Apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang telah kami sebutkan di atas maka langkah selanjutnya adalah mengawasinya (muraqabah) ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memperhatikannya dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan rusak. Berikut ini kami sebutkan keutamaan muraqabah dan derajat-derajatnya.
Tentang keutamaan muraqabah, Jibril alaihis salam pernah bertanya tentang ihsan lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.” (Bukhari dan Muslim)
“Beribadahlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihat-Nya tetapi Dia melihatmu.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah, hadits ini hasan)
Allah berfirman:
“Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap jiwa terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (Ar Ra’d: 33)
“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (Al ‘AIaq: 14)
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa’: 1)
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnyaj dan ianjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.” (Al Ma’arij: 32-33)
Diceritakan bahwa sebagian Syaikh punya seorang murid muda yang dihormati dan diutamakannya, lalu sebagian kawannya berkata kepadanya: Bagaimana engkau menghormati anak muda ini padahal kami lebih tua’? Kemudian Syaikh tersebut meminta sejumlah burung dan memberikan seekoi burung kepada setiap orang dari mereka berikut sebilah pisau seraya berkata: Masing-masing kalian hendaklah menyembelih burungnya di tempat yang tidak dilihat oleh siapapun. Kemudian ia pun menyerahkan burung berikut sebilah pisau kepada murid muda tersebut dan berkata kepadanya sebagaimana perkataannya kepada mereka. Kemudian masing-masing mereka kembali dengan membawa burungnya yang telah disembelih, kecuali murid muda yang kembali dengan membawa burungnya masih hidup di tangannya. Syaikhnya bertanya: Mengapa kamu tidak menyembelihnya sebagaimana telah dilakukan oleh kawan-kawanmu? Murid muda itu menjawab: “Aku tidak menemukan tempat dimana aku tidak dilihat oleh siapapun, karena Allah senantiasa melihatku di setiap tempat.” Akhirnya mereka mengakui kebaikan muraqabah anak muda tersebut seraya berkata: Anda berhak dihormati. Sebagian mereka bertanya tentang firman Allah:
“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Al Bayyinah: 8)
Ia menjawab: Maknanya, yang demikian itu bagi orang yang merasakan muraqabah Tuhannya, meng-hisab dirinya dan membekali diri untuk akhiratnya.
Dzun Nun pernah ditanya: Dengan apakah seorang hamba mencapai surga’? Ia menjawab:
“Dengan lima hal: Istiqamah yang tidak mengandung kelicikan, keseriusan yang tidak disertai kelalaian, muraqabatullah ta ‘ala dalam sunyi dan keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan terhadapnya, dan muhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
[Manusia, dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan rum. Apabila ia merasakan muraqabatullah dalam semua hal tersebut dengan ilc”.. perbuatan yang baik dan menjaga adab maka ia adalah orang yang telah r..-.ikukan muraqabah. Jika sedang duduk misalnya maka seuogyanya ia duduk -.-ghadap kiblat mengingat sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sebaik-baik majlis adalah yang menghadap kiblat.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim)
Jika tidur maka ia tidur di atas tangan kanan dan menghadap kiblat dengan mmp menjaga semua adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah. Bahkan fckalipun tengah membuang hajat, ia tetap menjaga adab-adabnua demi komitmen kepada muraqabah.
Seorang hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: Dalam ketaatan, atau mlam kemaksiatan atau dalam hal yang mubah.
Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan melindunginya dari berbagai cacat.
Jika dalam kemaksiatan, maka muraqabah-nyz ialah dengan taubat, melepaskan, malu dan sibuk melakukan tafakkur.
Jika dalam hal yang mubah, maka muraqabah-nya ialah dengan menjaga adab kemudian menyaksikan Pemberi nikmat dalam kenikmatan yang didapat lin mensyukurinya.
Dalam semua keadaannya, seorang hamba tidak terlepas dari ujian yang zarus disikapmya dengan kesabaran, dan nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu adalah muraqabah. Bahkan dalam semua keadaannya, seorang zamba tidak terlepas dari fardhu Allah kepadanya yang harus dilaksanakannya, atau larangan yang harus dihindarinya, atau anjuran yang dianjurkan kepadanya igar ia bersegera mendapatkan ampunan Allah dan berpacu dengan hamba-hamba Allah, atau hal mubah yang memberikan kemaslahatan jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap ketaatannya. Masing-masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang harus dijaga dengan senantiasa muraqabah: “Dan barangsiapa melanggar batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri.” (Ath Thalaq: 1). Seorang hamba harus mengontrol dirinya dalam semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan maka hendaknya ia mencari amal yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia adalah orang yang terpedaya. Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai keutamaan yang istimewa. Dengan hal itulah seorang hamba menjadikan bagian dunianya untuk akhiratnya, sebagaimana. firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (Al Qashash: 77)].
Demikianlah murabathah yang kedua dengan senantiasa mengawasi amal perbuatan ini. Penjelasannya secara detil akan terlalu panjang tetapi apa yang telah kami sebutkan di atas merupakan peringatan terhadap minhaj bagi orang yang menguasai dasar-dasar.