A. Mukadimah
Salah satu kata kunci dalam kehidupan sosial budaya dan juga sangat dipentingkan dalam dunia pendidikan adalah memahami setiap terminologi yang dipergunakan. Mengetahui batasan arti dari suatu terminologi menurut Imam Ibnu Taimiyah, memang adalah suatu hal yang sangat diperlukan. Bahkan menurut beliau pengetahuan akan hal ini bagian dari kewajiban agama yang sebagiannya berkategori wajib ‘ain atau wajib kifayah. Untuk itulah Allah mencela orang-orang yang tidak mementingkan pengetahuan tentang hal itu sebagaimana tersebut dalam surat at-Taubah ayat 97.
Dari sinilah pentingnya tema kajian kali ini, sebab persis seperti yang disinyalir oleh Ibnu Taimiyah, banyak orang yang berbeda pendapat tentang suatu terminologi hanya karena mereka tidak memahami hakikat terminologi itu, atau ternyata mereka menggunakan tolok ukur yang berbeda ketika mereka membahas terminologi itu. Misalnya ketika orang Sunda dan Jawa membincangkan tentang makna atos, amis, cokot serta makna tulang dalam pengertian orang Melayu dan Batak. Begitu pulalah ketika belakangan ini marak kembali pembahasan bahkan polemik tentang makna syariat yang akan diterapkan itu. Juga kaitannya dengan masalah pendidikan dan sosial budaya.
Menurut Ibnu Taimiyah batasan terminologi itu berkaitan dengan tiga hal yaitu terminologi syariat, terminologi bahasadan terminologi sosial.
Mengetahui perbedaan antara ketiganya dalam konteks batasan terminologi juga sangat dipentingkan agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami suatu terminologi, misalnya terminologi shalat, zakat, puasadan haji mempunyai arti sendiri. Yang bila hanya berhenti pada terminologi bahasa, tentu tidak merealisasi rukun Islam sebab itu semua adalah masuk dalam terminologi syariat.
Makalah sederhana ini akan mencoba membincangkan bersama arti syariat dalam tinjauan agama, sosial dan politik. Suatu hal yang cukup sulit untuk membahasnya dalam konteks-konteks yang terpisah-pisah, sebab pada prinsipnya syariat itu maknanya sekaligus mencakup aspek agama, sosialdan politik (perhatikan Al Baqarah:208).
B. Makna Syariat Dalam Tinjauan Agama
Syariat adalah sebuah terminologi yang disebutkan oleh Al Qur`an yang diturunkan dalam bahasa Arab. Ia sekaligus menyambungkan sejarah agama-agama yang dibawa oleh para Rasul dan ditutup oleh kerasulan Nabi Muhammad (asy-Syura: 13). Pengertian syariat secara bahasa tentunya harus dirujukkan kedalam bahasa Al Qur`an bukan kedalam bahasa lokal yang dapat memunculkan penafsiran yang mesum seperti yang dilakukan oleh Darmo Gandul dan Gatoloco.
Secara bahasa ia berarti Ath Thariqah3 . Melaksanakan syariat artinya mengikuti jalan yang terang. Dari sini, menurut Ar Raghib Al Asfahani, ungkapan ini dipinjam untuk menjadi thariqah Ilahiyah4 . Secara terminologi, thariqah mempunyai dua arti, yaitu:
1. Jalan apapun yang dimudahkan oleh Allah dan kemudian dilalui oleh umat manusia yang akan membawa efek kemaslahatan bagi umat manusia serta kemakmuran negeri.
2. Apa saja yang ditentukan Allah dalam agamanya dan apa saja yang diperintahkan-Nya agar manusia dapat memilih karena adanya perbedaan syariat-syariat agama karena terjadi nashikh (penghapusan) atas agama sebelumnya.
