Manhaj Fikih Ikhwan

Dalam membahas manhaj ini, kami memilih salah satu di antaranya, yakni masalah mazhabiyah. Kami akan menyebutkan sebuah makalah tentang ijtihad dan taqlid yang pernah disebarkan pada majalah Ukhuwah Islamiyah[1] tahun pertama yang berjudul “Upaya Pembentukan Sosok Da’i”:

Taqlid

“Pengertian taqlid adalah: Menerima perkataan orang lain tanpa disertai upaya mencari dalilnya dari Al Quran dan sunnah. Bila ada orang yang bertanya tentang dalil dari keduanya, maka ia bukan muqallid (yang bertaqlid). lnilah pengertian yang disepakati semua pihak.

Para muqallid memiliki beberapa dalil, yang mereka yakini sebagai alasan sikap mereka, di antaranya:

Pertama, Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.:

“Maka bertanyalah pada ahlu dzikri bila kalian tidak mengetahui.” (QS Al Anbiya: 7)

Kita bertanya pada mereka karena kita tidak tahu, sehingga mereka memberi fatwa kepada kita. Atau bahwa taqlid kita terhadap mazhab, sebenarya merupakan upaya meminta fatwa kepada seorang alim.

Jawabannya: Yang dimaksud dalam lafadz Adz Dzikr adalah Al Quran dan hadits. Artinya wajib menanyakan dalil dari ahli dalil. Sekelompok orang di zaman Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi fatwa kepada seorang yang terluka untuk mandi karena janabah. Setelah mandi, temyata orang itu meninggal. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda: “Mengapa tidak cukup baginya bersuci dengan debu melalui tangannya seperti ini,” sambil mengisyaratkan tayammum. Beliau melanjutkan: “Mereka telah membunuhnya. Allah membinasakan mereka. Mengapa mereka tidak bertanya dulu bila mereka belum mengetahui?

“Sesungguhnya obat bagi yang tidak tahu adalah bertanya.”[2]

Artinya, mengambil pendapat, tanpa dalil, bagi seorang mufti sama halnya dengan membunuh. Dan keburukan baginya sekaligus bagi orang yang meminta fatwa. Sesuai dengan nash hadits, yang nanti akan kami jelaskan.

Kedua, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk setelahku.”[3]

“Contohlah orang-orang setelahku Abu Bakar dan Umar.”[4]

Mereka mengatakan, “Kami mengikuti para imam yang mulia sebagaimana kami mengikut Khulafaur Rasyidin.”

Ketiga, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shahabat-shahabatku adalah seperti bintang, siapapun yang kalian ikuti, kalian akan mendapat petunjuk.”[5]

Mereka mengatakan, “Kami mengikuti para imam sebagaimana kami mengikuti para shahabat.”

Keempat, Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Ta’atlah kepada Allah dan Rasul dan ulul amri di antara kalian.” (QS An Nisa’: 59)

Mereka mengatakan, “Yang dimaksud ulul amri adalah para ulama, dan ta’at kepada mereka berarti taqlid pada mereka terhadap yang mereka fatwakan.”

Jawabannya: “Yang dimaksud ulul amri adalah pemimpin, ulama, atau kedua-duanya. Taat pada ulama bukan berarti taqlid pada mereka, sebab mereka melarang sikap taqlid, sebagaimana nanti akan dijelaskan. Maka, ta’at kepada mereka, artinya justeru meninggalkan taqlid kepada mereka.”

Kelima, Bila kita membolehkan setiap orang untuk berijtihad, sama saja kita membebani manusia dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Dan akibatnya, kehidupan ilmiyah akan terhenti.

Jawabannya: Sesungguhnya setiap manusia ditetapkan untuk bertanya tentang hukum syari’at yang tetap dalam Kitabullah dan sunnah. Hal itu agar ia dapat mengambil petunjuk agamanya dari orang yang dapat menolongnya untuk memahaminya, melalui pengetahuan terhadap nash baik secara lafadz atau makna. Ini lebih ringan daripada memahami sebuah pendapat dengan sangat detail dan rinci. Prinsip inilah yang ditempuh selama tiga zaman pertama, sebagai zaman yang berpredikat paling baik.

