Dewan Hisbah adalah sebuah lembaga hukum Islam yang dimiliki oleh Persatuan Islam (PERSIS). Pada tahun 1930-an, Persatuan Islam lebih memiliki wajah politik yang dominan, dan setelah zaman kemerdekaan, pada 1950-an, para anggotanya masih terlibat secara politik. Adapun yang menarik bagi kita adalah beberapa fatwanya yang dianggap terpengaruh oleh dinamika perpolitikan lokal zaman itu.
Fatwa-fatwa semacam ini disusun terperinci dalam bab-bab yang beruntun. Fatwa-fatwa politik, atau lebih tepatnya –menurut MB. Hooker– filsafat politik Persatuan Islam ini, dapat dilihat dari karier anggota-anggota terkemuka Persatuan Islam.
Moehamad Moenawar Chalil adalah salah satu contoh pertama yang tepat. Ia adalah seoarng aktivis politik yang bekerja di berbagai komite negara termasuk Komite Nasional Hadits dalam birokrasi agama, dan ia adalah ketua Majelis Ulama Persatuan Islam. Pada tahun 1955, tepatnya pada saat pemilihan umum pertama di Indonesia, ia mengeluarkan fatwa. Ia menyatakan bahwa pemilihan umum yang melibatkan partai-partai Muslim, melalui qiyas, sama dengan jihad, dan dengan demikian, merupakan kewajiban bagi seorang Muslim untuk mendukung kepentingan finansial kaum Muslim dengan zakat.
Dalam statemen resminya, Persatuan Islam bahkan berpendapat bahwa semua umat Islam memiliki tugas untuk terlibat dalam kegiatan politik yang merupakan bagian dari tugas agama. Pandangan ini muncul dalam tulisan-tulisan Ahmad Hassan, yang diulangi lagi dalam tulisan dan pidato Isa Anshary dan Moehammad Natsir. Pandangan seperti ini juga tercatat dalam garis-garis perjuangan Persatuan Islam dan sepenuhnya didukung oleh fatwa-fatwa ulama.
Dalam rangka mencari solusi permasalahan para anggota jam’iyyahnya, Persatuan Islam memiliki lembaga Majlis Ulama yang bertugas memberi fatwa-fatwa hukum. Lembaga ini sangat produktif dalam melahirkan pemikiran-pemikiran puritanis.
Ketika kepemimpinan Persatuan Islam dipegang oleh KH.E. Abdul Rahman (1960-1983) majlis ini berganti nama menjadi Dewan Hisbah. Penggantian nama ini dimaksudkan untuk memperluas tugas dan fungsi ulama agar tidak sekadar memberi fatwa hukum, tetapi juga melakukan kontrol terhadap para anggota jam’iyyah serta para eksekutifnya terhadap berbagai penyimpangan yang mungkin mereka lakukan.
Secara fungsional, Dewan Hisbah berkewajiban melaksanakan beberapa tugas, yaitu:
- Meneliti hukum-hukum Islam
- Menyusun petunjuk pelaksanaan ibadah bagi anggota jam’iyyah
- Mengawasi pelaksanaan hukum Islam
- Memberikan teguran kepada anggota Persatuan Islam yang melakukan pelanggaran hukum melalui Pusat Pimpinan
Metodologi Dewan Hisbah
Pendekatan yang dilakukan Dewan Hisbah dalam proses pembuatan keputusan adalah penggabungan antara metode pembahasan modern dan klasik. Gabungan antara ilmu pengetahuan modern dan klasik merupakan salah satu karakteristik Persatuan Islam. Karena itu, sebelum memutuskan suatu hukum, terlebih dahulu perlu mendengar pendapat para ahli ilmu pengetahuan modern tentang bidang yang hendak dibahas, sehingga diketahui definisi masalah yang hendak dibahas baik menurut etimologi maupun terminologi.
Dalam membahas suatu permasalahan, Dewan Hisbah tidak berpegang pada satu madzhab ataupun kitab-kitab klasik tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Forum Bahtsul Masa’il di kalangan Nahdhatul Ulama dengan Al Kutub Al Mu‘tabarah- nya.
Menurut Dewan Hisbah, kitab-kitab manapun bisa dipergunakan sebagai pertimbangan, asal dapat dipertanggungjawabkan isinya secara ilmiah dan sesuai dengan visi mereka. Mereka menolak kitab-kitab yang bertentangan dengan aqidah mereka seperti kitab-kitab dari golongan Syiaah, Khawarij, Rafidhah, Ahmadiyah, dan lain sebagainya.
Dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath al ahkam), Dewan Hisbah membatasi diri melakukan istidhal hanay dari dari Al Quran dan As Sunnah saja. Dan ketika tidak menemukan nash syar’i, maka digunakan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i) yang melibatkan para ulama Dewan Hisbah.
Adapun jika terjadi kontradiksi antar nash, maka langkah pemecahan yang di ambil adalah:
- Sedapat mungkin mempertemukan nash yang kelihatan kontradiksi
- Melakukan tarjih, yaitu menggunakan hadits yang lebih tinggi derajat keshahihannya dan meninggalkan yang derajat keshahihannya lebih rendah.
- Melakukan metode nasakh bila diketahui mana nash yang terdahulu dan mana yang kemudian.
Dalam masalah ibadah, Dewan Hisbah tidak menerima ijma’, kecuali ijma’ para sahabat. Ijma’ sahabat diterima sebagai sumber hukum karena diyakini bahwa para sahabat tidak akan berani bersepakat menentukan sesuatu hukum kalau tidak ada landasan yang datang dari Nabi. Ini berarti bahwa pada hakekatnya ijma’ sahabat tidak berdiri sendiri, melainkan bersandar pada sunnah Nabi.
Namun jika terjadi ijma’ ulama selain sahabat dalam masalah agama, dan pemerintah Islam menggunakan ketetapan itu sebagai Undang-Undang negara, maka Dewan Hisbah mewajibkan mengikuti dan mentaati pemerintah Islam dihadapan umum untuk menunjukkan kesetiaan kepada pemerintah Islam.
Dewan Hisbah juga tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah. Qiyas hanya dapat diaplikasikan dalam masalah mu’amalah, karena qiyas adalah ra’yu, sedangkan ibadah tidak boleh dimasuki oleh ra’yu yang hanya berdasar pada pemikiran manusia.