Manhaj Aqidah dan Fiqh Ahkam Hasan Al Banna Serta Praktiknya

Ungkapan Ustadz Hasan Al Banna rahimahullah tentang Manhaj Aqidah dan Fiqh Akhkam, serta Sikap Praktis Beliau

Al Qur’anul Karim dan sunnah yang suci merupakan rujukan setiap muslim dalam mengetahui hukum-hukum Islam. Seorang muslim memahami Al Quran sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tanpa berlebihan, tanpa penyimpangan, dan merujuk pada pemahaman sunnah yang sucipada tokoh hadits yang dipercaya.

Semua orang dapat diambil perkataannya atau ditinggal, kecuali yang ma’shum (terlindung dari kesalahan) yakni Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Semua perkataan para salaf ridhwanullahi ‘alaihim yang sesuai dengan Kitabullah dan sunnah kita terima, dan bila tidak sesuai, maka Kitabullah dan sunnah lebih utama untuk diikuti. Akan tetapi kami tidak akan melontarkan tuduhan atau menghina pribadi-pribadi atas masalah yang diperselisihkan. Kami serahkan mereka pada niat mereka. Yang jelas, mereka telah memberi apayang telah mereka lakukan.

Setiap muslim yang belum mampu meneliti dalil-dalil hukum far’iyah (cabang), hendaknya ia mengikuti salah seorang imam mazhab. Dan diharapkan bersamaan dengan mengikutinya, baik sekali bila ia berupaya sebatas kemampuannya untuk mengetahui dalil, dan menerima semua arahan disertai dengan dalilnya. Bila dalil itu benar menurutnya, baru ia membenarkan isi arahan tersebut. Dan hendaknya, ia terus berupaya menyempurnakan kekurangan wawasan ilmunya, bila ia adalah seorang yang memiliki kecenderungan pada ilmu, sampai ia mencapai derajat mampu meneliti dalil.

Perselisihan fiqih dalam masalah far’iyat tidak menjadi sebab perpecahan dalam agama. Dan tidak menimbulkan permusuhan. Setiap mujtahid memperoleh balasannya. Tidak dilarang untuk melakukan penelitian ilmiah yang bersih dalam masalah-masalah khilafiyah dengan dinaungi kecintaan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ruh saling tolong menolong dalam upaya mencapai hakikat, tanpa mendorong sikap riya yang tercela dan ta’ashub.

Tanpa perlu diberi komentar, jelaslah metode yang baik dalam mengambil istinbath dari Kitabullah dan sunnah. Metode yang ditempuh harakah Ikhwan dalam hal ini, juga telah dijelaskan-oleh Muhammad Fathy Utsman dalam kitabnya “As Salafiyah fi Al Mujtama’at Al Mu’ashirah, Manhajiyatu Al Ustadz Hasan Al Banna min Khilal Mudzakkiratihi ” (Salafiyah di Era Masyarakat Modern, Manhaj Ustadz Hasan Al Banna dalam Memoarnya). Dalam buku itu disebutkan:

“Sejak usia muda, Hasan Al Banna sangat memegang teguh amalan sunnah, hingga dalam hal pakaian. Ketika masih men.jadi pelajar di sekolah pendidikan guru, beliau mengenakan ‘imamah, memakai sandal untuk ihram waktu haji, sorban yang beliau simpangkan di atas jubah, dan memelihara janggut. Ketika direktur madrasah bertanya tentang pakaian tersebut kepadanya, Hasan Al Banna menjawab, sebagaimana tertulis dalam mudzakkirahnya.,: “Pakaian seperti ini adalah sunnah.” Sang kepala sekolah lalu menimpali: “Apakah engkau sudah mengamalkan semua sunnah-sunnah Rasul, sehingga tidak tersisa kecuali sunnah dalam berpakaian?” Al Banna mengatakan: “Saya belum mampu melakukan semua sunnah, dan kita memang sangat kurang dalarn hal tersebut. Akan tetapi apa yang kita mampu melakukannya, hendaknya kita lakukan.”

