Maqam Murabathah Ketiga: Muhasabah Setelah Beramal

Berikut ini kami sebutkan keutamaan muhasabah dan hakikatnya. Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman:

“Hal orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al Hasyr: 18)

Ini adalah isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan. Oleh karena itu Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.” Allah berfirman:

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nur: 31)

Taubat ialah meninjau perbuatan dengan menyesalinya setelah dikerjakan. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits shahih:

Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”

Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (Al A’raf: 201)

Dari Umar Radhiyallahu ‘Anh bahwa ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut seraya berkata kepada dirinya: Apakah yang telah kamu perbuat hari ini’?

Dari Maimun bin Mahran bahwa ia berkata:

“Seorang hamba tidak termasuk golongan Muttaqin sehingga dia menghisab dirinya lebih keras ketimbang muhasabahnya terhadap mitra usahanya; sedang dua orang mitra usaha saling muhasabah setelah bekerja.”

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anh berkata kepadanya ketika menghadapi kematian: Tidak ada orang yang lebih aku cintai selain dari Umar. Kemudian Abu Bakar berkata kepadanya: Bagaimana aku berkata tadi? Lalu Aisyah mengulangi apa yang dikatakannya. Abu Bakar berkata: Tidak ada orang yang lebih aku hormati selain dari Umar.

Perhatikanlah bagaimana Abu Bakar meninjau ulang perkataan yang telah diucapkannya lalu menggantinya dengan perkataan yang lain. Juga hadits Abu Thalhah ketika terganggu konsentrasinya dalam shalat karena seekor burung, lalu ia mentadabburkannya kemudian menshadaqahkan kebunnya demi mencari ridha Allah, sebagai wujud penyesalan dan harapan untuk mengganti-kan apa yang telah luput darinya.

Di dalam hadits Ibnu Salam disebutkan bahwa ia membawa sepikul kayu bakar lalu dikatakan kepadanya: Wahai Abu Yusuf, sesungguhnya apa yang ada di dalam rumhamu dan pembantu-pembantumu bisa menggantikanmu dari melakukan hal ini? Ia menjawab: Aku ingin menempa jiwaku apakah dia menolaknya?

Al Hasan berkata:

“Orang Mukmin selalu mengeualuasi dirinya, ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi orang-orang yang telah menghisab diri mereka di dunia, dan akan menjadi berat pada hari kiamat bagi orang-orang yang mengambilperkara ini tanpa muhasabah.”

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Aku mendengar Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anh pada suatu hari ketika dia keluar bersamaku hingga memasuki kebun, lalu aku mendengarnya berkata —antara aku dan dia ada sebuah dinding— di dalam kebun: Umar bin Khaththab, Amirul Mu’minin. Ah! Ah! Demi Allah, engkau harus takut kepada Allah atau Dia akan menyiksamu.”

Tentang firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (Al Qiyamah: 2), Al Hasan berkata: Tidaklah orang Mu’min menatap kecuali mencela dirinya, apa yang aku inginkan dengan ucapanku dan apa yang aku inginkan dengan makananku? Apa yang aku inginkan dengan minumanku? Orang yang membanggakan diri berjalan ke depan tanpa mencela dirinya.

Hakikat Muhasabah setelah Beramal

Ketahuilah bahwa seorang hamba sebagaimana punya waktu di pagi hari untuk menetapkan syarat terhadap dirinya berupa wasiat dalam menepati kebenaran, maka demikian pula hendaknya ia punya waktu sejenak di sore hari untuk menuntut dirinya dan menghisabnya atas semua gerak dan diamnya, seperti halnya para pedagang di dunia berbuat terhadap para mitra usahanya di setiap akhir tahun atau setiap bulan atau setiap hari, karena antusias mereka ferhadap dunia dan kekhawatiran mereka tidak mendapatkannya. Seandainya hal itu terjadi pada mereka niscaya tidak tersisa kecuali beberapa hari saja. Lalu mengapakah orang yang berakal tidak menghisab dirinya menyangkut hal yang menentukan kesengsaraan atau kebahagiaan selama-lamanya? Pengabaian ini tidak lain adalah karena kelalaian, kehinaan dan sedikitnya taufiq Ilahi; kami berlindung kepada Allah darinya.

Arti muhasabah terhadap mitra usaha ialah meninjau modal, keuntungan dan kerugian, untuk mencari kejelasan apakah bertambah atau berkurang. Jika didapatinya bertambah maka ia mensyukurinya tetapi jika didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan menjaminnya dan berusaha mendapatkan-Nya di masa mendatang. Demikian pula modal hamba dalam agamanya adalah berbagai kewajiban, keuntungannya adalah berbagai amal sunnah dan keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan. Musim perdagangan ini adalah sepanjang siang., sedangkan mu’amalah jiwanya adalah memerintahkan keburukan. Kemudian ia menghisabnya dengan berbagai kewajiban terlebih dahulu; jika dilakukannya secara benar maka ia bersyukur kepada Allah dan mendorongnya untuk melakukan hal yang sama; jika luput sama sekali maka ia menuntutnya dengan meng-qadha’; dan jika ditunaikan secara kurang sempurna maka ia menutupinya dengan berbagai amalan sunnah; jika melakukan maksiat maka ia sibuk memberikan sanksi, hukuman dan celaan terhadapnya untuk menyusuli apa yang terluput dari dirinya — sebagaimana dilakukan pedagang terhadap mitranya. Sebagaimana ia meneliti biji-bijian dan takaran dalam hisab dunia dengan menjaga tempat-tempat masuknya tambahan dan pengurangan agar tidak tertipu sedikitpun dari barang-barang tersebut, maka demikianlah hendaknya ia menjaga tipu daya jiwa dan muslihatnya karena sesungguhnya jiwa suka menipu, licik dan membingungkan. Hendaklah ia menunutnya terlebih dahulu dengan jawaban yang benar tentang semua omongan yang diucapkannya sepanjang harinya, dan hendaklah ia menghisab dirinya sebelum pihak lain melakukannya di padang hari kiamat. Demikianlah tentang pandangannya bahkan tentang berbagai lintasan, pikiran, berdiri, duduk, makan, minum dan tidurnya, sampai tentang diamnya mengapa ia diam’? Tentang tenangnya mengapa ia tenang’? Apabila ia telah mengetahui semua kewajiban atas dirinya dan perhitungannya tentang apa yang harus ditunaikan telah tepat, sehingga nampak baginya apa yang menjadi bagian dirinya, maka hendaklah ia memelihara dan menulisnya di lembaran hatinya sebagaimana ia menulis bagian yang diperoleh oleh mitranya di dalam hatinya dan di dalam lembaran hisabnya.