“Sebaik-baiknya zaman, adalah zamanku, kemudian orang-orang yang setelah mereka, dan orang-orang yang setelah mereka.”[6]

Mazhab-mazhab yang empat itu berada pada tiga zaman tersebut. Dan di dalamnya sikap taqlid sama sekali tidak diakui. Adakalanya murid-murid mereka berbeda pendapat dalam banyak masalah. Lagi pula di hari kiamat kelak, seseorang tidak ditanya, “Mengapa Anda tidak menyambut perkataan atau pendapat fulan dan fulan?” Akan tetapi akan ditanya, “Apakah jawabanmu kepada para Rasul?’ sebagaimana yang tercantum didalam firman Allah, “Dan (Ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka seraya berkata: “Apakah jawabanmu kepada para Rasul? ” (QS Al Qashash: 65)

Keenam, Sesungguhnya bab ijtihad saat ini telah tertutup dikarenakan tak ada manusia yang memahami Al Quran.

Jawabannya: Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala. tidak mampu membentuk manusia yang mampu memahami Al Qur’an? Atau apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala. tidak mampu menjadikan Al Quran dapat dipahami manusia?

Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala. berfirman, “Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS Asy Syu’ara : 192-195)

“(Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa.’ (QS Az Zumar: 28)

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran.” (QS Al Qamar: 17)

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS Al Isra: 9)

Bagaimana Al Quran dapat memberi petunjuk bila tidak dapat di pahami? Orang-orang Yahudi dahulu pernah mengatakan bahwa kitab Taurat tidak dapat dipahami. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala. berfirman:

“Dan mereka berkata, “Hati kami tertutup.” Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka, maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (QS Al Baqarah: 88)

Sementara itu Allah Subhanahu wa Ta’ala. memerintahkan kita untuk memahami Al Quran kita sebagaimana kita mengetahui anak-anak kita.

“Orang-orang (Yahudi dan Nashrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri…” (QS Al Baqarah: 146)

Dari sini jelaslah, bahwa pengetahuan tentang Islam selamanya bersandar pada alasan dan dalil.

“…Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS Al Baqarah: 111)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu…” (QS An Nisa’’: 105)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Isra’: 36)

Pengertian taqlid menerima pendapat tanpa upaya mencari alasan dan dalil, tidak dikategorikan sebagai ilmu. Dan setiap muslim yang bertanya tentang dalil dari Kitabullah dan sunnah, ia telah keluar dari lingkaran taqlid.

Pendapat Imam Mazhab tentang Taqlid

Asy Sya’rani dalam kitab “Al Mizan” menyebutkan bahwa imam yang empat, semuanya mengatakan: “Bila ada hadits yang shahih, maka itulah mazhab kami”.

Imamul A’zham Abu Hanifah radhiallahu’anhu berkata: “Tidak benar bagi seseorang untuk mengatakan pendapatku, sampai ia mengetahui dari mana kami mengatakannya.” Malik radhiallahu’anhu mengatakan: “Sesungguhnya saya adalah manusia biasa yang dapat berlaku salah dan dapat benar. Maka hendaklah kalian memeriksa pendapatku. Semua yang sesuai dengan Kitabullah dan sunnah, ambillah. Dan semua yang tidak sesuai dengan keduanya tinggalkanlah.”

Diriwayatkan bahwa Syafi’i radhiallahu’anhu ditanya oleh seseorang, lalu Syafi’i mengatakan bahwa diriwayatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda begini dan begini. Kemudian si penanya berkata: “Wahai Abu Abdillah, apakah.Anda mengatakan ini?” Syafi’i menjawab: “Apakah engkau lihat di badanku terdapat ikat pinggang? Apakah engkau pernah melihatku keluar dari gereja?”

Dalam riwayat lain, disebutkan beliau terkejut dan marah, air mukanya berubah, dan mengatakan: “Bumi mana yang akan kupijak, dan langit mana yang akan menaungiku, bila aku meriwayatkan tentang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak beliau lakukan.”