Syariat juga disebut dengan syariat sebab ditamsilkan dengan ungkapan yang berkaitan dengan syariat air sebab siapa pun yang mereguknya dengan benar maka akan hilanglah dahaganya dan bahkan dengan air itu ia bisa bersuci.
Menurut Asy Syarif Al Jurjani, syariat berarti tunduk patuh merealisasikan ubudiyah dalam bentuk melaksanakan seluruh komitmen, menjaga seluruh aturan dan ridha serta sabar terhadap berbagai cobaan.
Adapun Prof. DR. Yusuf Al Qaradhawi mendefenisikan syariat sebagai apa saja ketentuan Allah yang dapat dibuktikan melalui dalil-dalil Al Qur`an maupun Sunnah atau juga melalui dalil-dalil ikutan lainnya seperti ijma’, qiyas, dan lain sebagainya.
Agama Islam melalui kitab sucinya Al Qur`an menyampaikan beberapa ayat yang secara eksplisit menyebutkan tentang syariat misalnya dalam surat Al Jatsiyah ayat 18 dan surat Asy Syura ayat 13. Sekalipun ayat-ayat tentang ini berada dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah yang secara prinsip berkaitan dengan masalah akidah, sehingga nanti datanglah seorang ulama bernama Abu Bakr Muhammad bin Husain Al Ajuri (wafat pada tahun 360 H) menulis kitab dengan judul Asy-Syariat yang keseluruhan pembahasan adalah masalah akidah.
Tetapi bukanlah berarti cakupan syariat hanya terbatas pada masalah akidah dalam pengertian yang populer sebab akidah dalam pengertiannya yang ash shalah (orisinil) sesungguhnya juga sangat berkaitan dengan aspek sosial, hukumdan politik. Surat an-Nas, Al Ikhlasdan Al Kafirun misalnya yang kesemuanya adalah surat-surat Makkiyah tetapi cakupan akidahnya berkaitan langsung dengan masalah sosial, hukum, ekonomidan politik. Bahkan, sufi besar Al Hasan Basri pun menyebutkan bahwa hakikat iman bukanlah sekadar apa yang diangankan dalam hati, tetapi ia sekaligus kebenaran yang diyakini, diungkapkandan dikerjakan.
Dari pengertian tentang syariat di atas nampak jelas bahwa terminologi syariat dalam pengertian agama mencakup bukan hanya masalah hukum Islam seperti yang banyak dipahami orang, tidak juga otomatis berkaitan dengan potong tangan, pemaksaan pemakaian jilbab, atau mengejar-ngejar orang untuk shalat seperti yang dipahami sebagian pihak lainnya. Tetapi, ia juga sangat berkaitan dengan masalah sosial budaya dan pendidikkan. Untuk itulah Prof. DR. Bustanul Arifin, S.H. telah menyebutkan bahwa syariat adalah metode atau cara menjalankan ad-Din (agama). Karena ad-Din meliputi seluruh segi kehidupan, maka syariat sebagai program pelaksanaannya juga meliputi seluruh kehidupan. Dan karena melaksanakan ad-Din dalam kemenyeluruhannya adalah wajib maka demikian jugalah kaitannya dengan pendidikkan dan sosial budaya.
Untuk itu kita dapati disertasi-disertasi atau kajian-kajian ilmiah kontemporer tentang syariat yang cakupannya sangat meluas dan beragam, misalnya syariat berkaitan dengan masalah risywah (sogokan) dalam kegiatan sosial, ekonomidan politik seperti yang ditampilkan oleh DR. Abdullah bin Abdul Muhsin Ath Thuraiqi dalam kitabnya Jarimatu Ar Risywah fi Syariah Al Islamiyah.
Syariat juga berkaitan dengan pakaian dan asesoris yang dikenakan sebagaimana yang ditampilkan kajian DR. Muhammad Abdul Aziz Amru dalam kitabnya Al Libas wa Zinah fi Syariah Al Islamiyah.
