yang layak dijadikan penolong dan pemimpin umat Islam. Sikap bertoleransi dengan orang kafir, baik Ahlul Kitab dan musyrik secara umum, adalah ajaran Islam. Terutama dalam bermuamalah duniawi kita hidup saling berdampingan dan saling menghormati. Sekalipun demikian, bukan berarti kita dibolehkan untuk menjadikan pemimpin di tengah umat Islam dari kalangan mereka.

Agar tidak rancu, harus dibedakan mana “ayat toleransi” dengan “ayat pedoman memilih pemimpin”. Ayat 8 surah Al Mumtahinah yang berisi perintah berbuat baik dan berlaku adil kepada non-Muslim yang berdamai dan tidak memerangi umat Islam, tidak bisa dijadikan dalil pedoman memilih mereka sebagai pemimpin. Toleransi terhadap non-Muslim tidak berarti memilih dan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Sebab tak ada satu ayat pun yang membolehkan hal demikian. Posisi dasar ini tak bisa ditawar atau dikelabui karena sudah sangat jelas dalam banyak ayat Al Qur’an diantaranya Ali Imran: 28, An Nisa’: 144, Al Maidah: 51 dan 57, Al Mumtahinah: 1 dan lain-lain.

Lalu bagaimana jika ada calon pemimpin Muslim tapi calon wakilnya yang non-Muslim? Para pakar fiqih siyasah syar’iyyah mengkategorikan wakil pemimpin itu sebagai “Wazir Tafwidh”, yaitu seorang yang dipilih oleh imam untuk mewakilinya dan diberi kewenangan untuk menjalankan pemerintahan dengan pandangan dan ijtihadnya. (lihat kitab Al Ahkam As Sulthaniyah karya Al Mawardi, hlm.22).

Selanjutnya Al Mawardi (w.450 H) menjelaskan, disebabkan kewenangan Wazir Tafwidh mencakup 4 hal yaitu: menjalankan eksekusi kehakiman/yudikatif, mengangkat pejabat dan para eksekutif di bawahnya, mengomandoi satuan keamanan dan pertahanan, dan menetapkan anggaran belanja dari Baytul Mal, maka diharuskan syarat Muslim bagi yang akan menjabat sebagai Wazir Tafwidh. (lihat Al Ahkam As Sulthaniyah, hlm.27)

Wallahu A’lam bish Shawab.