Membangun Takwa Dalam Seni Di Bulan Ramadhan

Esensi seni adalah ungkapan keindahan yang dirasakan dalam hati, dalam bentuk tulisan, kata-kata, gambar atau suara, dan sebagainya.

Dalam menuntut kreativitas budaya manusia, Al Qur’an dan Al Hadits hanya memberikan petunjuk secara umum. Bahkan sering memberikan isyarat-isyarat tertentu yang pengembangannya diserahkan kepada manusia, termasuk kebudayaan (hasil karya akal budi manusia). Allah Subhanahu wa Ta’ala. telah membekali manusia dengan akal budi, justru untuk mengembangkan aspek-aspek kehidupan yang diatur secara rinci dalam Wahyu Ilahi. Sebagai perbandingan silakan tadabburi ayat 6 surat Ath Thur:

“Dan laut yang di dalam tanahnya ada api” (Ath Thur: 6).

Ayat ini menerangkan bahwa di bawah laut ada api. Secara kontekstual menjelaskan bahwa di bawah laut ada energi. Ternyata sesuai dengan bukti ilmiah bahwa di dalam laut ada minyak dan gas bumi yang merupakan sumber energi utama.

Dalam surat Al Hadid ayat 25 Allah berfirman,

“Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasu-lNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (Al Hadid: 25).

Realitanya sesuai dengan bukti ilmiah bahwa besi logam yang mengandung magnet elementer, sebagai sumber listrik. Demikian pula halnya dengan masalah kesenian, Islam hanya memberikan isyarat umum tentang kesenian, ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Allah itu Indah dan mencintai keindahan” (HR Muslim).

Maksudnya, jika esensi kesenian adalah pengungkapan rasa indah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala. tidak melarang kegiatan-kegiatan bernuansa seni. Namun masalahnya adalah: Seni Islam yang mana dan kesenian yang bagaimana?

Seni yang diperkenankan bahkan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. ialah seni yang mengungkapkan sikap pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Seni menjadi Islami jika ia mengungkapkan pandangan hidup muslim”. Karena tidak ada seni tanpa melalui hubungan batin antara seni dan spiritualitas senimannya atau penikmat seni itu. Maka, dapat dikatakan bahwa “Seni Islam” timbul dari realitas Spiritual Islam yang menjelma dalam bentuk indrawi dan menjadi faktor untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Inti realitas spiritual Islam adalah kesadaran akan keesaan Allah yang dicontohkan Nabi Ibrahim as. sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat Tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada tiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpmaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” (Ibrahim: 24-25).

Ayat di atas menjelaskan bahwa iman seorang mukmin di samping berfungsi sebagai perisai dirinya dari malapetaka hidup dan kehidupan, ia juga merupakan simbol pohon kehidupan yang mendasari semua kegiatan hidup muslim.

Dengan kata lain, bahwa setiap aktivitas hidup seorang mukmin hendaknya dilandaskan pada nilai-nilai iman, agar tidak keluar dari rel dan jalur semestinya. Termasuk seni, tanpa adanya rambu-rambu yang meneranginya, seni dapat menjerumuskan pelakunya ke jurang kenistaan. Karenanya, tidak ada dalam kamus Islam istilah “art for art” seni untuk seni. Yang ada adalah “seni untuk menunjukan pengabdian dan ketaatan kepada sang Khaliq”.

Seni yang merupakan refleksi asli kejiwaan setiap anak manusia, juga memerlukan kontrol sosial. Sebab, tanpa kontrol sosial terhadap seni, tidak jarang orang ‘mabuk’ seni. Seakan-akan seni adalah hidupnya, aktivitas seni bagai segala-galanya, ia lupa diri bahwa di sisi kanan kirinya, bahkan di atas dan di bawahnya ada yang mengintainya yakni kehidupan sosial. Ia tidak mungkin hidup sendiri, kebebasan jiwanya ditemani dengan kebebasan lain dari lingkungan sosialnya. “Kebebasan beraktivitas seninya berakhir saat dimulai kebebasan orang lain”.