Syariat juga berkaitan dengan upaya untuk merealisasikan kemaslahatan hidup seperti yang disampaikan DR. Sa’id Ramadhan Al Buthi dalam kitabnya Dhawabith Al Mashlahah fi Syariah Al Islamiyah. Syariat juga ternyata sangat mementingkan keleluasaan hidup dan menjauhkannya dari yang menyulitkan sebagaimana yang tampak jelas dalam kajian DR. Shalih bin Abdullah bin Humaid dalam kitabnya Raf’ul al Haraj fi Syariah Al Islamiyah.
Dalam cakupan beragama dikenal juga satu bentuk pengamalan agama melalui cara-cara tasawuf. Dalam terminologi mereka syariat sering dihadapkan dengan hakikat. Suatu penghadapan yang tidak selamanya diterima oleh ulama tasawuf generasi awal seperti Al Hujwiri, syariat tidak mungkin bisa dipertahankan
tanpa adanya hakikat dan hakikat tidak mungkin dipertahankan tanpa adanya pelaksanaan syariat. Hubungan timbal balik keduanya bisa dibandingkan dengan hubungan badan dan ruh, bila ruh meninggalkan badan maka badan menjadi mayat. Tetapi ruh akan lenyap seperti angin tanpa badan karena keduanya bergantung pada kerja sama keduanya satu sama lain. Demikian pula hukum tanpa kebenaran adalah riya’ dan kebenaran tanpa hukum adalah kemunafikan (nifaq).
Adapun Imam Al Qusyairi menyebutkan bahwa syariat adalah disiplin ubudiyah sedangkan hakikat adalah musyahadah Ilahiyah. Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat tidak bisa diterima. Sebaliknya hakikat yang tidak dilandaskan pada syariat tidak akan sukses. Perlu diketahui syariat itu sendiri adalah hakikat bila dilihat bahwa syariat merupakan keharusan melalui perintah-Nya. Begitupun hakikat adalah syariat dari segi bahwa makrifat kepada-Nya terjadi karena perintah-Nya. Untuk itulah beliau menukil ungkapan sufi besar seperti Abu Yazid Al Bisthomi yang mengatakan bila Anda melihat seseorang mengaku diberi karamah, dapat terbang di udara (misalnya) Anda sekalian jangan mudah tertipu sampai Anda melihat benar bagaimana orang tersebut melaksanakan perintah, menjauhi larangan, menjaga hukum-hukum serta menunaikan syariat.
C. Makna Syariat Dalam Pendekatan Sosial
Kehidupan sosial umat manusia di manapun mereka berada pastilah merujuk pada tatanan, untuk mengharmoniskan kehidupan itu dan untuk menjaganya agar tidak lepas kendali sehingga hubungan sosial tidak menjadi kontra produktif tetapi semakin memunculkan makna kebahagiaan dan kemakmuran. Demikian jugalah yang terjadi pada umat Islam. Mereka akan merujuk pada atau dihubungkan oleh tatanan syariat dalam pola hubungan sosial mereka, baik dengan sesama muslim maupun dengan nonmuslim untuk merealisasikan kemashlahatan bersama.
Begitulah yang dilakukan oleh Rasulullah pada awal kedatangan beliau di Madinah ketika beliau mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshar dan ketika merealisasikan Piagam Madinah.
Demikian itu jugalah makna syariat dalam konteks sosial. Para ulama fikih dan ushul fikih dimulai oleh Imam Asy Syafi’i dan kemudian juga tampil dalam kajian-kajian fikih kontemporer, telah memunculkan berbagai kaidah yang mereka kongklusikan dari dalil-dalil Al Qur`an, Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Kaidah-kaidah yang sangat menerangkan makna syariat dalam konteks sosial misalnya:
- Kaidah tentang lima prinsip, yaitu prinsip keharusan menjaga agama, akal, jiwa, keturunandan harta.