Abu Daud berkata: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal radhiallahu’anhu mengatakan: “Yang dinamakan ittiba’ (mengikuti) ialah seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam”

Beliau juga pemah mengatakan: “Jangan mengikutiku, jangan mengikuti Malik, jangan mengikuti Syafi’i, jangan mengikuti Auza’i, jangan mengikuti Tsauri, tapi ambillah dari mana mereka mengambil pendapatnya.” Maksudnya adalah Al Quranul Karim.

Ya Allah, sesungguhnya pena menuliskan ini disertai rasa takut kepada-Mu dan malu kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam Apakah diperlukan penjelasan yang menyebutkan bahwa seseorang harus mendahulukan Kalamullah dan rasul-Nya dari selain keduanya? Atau apakah boleh seseorang menguatkan pendapat selain keduanya?

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mu’minah, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah ia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al Ahzab. 36) I

Bila ada seorang alim dari para ulama Islam saat ini yang menjadikan perkataannya sederajat dengan perkataan Allah dan Rasul berarti dia bisa keluar dari agama Islam! Apatah lagi bila perkataannya lebih didahulukan dari perkataan Allah dan rasul-Nya. ..!! Bagaimana bila salah satu imam mazhab yang mulia berdiri di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, apakah ia akan menolak atau me-langgarnya??

Tidak, demi Allah!! Bahkan ia mungkin tak mampu memandang Rasulullah karena kemuliaan dan kebesarannya. Para shahabat pernah menanti seseorang dari kaum Badui agar ia bertanya pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka mengambil manfaat dari jawaban yang Rasul berikan kepadanya. Sesungguhnya rasa malu terkadang telah menjadikan lidah mereka kaku di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya. Seolah-olah di atas kepala mereka ada burung-burung.

Sebagai penutup, saya paparkan kepada Anda sebuah nasihat berharga dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang dinukil kitab-kitab Sunan:

“Suatu ketika, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan suatu nasihat yang membuat air mata menitik, dan hati bergetar. Kami lalu berkata kepadanya: “Wahai Rasulullah, ini sungguh-sungguh seperti nasihat perpisahan, dengan apa kau wasiatkan kami?” Rasul menjawab, ” Aku tinggalkan kalian dalam suasana terang benderang. Malamnya seperti siang. Tidak ada yang tergelincir setelahku kecuali orang yang celaka. Dan barang siapa di antara kalian yang masih hidup kelak akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian melakukan apa yang kalian ketahui dari sunnahku dan sunnah khulafa’u rasyidin yang mendapat petunjuk. Hendaklah kalian taat, meskipun kepada seorang Habsyi. Gigitlah olehmu ketaatan itu dengan geraham. Sesungguhnya seorang mu’min laksana cucuk onta. Setiap kali diikat ia terikat. Dan jauhilah olehmu perkara-perkara baru (dalam agama). Sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat.”[7]

Beberapa Prinsip dalam Masalah Ijtihad dan Taqlid yang Kuketahui dari Ucapan Tokoh Ikhwanul Muslimin

Untuk menjelaskan masalah ini, saya akan merujuk pada beberapa kutipan dari kitab karya Al Buthy tentang masalah mazhab, termasuk perkataan para ulama mujtahidin dari para salaf rahimahumullah yang disebutkan di dalamnya, dan perkataan Imam Haan Al Banna rahimahullah.

Ungkapan Al Buthi:

Sesungguhnya orang yang bertaqlid pada salah satu mazhab, tidak mengharuskannya secara syari’at untuk mengikuti imamnya terus menerus. Juga tidak melarangnya untuk berpindah dari pendapat imam mazhabnya kepada pendapat selainnya.

Kaum muslimin telah sepakat bahwa seseorang bebas bertaqlid pada siapa saja dari para mujtahidin bila ia telah sampai pada haikkat mazhab pendapat mereka. Misalnya, ia diperboleh meniru setiap hari satu orang imam dari imam yang empat.

Bila pada suatu masa ada orang yang melarang perpindahan seseorang dari satu mazhab ke mazhab yang lain, sikap itu merupakan ta’ashub atau fanatik buta yang secara ijma’ kaum muslimin telah menolaknya.