Fungsi sosial seni sering terabaikan. Seni selayaknya berperan juga sebagai alat kontrol dan penggugah nurani serta rasa keadilan. Tapi sangat disayangkan, peran-peran itu kurang berjalan dengan baik. Seniman dan penikmat seni hanya berseni pada aspek keindahan atau asyik dengan karya seninya, tidak mau repot ikut menjalankan kontrol sosial dan mendidik masyarakat. Bahkan tidak memberi kontribusi bermanfaat bagi masyarakat.

Ironisnya, mereka menampilkan seni destruktif dan arogan di balik tameng art for art”, kebebasan berkreasi dan berimajinasi. Dalam bidang seni lukis atau seni rupa, ada buku “Syuga” berisi foto-foto bugil Dewi Sukarno. Farah Fawcett dengan foto-foto bugilnya di majalah Play-Boy. Dalam dunia perfilman, ada fenomena penolakan kritik terhadap adegan ranjang, karena tuntutan artistik dalam sinematografi.

Dalam dunia musik dimunculkannya lagu-lagu ‘cengeng’ dan ‘murahan’, musik yang memekakkan gendang telinga dan membutakan mata hati. Dalam sastra, karya Ki Panji Kusmin “Langit Makin Mendung” berisikan pelecehan terhadap nilai-nilai agama. Di dunia internasional kita mendengar nama Taslima Nasrin dari Bangladeh mengikuti jejak Salman Rushdi, yang membuat heboh dunia Islam dengan karyanya “The Satanic Verses”.

Seni bukan segala-galanya dalam kehidupan muslim. Seni tidak dilarang oleh Islam, tetapi Islam mengarahkan seni agar lebih bernilai dan bermakna bagi keimanan dan keislaman setiap muslim. Maka, seni ditempatkan dalam domain tahsiniah (suplemen), bukan dalam domain hajiyah (skunder) apalagi dharuriyah (primer).

Dari sini, kita dapat pahami bahwa seni hendaknya mengikuti aturan-aturan Ilahiyah yang menempatkan seni pada kategori “mubahat” (sesuatu yang dibolehkan, namun tidak bernilai “laghw” (sia-sia belaka). Karena ada masalah-masalah yang lebih penting dari soal seni yang berstatus suplemen; di sana ada masalah primer dan sekunder yang harus diperhatikan oleh setiap muslim dalam kehidupan.

Sebagai contoh, model seni adalah nash-nash hadits yang berisi ancaman terhadap alat musik dan penggunaannya cukup memberikan peringatan keras, yang harus disikapi dengan berhati-hati dalam menggunakan alat musik. Selain adanya nash-nash hadits yang menjelaskan rukhsah penggunaan alat musik seperti “duff” (rebana) pada kesempatan-kesempatan tertentu.

Ikhtilaf di kalangan ulama tentang musik dan lagu hendaknya dihargai. Sebab, ikhtilaf di antara mereka sebenarnya dalam hal penggunaan alat musik dan lagu yang tidak mendatangkan mudharat dan dalam tempat serta suasana yang tidak bernuansa maksiat. Selain itu, mereka sepakat bahwa musik yang dimainkan atau lagu yang didendangkan untuk dan dalam kondisi, suasana atau tempat maksiat tidak dibenarkan syariat Islam.

Ramadhan merupakan bulan yang sangat cocok untuk banyak merenung sambil mengevaluasi diri, agar aktivitas seni yang dijual dan ditayangkan serta dipersembahkan kepada masyarakat hendaknya diarahkan kepada seni yang konstruktif. Seni yang memainkan peran kontrol sosial bagi kehidupan bangsa dan negara.