- Kaidah hukum taklifi itu bukan dua saja halal dan haram, melainkan ada juga yang sunah, makruh bahkan ada yang mubah
- Anjuran untuk terus dapat berijtihad dan mentajdid
- Prinsip tentang kesesuaian syariat dengan realitas, juga bahwa syariat itu berdiri atas bangunan kemudahan dan mementingkan pentahapan
- Kaidah tentang urf (adat) sebagai rujukan syariat.
- Kaidah tentang amal dan atau perbuatan penduduk Madinah, seperti dipergunakan oleh Imam Malik.
- Kaidah tentang mempertimbangkan kedaruratan dan mementingkan kemashlahatan
- Kaidah tentang syura (bermusyawarah)
- Kaidah tentang amr ma’ruf nahyi munkar
- Kaidah tentang tolong menolong dalam kebajikan dan takwadan bukan dalam dosa dan melanggar hukum
- Kaidah tentang fikih dakwah
- Kaidah tentang fikih muamalah (hubungan sosial)
- Kaidah tentang rabbaniyah dan syumuliyah syariat Islamiah
- Kaidah tentang menegakkan keadilan dan egalitarianisme dihadapan hukum.
Dengan pendekatan sosial ini, syariat dapat semakin membuktikan makna bahwa keberadaannya adalah sebagai rahmat bagi kehidupan (Al Anbiya: 107), bahwa syariat itu bahkan dapat “membuat hidup jadi lebih hidup” (Al Anfal: 24, Al Baqarah: 179), bahwa syariat adalah bukan makhluk asing di tengah kehidupan manusia, tetapi merupakan bagian tidak terpisahkan dari kemanusiaan untuk kemajuan dan kemashlahatan mereka (Al Jum’ah: 2), bahkan ia sangat peduli dan bersimpati dengan kemanusiaan (At Taubah: 128), sehingga karena demikian positifnya syariat bagi kehidupan sosial masyarakat manusia, logis saja bila kemudian Allah “Zat yang Maha Rahman dan Rahim itu”, meminta ketaatan umat manusia untuk melaksanakan syariat-Nya (Al Ahzab: 36) bukan dalam konteks pemaksaan apalagi teror, sebab memang telah nyata perbedaan antara yang baik dan benar dengan yang salah, buruk dan tidak bermanfaat (Al Baqarah: 256).
Dengan pendekatan ini, syariat akan merealisasikan bukan saja kesalehan verbal, formal, atau individual melainkan akan memunculkan kesalehan esensial, eksistensialdan sosial sekaligus. Bahkan kepedulian realisasi tentang masalah sosial oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dijadikan sebagai tolok ukur adanya kesalehan individual.
Dan dengan pendekatan normatif aplikatif seperti di atas, kita mempunyai pedoman dasar, bahwa syariat memang sangat berhubungan dengan faktor sosial budaya, ia berhubungan dengannya dengan sangat erat, bahkan ia pro-aktif berinteraksi dengan budaya manusia, bahkan ia pun menciptakan kebudayaan baru di atas bingkai dan landasan syariat. Sehingga dahulu para ulama memunculkan suatu ungkapan yang sangat berarti: “Bila di situ ada kemaslahatan, maka di situ pulalah letak syariat.”
D. Penerapan Syariat Dalam Bidang Pendidikkan
Islam dengan syariatnya, adalah satu-satunya agama yang memulai ungkapan ajarannya dengan perintah untuk membaca (iqra’). Bukan sekadar membaca, bahkan ia adalah membaca yang dilandasi oleh ideologi dan etos “dengan nama Rabbmu” (bismi rabbika).