Di awal da’wahnya di Ismai’iliyah, beliau menghadapi perpecahan klasik antara ansharu sunnah (kelompok pendukung sunnah) dan thuruqiyah (kelompok pengikut tarekat sufi). Dalam mudzakkirahnya, beliau menuliskan bahwa di suatu malam ketika menyampaikan pelajaran yang beliau di masjid kecil, salah seorang hadirin bertanya tentang tawassul. Al Banna menyadari gelagat perpecahan dan permusuhan yang akan terjadi melalui pertanyaan itu. Beliau mengatakan: “Saudaraku, saya kira Anda tidak akan bertanya pada saya tentang masalah ini saja. Tapi Anda ingin bertanya juga tentang shalawat dan salam yang dibaca setelah adzan, tentang membaca surat Al Kahfi pada hari jum ‘at, tentang lafadz “sayidina” dalam tasyahud, tentang kedua orang tua Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di mana kuburan mereka berdua, tentang membaca Al Quran apakah pahalanya sampai kepada mayit atau tidak, tentang kumpulan-kumpulan yang diadakan pengikut thariqat, apakah termasuk maksiat atau qurbah (mendekatkan) pada Allah…?” Hasan Al Banna menyadari posisi dan tema-tema yang menjadi perselisihan dan perdebatan. Beliau ingin menghadapi krisis dan perselisihan ini melalui metode yang baik.

Beliau melanjutkan:

“Setelah itu aku terus merinci masalah-masalah khilafiyah yang memicu fitnah klasik dan perselisihan sengit di kalangan masyarakat kepada si penanya. Orang itu terkejut, katanya: “Ya, saya ingin mendengar jawaban Anda tentang masalah itu seluruhnya.” Aku katakan kepadanya: “Saudaraku, aku bukanlah seorang alim. Aku hanya seorang guru yang hafal beberapa ayat Al Qur’an, hadits Nabi, serta beberapa hukum agama yang saya peroleh lewat mempelajari kitab-kitab dan aku ingin mengabdikan hal itu dengan mengajarkannya pada manusia. Bila Anda keluarkan saya dari lingkaran itu, artinya Anda telah menyakitiku. Orang yang mengatakan “Aku tidak tahu” berarti ia telah berfatwa. Bila ada beberapa hal yang engkau sukai dari kebaikan yang aku ucapkan dan sebutkan, dengarkanlah dengan baik. Tapi bila Anda ingin memperluas pengetahuan silahkan tanya para ulama dan tokoh selainku yang dapat memberi fatwa apa yang Anda inginkan. Sampai di sinilah batas kapasitas ilmuku. Dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.”

Si penanya tampaknya setuju dan tidak melontarkan jawaban kembali. Dengan cara seperti inilah, ia mengurai permasalahan. Para hadirin pun merasa tenang dengan penyelesaian tersebut. Meskipun demikian, aku tak ingin kehilangan kesempatan. Aku kembali mengatakan kepada mereka: “Saudara-saudaraku sekalian, aku tahu sekali apa yang dikehendaki si penanya dan mungkin juga diinginkan oleh para hadirin sekalian. Yaitu, ingin mengetahui, kira-kira berdiri di pihak manakah guru baru ini? Apakah aku dari kelompok Syaikh Musa, atau Syaikh Abdus Sami’? (Keduanya adalah tokoh yang mengepalai kelompok anshar sunnah dan thariqat).

Mengetahui masalah ini sebenarnya, tak ada manfaatnya bagi kalian. Cukuplah selama delapan tahun kalian tenggelam dalam cuaca fitnah perpecahan. Masalah-masalah ini telah diperselisihkan oleh kaum muslimin selama ratusan tahun, dan sampai sekarang pun mereka masih memperselisihkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai kecintaan dan persatuan di antara kita, dan membenci perselisihan dan perpecahan. Aku harap kalian berjanji kepada Allah untuk meninggalkan masalah ini sekarang juga dan bersungguh-sungguh mempelajari berbagai landasan dan prinsip dalam agama. Lalu kita menerapkan akhlaqnya, keutamaannya, serta anjurannya yang telah ditetapkan di dalamnya. Melakukan amal yang wajib dan sunnah, meninggalkan sikap takalluf (berlebihan), sampai jiwa kita menjadi bersih. Dan maksud kita seluruhnya adalah mengetahui yang haq, bukan hanya menjadi pendukung salah satu pendapat. Pada saat itulah, kita dapat mempelajari masalah-masalah ini seluruhnya secara bersama di bawah naungan cinta, percaya, persatuan dan keikhlasan.

