Mencerahkan Budaya Bahasa Kita

Apa yang disebut penyerbuan budaya telah melanda bangsa ini dengan amat dahsyatnya. Nyaris tidak ada satu sisi kehidupan kemasyarakatan dan budaya, termasuk bahasa, yang lepas dari serbuan budaya asing. Memang ada kecenderungan kuat penggunaan bahasa Indonesia pada media massa, media iklan, dan media luar ruang, telah tergantikan oleh bahasa asing, terutama Inggris. Hal itu terjadi di luar kewajaran dan bahkan dalam banyak kasus tidak pada tempatnya. Tragisnya kalangan pejabat negara pun tidak segan membuat acara-acara dengan menggunakan istilah-istilah berbahasa Inggris.

Sejatinya fenomena keranjingan berbahasa asing di pertemuan-pertemuan resmi, di media massa, dan di tempat-tempat umum yang marak sekarang ini menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat kita dalam bertindak dan berbahasa. Memang kita tidak menolak perubahan selama tidak mencederai falsafah hidup dan jati diri bangsa kita. Namun pada kenyataannya perilaku berbahasa saat ini diikuti kecenderungan yang mengkhawatirkan dalam perilaku bertindak dan identifikasi diri bangsa. Kecenderungan mengidentifikasikan diri pada budaya dan pola perilaku asing yang belum tentu membawa kemajuan peradaban telah mengikis perlahan-lahan identitas bangsa Indonesia dengan nilai-nilai budaya luhurnya.

Dengan sangat lugas realitas aktual keranjingan penggunaan bahasa asing yang begitu menjadi-jadi dan ketidakmampuan bangsa Indonesia untuk menahan arus penyerbuan budaya, dapat dikatakan sebagai musibah budaya. Hal itu sekaligus menggambarkan kondisi mental bangsa Indonesia yang merasa tidak memiliki identitas dan kekayaan budaya yang berharga pada dirinya sehingga perlu mengadopsi milik bangsa lain yang dianggap lebih berharga. Bahkan bangsa ini merasa malu untuk menampilkan kekayaan budayanya di hadapan bangsa-bangsa lain.

Bahasa, Budaya dan Jati diri Bangsa

Para ahli kebudayaan umumnya memandang setidak-tidaknya ada 3 hal yang memastikan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan budaya, yaitu (1) bahasa adalah bagian dari budaya, (2) bahasa adalah indeks budaya, dan (3) bahasa menjadi simbol budaya. Oleh karena itu para antropolog budaya menilai terjadinya pergeseran makna budaya dapat menimbulkan pergeseran fokus, dari konsepsi-konsepsi yang mementingkan peran bahasa sebagai sistem formal abstraksi kategori-kategori budaya ke strategi-strategi linguistik yang dipakai membangun status, identitas, dan hubungan-hubungan sosial.

Bahasa sebagai bagian dari budaya dapat dirujuk pada kenyataan bahwa sebagian besar perilaku manusia dilingkupi bahasa. Bahasa sebagai indeks budaya dapat dilihat dari perannya sebagai bagian dari budaya. Bahasa menyingkap cara berpikir dan cara mengorganisasi pengalaman dalam sebuah budaya. Sedangkan bahasa sebagai simbol kebudayaan dapat diamati melalui kenyataan bahwa bahasa merupakan sistem simbol yang paling lengkap. Oleh sebab itulah bahasa tertentu sekaligus menjadi simbol etnokultur.

Bahasa sebagai jatidiri budaya mustahil dapat dipisahkan dari budaya. Oleh karena itu performa seseorang dan sebuah masyarakat atau suatu bangsa sejatinya menunjukkan hakikat budayanya. Begitu juga sebaliknya, budaya suatu bangsa akan merefleksi dalam perilaku lahiriah manusia dan masyarakatnya. Maka bahasa yang digunakan oleh sebuah masyarakat dalam suatu bangsa menjadi cermin budayanya. Mengacu kepada maraknya penggunaan bahasa asing secara liar yang nyaris memusnahkan bahasa Indonesia yang telah menjadi jatidiri budaya kita, maka dapat dikatakan jatidiri budaya bangsa Indonesia kini berada dalam situasi krisis.

Apa yang dialami bangsa Indonesia dalam kaitan nasib bahasanya merupakan akbibat langsung dari serangan pemikiran (Al-Ghazwul-Fikri), sebuah gerakan yang mendesak bahasa negeri-negeri yang diserbu dengan bahasa kaum penyerbu. Mereka dengan penuh ambisi dan keserakahan terus menerus memerangi bahasa kita agar terus menerus berada dalam kelumpuhan total.

Bagian dari Strategi Kebudayaan.

Kenyataan tersebut telah menggugah Depdiknas untuk aktif dalam upaya mencegah kepunahan bahasa Indonesia, yaitu dengan menyusun RUU Kebahasaan. Selanjutnya melalui Pusat Bahasa, Depdiknas telah mengambil langkah konkret dengan menyusun RUU Kebahasaan. Suatu langkah strategis yang patut kita apresiasi dan dukung. Tentu saja salah satu sasarannya adalah mempertahankan jati diri bangsa dan sekaligus mengembangkan warisan budaya, sebagaimana amanat Pasal 32 UUD 1945.

Melalui RUU itulah diharapkan ke depan bangsa Indonesia yang kaya dengan khazanah budayanya dapat turut memberikan kontribusi dalam pembentukan peradaban. Maka seyogyanya dalam RUU tersebut bahasa Indonesia sebagai jatidiri bangsa diungkap lebih gamblang. Tidak dapat dipungkiri, kehadiran RUU Kebahasaan merupakan kebutuhan mendesak bangsa. Sebab ia akan menjadi landasan hukum dalam pemeliharaan, perlindungan, pelestarian, dan pengembangan bahasa daerah, serta pengembangan dan pembinaan bahasa nasional kita. Selain itu, adanya UU Kebahasaan akan menjadi landasan bagi peningkatan mutu penggunaan bahasa asing secara proporsional.