Syariat yang sarat dengan prinsip pendidikan Islam ini kemudian dipertegas oleh berbagai firman Allah lainnya yang menegaskan bahwa tugas utama kerasulandan karenanya salah satu inti dasar dari syariat Islam yang harus diterapkan adalah masalah pendidikan. Allah berfirman:
“Allahlah yang mengutus kepada mereka, seorang Rasul yang dating dari keluarga mereka sendiri, Rasul ini membacakan ayat-ayat Rabb mereka, mensucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka ajaran Al Kitab (Al Qur`an) dan Al Hikmah (As-Sunnah). (Al Jum’ah :2)”
Dan begitu banyak ayat dan hadits lain yang menetapkan pentingnya syariat diterapkan dalam pendidikan.
Syariat Islam yang berkaitan dengan masalah pendidikan ini, kemudian secara atraktif direalissasikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam berbagai peristiwa, seperti ketika beliau menjadikan tebusan Perang Badar melalui pengajaran pemberantasan buta huruf, beliau pun mengizinkan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘Anh untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani, beliau pun mengizinkan Yusuf bin Kabdah Ats Tsaqafi mempelajari ilmu kedokteran di Persia. Selain itu tentu saja aktivitas langsung beliau mengajari para sahabat laki-laki maupun wanita, baik di masjid, di rumah, di kebun, maupun di tempat-tempat umum lainnya.
Paradigma ini kemudian memunculkan lompatan budaya yang luar biasa, dengan munculnya suatu generasi yang sangat terpelajar tetapi sangat religius, mereka melaksanakan syariat Islam sambil memiliki credo rahmatan lil alamin.
Etos penerapan syariat dalam bidang pendidikan ini sungguh sangat manusiawi. Ia terus berlangsung dalam berbagai inovasi, sejak zaman sahabat, tabi’in, hingga ke masa-masa keemasan budaya dan intelektual Islam, dalam berbagai bidang dan aktifitas kependidikan. Dan itu terus berlangsung hingga saat ini.
Dari perjalanan sejarah interaksi umat dengan penerapan syariat dalam bidang pendidikan, didapatkan beberapa hal yang merupakan kaidah-kaidah penerapan syariat Islam dalam bidang pendidikan ke depan, antara lain:
- Adanya kaidah-kaidah tentang islamisasi ilmu pengetahuan. Kaidah itu kini semakin ditekuni untuk diwujudkan dalam bentuk aktifitas pendidikan yang syar’i.
- Adanya interaksi dengan berbagai budaya pendidikan yang asalnya tidak muncul dari dunia Islam.
- Adanya buku dan lembaga-lembaga pendidikkan Islam yang sangat beragam yang telah sangat berpengalaman dalam penerapan syariat Islam dalam bidang pendidikan.
Ha-hal semacam itulah yang diharapkan akan memudahkan menanggulangi hambatan-hambatan penerapan syariat dalam bidang pendidikan seperti faktor sekularismedan lain-lain.
Adanya pendidikan yang berlandaskan syariat baik dalam bentuk teori, buku kurikulum, apalagi lembaga pendidikan yang berlandaskan syariat, tentulah sangat diperlukan sebagai sarana mempersiapkan kader-kader yang akan melanjutkan kehidupan di bawah naungan syariat. Sebab kaidah baku yang telah disepakati para ulama, tetaplah berbunyi: “Sesuatu yang hanya dengan itulah maka kewajiban dapat direalisasikan, maka sesuatu itu pun berkategori hukum wajib.”
Penutup
Islam adalah sekaligus syariat yang dalam dirinya terkandung kepedulian sangat tinggi dengan masalah sosial budaya dan pendidikan. Keharusan melaksanakan Islam secara kaffah, niscaya menjadi pijakanyang sangat kokoh akan keharusan keberadaan syariat pada lapangan sosial budaya dan pendidikan. Lebih dari itu sejarah umat yang telah terukir berabad-abad lamanya, baik pada skala lokal, nasional maupun global, ternyata juga membuktikan bahwa syariat Islam itu memang rahmatan lil alamindan karenanya pastilah ia dapat dan perlu terwujud pada tataran sosial budaya dan pendidikan.