Seni yang mengingatkan nurani agar senantiasa melakukan yang terbaik bagi hidup dan kehidupan. Seni yang melembutkan sikap dan perilaku para pelaku kehidupan berbangsa. Seni yang menggugah nurani para pemimpin bangsa agar selalu berorientasi pada kepentingan negara. Seni yang mengingatkan nurani masyarakatnya agar senantiasa bersikap dewasa dalam mengkritisi para negarawan kita.

Ramadhan hendaknya dapat dimanfaatkan untuk mentakwakan seni bagi kehidupan, agar menjadi seni yang bermoral, bermartabat, bahkan menjadi seni yang diridhai, tidak hanya oleh masyarkat yang cinta damai, tetapi lebih penting lagi dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anda boleh bersyair ria, tetapi bukan syair yang diungkapkan seorang Abu Nawas:

Jangan kau hina diriku, karena penghinaan itu tipuan obati diriku dengan dirinya (pacarnya) sebagai obat”.

Atau kata-kata Penyair Arab Syauqi :

“Ramadhan telah memalingkan dirinya (pacarnya) wahai pendambanya yang senantiasa rindu, mencari kerinduannya”

Atau lebih buruk lagi ungkapan seorang pujangga Eliya Abu Madhi dalam qashidahnya “Ath Thalasim”,

“aku datang, tidak tahu dari mana, tetapi aku telah datang aku melihat jalan di depanku, aku pun berjalan bagaimana aku datang, bagaimana aku melihat? aku pun tak tahu”

Bahayanya ungkapan ini karena mengindikasikan sikap ragu dan keraguan terhadap dasar-dasar keimanan, asal usul penciptaan, akhir kehidupan dan kenabian.

Atau anda pernah mendengar sebuah lagu yang syairnya “Dunia adalah rokok dan cangkir” sebagai ekspresi “fly” dengan sebatang rokok dan secangkir khamr.

Memelihara pandangan, pendengaran, lidah dan langkah-langkah gerak kaki anda merupakan bagian dari shaum anda. Menjaga hati dan menahan emosi serta mengarahkan keinginan-keinginan jiwa juga bagian yang tak terpisahkan dari shaum anda. Sebab, shaum tidak hanya dari menahan lapar dan dahaga, tetapi menahan semua anggota badan dari perbuatan tidak baik juga adalah shaum yang diinginkan Allah, agar para pelaku dan peserta ujian Ramadhan berhasil meraih predikat muttaqin (orang-orang bertakwa).

Karenanya, saat jiwa anda berontak meminta kebutuhan keindahan seni, sebenarnya saat itu anda diuji untuk mengarahkan keinginan itu ke arah yang disukai Allah Subhanahu wa Ta’ala. dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Mendengarkan dan membaca Al Qur’an di bulan Ramadhan, ternyata juga mampu melembutkan hati dan menjernihkan pikiran serta membersihkan sikap perilaku pembaca dan pendengarnya.

Sesekali hibur dengan bacaan shalawat dan lagu-lagu nasyid yang menggugah hati dan membangun spirit bekerja dan berjuang, seperti nasyid dalam album Snada :

Wahai saudaraku mari bersama

Kita bersatu berjuang

Menegakkan panji Ilahi

Agar berjaya slamanya

Hidup di dunia hanya sementara

Jangan kau sampai terlena

Bersiaplah mulai saat ini

Menuju hidup abadi

Reff.

Mari bersama

kita bahu membahu

Untuk mencapai tujuan mulia

Menggapai ridho Ilahi

Ya Allah….

ya Ilahi Robbi

Teguhkanlah iman kami

Dalam menempuh jalanMu

Boleh juga sesekali menghibur diri dengan menyaksikan tayangan TV pada program yang sehat dan menyehatkan. Jangan sekali-kali merusak shaum dengan tontonan yang ‘menjijikan’. Demikian juga menghibur diri dengan seni berpenampilan islami yang tidak merusak shaum dan tidak mengurangi pahala dan nilai shaum. Insya Allah seni seperti itu mendapat status “TAKWA SENI” yang dibangun di bulan Ramadhan.

Semoga kita berhasil. Amien.