Ada orang menyangka bahwa sekalipun makanan sudah terhidang, yang terbaik itu shalat dahulu, selepas itu barulah makan. Sehingga ada yang apabila mereka duduk di sekeliling hidangan, kemudian bangun meninggalkannya dan pergi menunaikan shalat. Amalan seperti itu dirasakan oleh sebagian pihak sebagai hal lebih mengikuti kehendak agama. Namun, jika kita merujuk kepada hadis-hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kita akan dapati itu amalan yang salah. Di antaranya hadis dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anh: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila telah dihidangkan makan malam, maka mulainlah makan sebelum kamu menunaikan shalat Maghrib, dan jangan kamu terburu-buru saat makan malammu.”(Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis yang lain dari Abdullah bin Umar, baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila dihidangkan makan malam seseorang di antara kamu, sedangkan shalat (jamaah) telah didirikan, maka mulailah dengan makan malam. Janganlah dia terburu-buru hingga dia selesai.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Riwayat di atas juga menambah bahwa Ibn Umar Radhiyallahu ‘Anh apabila dihidangkan untuknya makanan, manakala shalat pula sedang didirikan, maka beliau tidak mendatangi shalat kecuali setelah beliau selesai makan, walaupun beliau mendengar bacaan imam.
Hikmah dari arahan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar mendahulukan makan ialah agar pemikiran kita tidak diganggu ketika shalat dengan ingatan kepada makanan yang telah kita lihat terhidang di hadapan mata sebelum shalat tadi. Ini bisa mengganggu kekusyukan shalat seseorang. Dengan itu para ulama menyatakan dimakruhkan shalat setelah makanan terhidang di hadapan mata. Ini mencakup semua shalat, bukan khusus pada shalat Maghrib saja.
Kata Al Imam An Nawawi (meninggal 676H) dalam Syarh Shahih Muslim mengulas hadis-hadis berkaitan: “Di dalam hadis-hadis tersebut dimakruhkan shalat apabila terhidangnya makanan yang hendak dimakan karena ia bisa mengganggu hati dan menghilangkan kesempurnaan khusyuk”.
Ini bukan berarti kita mengutamakan makan dari shalat. Sebaliknya kita makan terlebih dahulu karena ingin menjaga kekusyukan shalat.
Al-Imam Ibn Hajar al-`Asqalani (meninggal 852H) dalam Fath al-Bari memetik ungkapan Ibn Jauzi (meninggal 597H):
“Ada orang menyangka bahwa mendahulukan makanan sebelum shalat adalah bab mendahulukan hak hamba ke atas hak Tuhan. Sebenarnya bukan demikian, tetapi ini adalah menjaga hak Allah agar makhluk masuk ke dalam ibadahnya dengan penuh tumpuan. Sesungguhnya makanan mereka (para sahabat) adalah sedikit dan tidak memutuskan mereka dari mengikuti shalat jamaah.”
Dengan itu, makan dahulu setelah makanan terhidang kemudian baru melaksanakan shalat adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka apabila makanan terhidang, orang tua hendaklah memberikan anak-anak makan terlebih dahulu ketika berbuka, sehingga mereka selesai maka barulah melaksanakan shalat. Inilah sunnah.
Melakukan susunan yang seperti itu, mendapat pahala. Namun makanlah dengan kadar yang diajar oleh Islam, bukan makan sehingga mengah lalu gagal bershalat dengan sempurna.
Di sana ada cara untuk mengelakkan kemakruhan ini, yaitu menghindarkan menghidangkan makanan terlebih dahulu sebelum shalat. Hindarkan mata memaandang kepada makanan yang telah dihidangkan. Selepas selesai bershalat barulah dihidangkan. Namun, jika rasa lapar itu kuat, bau makanan telah masuk ke hidung, hingga ingatan kepada makanan sangat kuat sekali belum melihatnya, hendaklah dia makan terlebih dahulu.
Juga sudah pasti tidak makruh bershalat sekalipun makanan sudah terhidang jika keinginan kepada makanan tiada. Ini karena sebab (‘illah) larangan melaksanakan shalat saat makanan terhidang ialah agar tidak mengganggu kekusyukan. Jika seseorang memang tiada keinginan kepada makanan, sudah pasti tidak menggangu kusyuk sekalipun makanan sudah terhidang.