Setiap orang yang meneliti masalah ini mengetahui, bahwa tidak ada perselisihan dalam hal tersebut. Dan yang perlu ditegaskan bahwa penjelasan ini bukan seruan agar seseorang sama sekali tidak terikat dengan salah satu mazhab tertentu, dan bukan anjuran agar ia selalu berubah-ubah dalam mengikuti mazhab. Tidak adanya kewajiban untuk iltizam (berpegang) pada suatu mazhab, tidak berarti larangan untuk beriltizam kepadanya.

Bila seseorang telah memahami suatu masalah dan mendalami dalil-dalilnya lewat Al Quran, sunnah dan prinsip-prinsip ijtihad, maka ia harus menerapkan hal tersebut dalam mengambil pendapat imam mazhabnya.

Dia tidak boleh bertaqlid kepadanya selama ia masih mungkin melakukan ijtihad di dalamnya sebatas kemampuan ilmiyah yang dimilikinya. Para ulama dan imam mazhab seluruhnya telah sepakat dalam hal ini.

Tentu saja konsekuensinya, ia tidak boleh menguatkan pendapat imamnya di atas hasil ijtihadnya sendiri, dalam masalah yang telah ia kaji dan dalami pemahaman dalil serta prinsip-prinsipnya. Dalam masalah ini, juga tidak ada perselisihan. Dan ini tidak berarti menganjurkan seorang muqallid yang jahil terhadap dalil-dalil hukum untuk tidak bertaqlid kemudian bersandar langsung terhadap nash Al Qur’an dan sunnah.

Kapan seseorang wajib tidak bertaqlid kepada mazhab dan imamnya?

Ada dua kondisi di mana seseorang harus melepas diri dari mengikuti dan bertaqlid pada imamnya:

Pertama, bila seseorang telah mendalami satu masalah hingga dalam taraf penguasaan dan penelitian dari segenap dalil-dalilnya dan mengetahui metode pengambilan istinbath (kesimpulan) hukum dari dalil-dalil tersebut. Maka baginya harus mengikuti hasil ijtihadnya dalam masalah tersebut. Ia tidak boleh mengekang kemampuan ilmiyahnya untuk terus berjalan di belakang imamnya. Bila kemampuan ilmiyahnya ini bisa diterapkan lebih banyak dari satu masalah, maka hukumnya sama, bahwa ia harus mendahulukan hasil ijtihadnya.

Kedua, bila seseorang mendapati sebuah hadits yang berlawanan dari pendapat imam mazhab yang ia ikuti. Kemudian ia telah meyakini keshahihan hadits dan kelayakannya menjadi dalil dalam hukum. Maka baginya harus mengikuti petunjuk hadits dan melepas keterikatannya dengan mazhab imamnya dalam hukum masalah tersebut. Sebab sesungguhnya seluruh imam mazhab yang empat mewasiatkan pengikut dan murid mereka untuk pindah pada petunjuk hadits yang shahih bila ternyata berlainan dengan hasil ijtihad mereka. Maka, berpindah mengikuti hadits pada hakikatnya merupakan inti mazhab imam yang empat. ltulah prinsip mereka secara bersama yang senantiasa mereka anut.

Meskipun demikian, hal ini mutlak memerlukan beberapa syarat yang perlu diketahui dan dijaga. Tidak dipahami bahwa seluruh hadits yang diperoleh oleh seorang peneliti dan isinya berlawanan dengan hasil ijtihad imaifmya menjadi petunjuk asasi terhadap apa yang dipahaini peneliti itu terhadap hadits.

Untuk meninggalkan pendapat seorang imam melalui pemahaman zahir terhadap makna hadits harus dilandasi sebab-sebab ijtihad yang banyak. Ibnu Taimiyah rahimahullahu memaparkan sepuluh buah syarat untuk hal tersebut, di samping beberapa sebab lainnya. Salah satunya disebutkan, bahwa seorang alim bolehjadi memiliki alasan meninggalkan penerapan suatu hadits yang kita belum tahu alasan tersebut. Sesungguhnya wawasan ilmu itu luas.[8]

Bila kita telah mempelajari latar belakang seorang imam mujtahid meninggalkan makna zahir suatu hadits, dan kita telah memenuhi semua sebab dari sepuluh sebab yang disebutkan Ibnu Taimiyah rahimahullahu, maka selanjutnya kita tidak boleh meninggalkan petunjuk hadits shahih dengan alasan bahwa mungkin saja seorang imam memiliki uzur dan alasan yang belum kita ketahui. Sebab hal itu berarti kita lebih mengikuti kesalahan ulama dari pada mengikuti dalil-dalil syar’i setelah kita mengetahui, memeriksa, dan memahami maksudnya.[9]