Selanjutnya, sebelum selesai dari pengajian malam itu, kami bertekad untuk menjadikan orientasi kami saling tolong menolong, mengabdi pada Islam yang hanif, bersatu dalam beramal untuk Islam, membuang perselisihan, sementara masing-masing berpegang pada pendapatnya, sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala. menetapkan apa yang pasti terjadi. Dengan pertolongan Allah, setelah itu program pengajian rutin terus berjalan, dan benar-benar jauh dari suasana perselisihan.”

Hasan Al Banna berusaha membentuk pemikiran para pendengarnya, membentuk anggota jama’ahnya secara bertahap dan secara perlahan membawa mereka ke arah aqidah yang benar.

Bersama-sama melangkah pada pemahaman salaf terhadap hakikat-hakikat agama dengan kemudahan, memelihara agar jama’ahnya tidak justeru menambah jumlah satu bentuk aliran tarekat lain dari tarekat shufi yang ada, dan menuntun manusia jauh dari fenomena tersebut. Kalaulah bukan karena benturan langsung yang menghantam jama’ah, niscaya pengaruhnya bergolak di Mesir, di seluruh lapisan masyarakat .

Dalam mudzakkirah-nya, Al Banna menuliskan:

“Sebenarnya, aku tak menginginkan da’wah dengan cepat menyebar sebagai satu jalan yang khusus. Hal ini dilatarbelakangi berbagai sebab, dan yang paling penting adalah aku tak ingin masuk dalam arena permusuhan dengan para pendukung tarekat lain. Dan aku tak ingin justeru membuat kaum muslimin lari, tidak juga mengabaikan salah satu sisi dari sisi ishlah (perbaikan) yang diajarkan Islam. Aku ingin sungguh-sungguh menjadikan da’wah ini merata, tegak di atas ilmu, tarbiyah (pembinaan) dan jihad. ltulah rukun-rukun dawah Islam secara global.”

Upaya Al Banna untuk menghindari benturan dengan kelompok-kelompok tarekat dan selain mereka dari organisasi-organisasi keagamaan ternyata tidak menutup kemungkinan pihak selain beliau memancing percekcokan dan benturan. Kenyataan banyaknya manusia yang kagum dengan metode da’wahnya, kemudian mereka yang mengelilinginya, juga penghormatan mereka kepada para aktivis dawah Ikhwan, memunculkan fitnah kedengkian dan dendam dalam hati orang-orang yang mempunyai ambisi tertentu. Mereka kemudian menggambarkan da’wah dan para da’i dengan berbagai penggambaran buruk ke hadapan manusia. Antara lain. mereka menuduh Ikhwan sebagai mazhab kelima, para da’inya adalah pemuda bau kencur yang gegabah, menggunakan kedok dawah untuk ambisi meraih keuntungan, berdusta dan memakan harta manusia secara bathil dan lain sebagainya.

Mereka menulis surat kepada penguasa Mesir saat itu, dan merangkum semua hal aneh di dalamnya tentang da’wah. Di antaranya disebutkan bahwa Ustadz Al Banna adalah seorang komunis yang mempunyai hubungan dengan Moskow, mendapat kucuran dana dari sana. Juga dikatakan bahwa beliau adalah utusan partai Wafd (sebuah partai oposisi yang melawan pemerintah saat itu) dan bekerja melawan sistem pemerintah yang tengah berkuasa.

Mereka menuding Hasan Al Banna yang menerangkan peri kehidupan Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Abdul Aziz radhiallahu ‘anhum dalam pengajiannya adalah dalam rangka untuk mengkritik pcmerintah Mesir saat itu. Namun semua tipu daya ini gagal.

Hasan Al Banna justru dikenal sebagai orang yang sangat ‘iltizam dengan sunnah secara praktis, dan menghindari debat mulut di depan umum. Hanya bila ada kesempatan untuk memberi nasihat, beliau manfaatkan kesempatan tersebut dengan hikmah dan nasihat yang baik.

Pernah terjadi, di suatu malam bulan Ramadhan, ketika seorang hakim bersama beberapa tokoh dan pejabat kota datang mengunjungi kota Isma’iliyah. Disebutkan dalam mudzakkirahnya:

“Seorang hakim datang membawa beberapa cangkir terbuat dari perak kepada kami. Ketika tiba giliranku, aku meminta agar cangkir perak itu diganti dengan cangkir dari kaca saja. Hakim tersebut memandangku sambil tersenyum. Ia mengatakan bahwa masalah itu masih diperselisihkan oleh para ulama, dan memerlukan pembicaraan yang panjang. Mengapa kita sampai terlalu keras terhadap masalah ini. Aku berkata: “Tuanku, masalah ini memang masih diperselisihkan, kecuali dalam masalah menggunakannya dalam hal makan dan minum. Hadits yang melarang hal ini muttafaq’alaih. Tak ada celah bagi kita untuk melakukannya. Seorang hakim kota yang juga ada dalam majlis tersebut akhirnya turut berbicara, ia mengatakan: “Tuanku, selama di sana ada nash, maka nash yang lebih patut dihormati. Kita memang tidak diharuskan mencari apa hikmah di balik itu. Tapi cukup mengamalkan nash sampai suatu saat nyata hikmahnya. Pertama kali kita harus melakukan isi nash dahulu. Kemudian bila temyata kita tahu hikmahnya, maka kita telah melakukannya. Tapi bila tidak, tidak lain itu karena kedangkalan kita. Bagaimanapun beramal adalah kewajiban.”

Dalam mudzakkirah-nya, Al Banna lalu menyebutkan:

“Kesempatan yang tepat. Dan aku berterima kasih pada hakim kota. Aku katakan kepadanya: “Bila Anda telah memutuskan demikian, maka lepaskanlah cincin ini, karena terbuat dari emas, dan nash telah mengharamkannya.”

(Setelah sedikit dialog) Hakim kota melepaskan cincinnya di hadapan orang-orang yang memandang sikap ini sebagai bentuk amar ma’ruf, nahyul mungkar, atau nasihat karena Allah.

Hasan Al Banna Pengamal Sunnah Bukan Pembuat Bid’ah

Dalam kesempatan lain, Hasan Al Banna dan beberapa Ikhwan berpikir untuk menghidupkan sunnah melalui shalat ‘Id di tanah lapang. Al Banna mengatakan:

“Aku dikejutkan dengan serangan kasar dari orang-orang yang mencari celah untuk menghantam da’wah dengan menyebutkan bahwa ide tersebut adalah bid’ah, menyia-nyiakan masjid, fatwa sesat, dan, siapa yang mengatakan bahwa jalanan lebih baik dari pada masjid…?

Kebetulan saat aku sedang melakukan i’tikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan di Masjid Al Abbasi. Banyak orang yang datang dan menanyakanku tentang masalah “bid’ah baru” tersebut. Aku terkejut dengan tuduhan yang tanpa dasar terhadap ide shalat ‘Id di tanah lapang.