[1] Majalah ini dianggap sebagai corong Ikhwan di masa itu, berlokasi di Iraq. Pada kesempatan saya akan menjelaskan masalah ini ketika mentakhrij dan mentahqiq kitab Al Qaulu As Sadid fi Ba’dhi Masa’il Al ljtihad wa At Taqlid. Majalah Al Ukhuwah Al Islamiyah, tahun pertama, diasuh oleh Syaikh Muhammad Mahmud Ash Shawaf, tokoh penting Ikhwan di masa itu.

Catatan: Pengutipan isi makalah ini, tidak berarti saya sepakat dengan seluruh isinya.

[2] Dikeluarkan oleh Abu Daud (336); Al Baihaqi (1/228); dan Daru Quthniy dari jalan Az Zubair bin Khariq dari Atha’ dari Jabir. Berkata Ad Daruquthniy: “Zubair tidak meriwayatkan hadits ini dari ‘ Atha, dari Jabir. Ja1ur selain Zubair bin Khariq tid* kuat dan ditolak oleh Al Auza’i dengan mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari Atha dari Ibnu Abbas. Terjadi perselisihan dalam hal ini, ada yang mengatakan hadits-ini diriwayatkan dari Al Auza’i dari ‘ Atho, ada pula yang mengatakan sebaliknya.

Hadits Ibnu Abbas yang ditunjukkan oleh Daruquthniy dikeluarkan pula oleh Abu Daud (337); Ibnu Majah (572) dan selain keduanya. Berkata Al Alban i bahwa rijal hadits ini seluruhnya tsiqah akan tetapi posisinya munqathi ‘ an tara Auza’ i dan’ Atho, Al Irwa 1/134. Meskipun demikian, Al Albani telah menyebutkan dua hadits ini dalam Shahihu Al Jami ‘ (4238,4239), dan menyebutkan kedua-duanya sebagai hadits shahih.

[3] Dikeluarkan oleh Ahmad (4/126, 127); Abu Daud (4607); Tirmidzi (5/45); Ibnu Majah (42,43,44); Ad Darimi (96); Al Hakim (1/95,96); Ibnu Hibban (Mawarid, 102); Ibnu Nashr dalam As Sunnah (21); Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah (31,54,32, 57,26,55, 28,29) dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (5/220), serta selain mereka, dari hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah.

Berkata Al Hakim bahwa hadits ini shahih dan tidak memiliki cacat (i1lat). Berkata Abu Nu’aim bahwa hadits ini adalahjayid dan termasuk deretan hadits shahih bagi orang-orang Syam. Berkata1bnu Abdil Barr bahwa sanad hadits ini shahih (Jam ‘u Bayani Al ‘Ilmi, 2/ 110). Abu Bakar berkata. “Hadits ini tetap keshahihannya Jam ‘u Bayani-Al ‘ilmi, 2/222). Dishahihkan oleh Al Albani (Shahihul Jami’, 2546).

[4] Dikeluarkan oleh Al Hakim (3/75) dari Ibnu Mas’ud dan dikeluarkan oleh At Tirmidzi (3662); Ahmad (5/385,402); Ath Thahawiy dalam Al Musykil (2/83,84); Ibnu Sa’d (2/ 334); Al Hakim (3/75), dan selain mereka, dari Hudzaifah.

[5] Berkata Al Albaniy bahwa hadits ini maudhu ‘. Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami ‘u Al ‘Ilmi (2/91), Ibnu Hazm dalam Al Ahkam (6/82) dan disebutkan dalam Al Ahadits adh-Dha ‘ifah (58).

[6] Dikeluarkan oleh Al Bukhari (Fath, 6/187) dari ‘Imran bin Hashin.

[7] Takhrij hadits ini telah disebutkan sebelumnya

[8] Raf’u Al Malam ‘an Al Aimmati Al A‘lam, hal. 31.

[9] Al La Madzhabiyah, hal. 35,86,87.