Selanjutkan saya jelaskan hukum agama dengan mudah, dan tidak terikat. Aku sampaikan kepada mereka beberapa nash fiqih dalam masalah ini, dan aku tetap berupaya menghindari perdebatan. Aku pesankan mereka untuk tetap menjaga persatuan dan jauh dari permusuhan. “

Hasan Al Banna telah menentukan untuk diri dan jama’ahnya strategi tertentu dalam masalah ini, guna memelihara apa yang mereka ketahui dari sensitifnya masyarakat setempat terhadap masalah perselisihan masalah-masalah keagamaan. Di samping itu, mereka juga dekat dengan zaman perselisihan-perselisihan masa lalu. Karenanya, Al Banna mengatakan:

“Saya menetapkan untuk tidak melangkah kecuali setelah lebih dulu konsultasi dengan para ulama, dan mereka sama-sama sepakat untuk melakukan sesuatu. Bila mereka sepakat, maka saya lakukan, namun bila tidak, maka terhimpunnya berbagai pendapat di atas perbedaan yang ada, itu lebih baik daripada munculnya perpecahan dan hancurnya persatuan karena menentukan mana yang lebih baik. Meskipun begitu, mayoritas ummat Islam, bila telah menyaksikan suatu kebenaran, toh, mereka siap menjadi pendukungnya dan menerima usul tersebut. Akhirnya, kaum muslimin sepakat terhadap kebenaran dan sunnah. Mereka mengumumkan bahwa shalat akan dilakukan di tanah lapang. Dan hal tersebut sungguh-sungguh dilaksanakan.”

Dalam hal ini, Hasan Al Banna sedapat mungkin memelihara diri untuk benturan dan serangan. Melalui setiap pengajian-pengajiannya, beliau menyentuh bab aqidah yang benar, membangunnya, menguatkannya dan mengokohkannya sesuai dengan arahan Al Qur’ an, hadits-hadits Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sirah para salafush shalih. Beliau tidak menyampaikannya melalui landasan pada teori-teori filsafat atau fiqih, tapi mengajak para pendengamya untuk melihat sisi keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala di alam semesta ciptaan-Nya, kebesaran sifat-sifat-Nya, peringatan terhadap akhirat, dengan tetap terikat pada keagungan Al Quran. Al Banna tidak serta merta menghancurkan pemahaman aqidah yang keliru kecuali setelah berhasil membangun kokoh landasan aqidah yang benar. Sebab pada hakikatnya, mudah sekali menghancurkan sebuah bangunan manakala sebuah bangunan kokoh telah berdiri.

Waktu terus berputar, pemikiran Al Banna semakin mengkristal, tidak hanya tercermin dalam bentuk iltizamnya kepada pemahaman Islam para salafush shalih, tapi juga dalam bentuk perlawanannya secara terang-terangan kepada mereka yang bertentangan, baik perkataan, dan perbuatan, dengan pemahaman salafush shalih terhadap Islam. Pada akhir mudzakkirahnya yang diselesaikan pada tahun 1350 H atau 1931 M itu, Al Banna menceritakan seseorang yang datang ke kota Isma’iliyah dan menyeru masyarakat agar bergabung pada aliran tarekatnya. Hasan Al Banna berkata pada dirinya sendiri:

“Sesungguhnya aku hanya memposisikan diri untuk berda’wah kepada sesuatu yang kupandang sebagai jalan terbaik untuk ishlah kepada Islam. Tapi orang-orang seperti mereka ingin merubah da’wah, dan membentuknya sesuai keinginan mereka. Hal itu tidak aku ingini.”

Sekarang sudah tiba saatnya, di mana sebelumnya aku cenderung menyingkirkan diri dari semua propaganda yang rancu, kini aku paparkan tujuan ishlah kepada Islam yang intinya adalah kembali pada Al Quran dan sunnah rasul-Nya, membersihkan akal dari semua khurafat dan waham, dan mengajak manusia kembali padapetunjuk Islam yang hanif.”[3]



[1] Raf’u Al Malam ‘an Al Aimmati Al A‘lam, hal. 31.

[2] Al La Madzhabiyah, hal. 35,86,87.

[3] Mudzakkiratu Ad Da’wah wa Ad Da’iyah, Hasan Al Banna, cet. II, Beirut, tahun 1366 H – 1966 M, hal 25, 58-59, 61, 74, 79, 100-102, 126. Dikutip dari As Salafiyah fi Al Mutama’at Al Mu’ashirah, Muhammad Fathy Utsman, hal. 122-126.