Ketika anak masih kecil, ia hidup di dalam buaian kedua orang tuanya. Dan pada saat ia berada pada masa usia belajar dan pendidikan, hendaknya orang tua dan pendidik mempunyai suatu metode untuk memperbaiki, meluruskan kepincangan, dan mendidik akhlaknya. Sehingga anak dapat tumbuh besar dengan landasan Islam yang sempurna dan adab sosial yang tinggi.
Islam mempunyai metode dan cara yang spesifik untuk memperbaiki dan mendidik anak. Jika memang cukup dengan nasihat yang lemah lembut, maka si pendidik tidak diperkenankan beralih ke cara lain dengan meninggalkan dan memboikotnya. Demikian pula jika memang sudah cukup dengan cara pemboikotan, maka tidak diperkenankan beralih ke cara lain, yakni dengan memukulnya. Pemukulan dengan tanpa sampai melukai baru diperkenankan jika dua cara sebelumnya; nasihat dan boikot sudah tidak mempan lagi. Dengan pemukulan tersebut (yang merupakan cara yang terakhir) diharapkan pendidik dapat menemukan cara yang dapat memperbaiki diri anak didik dan membina pola laku dan kenakalannya.
Agar para pendidik mengetahui sistem Islam di dalam memperbaiki dan mendidik, berikut penulis sajikan tahapan perbaikan dan pembinaan yang diambil dari sunnah Nabi dan yang diamalkan oleh para sahabat.
Mengenai permasalahan yang terkait dengan upaya mengarahkan dan memperingatkan anak dengan cara halus Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan:
“Dari Umar bin Abu Salamah radiyallahu ‘anhu berkata: ‘Ketika masih kecil, aku pernah berada di bawah pengawasan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam dan tanganku bergerak mengulur ke arah makanan yang ada dalam piring. Maka Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam berkata kepadaku, ‘Wahai anak, sebutkanlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah (hanya) yang ada di sampingmu.’”
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad radiyallahu ‘anhu:
“Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam membawa minuman, lalu meminumnya, sedang di sebelah kanannya ada seseorang anak kecil dan di sebelah kirinya ada orang tua. Kemudian Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam berkata pada anak kecil itu, ‘Apakah engkau mengizinkan aku untuk memberi mereka?’ (Ini adalah cara halus). Anak kecil itu bilang, ‘Tidak, demi Allah. Aku tidak akan mengutamakan seseorang dengan bagianku darimu.’ Kemudian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam meletakkannya pada tangannya.” Anak kecil ini adalah Abdullah bin Abbas.”
Adapun permasalahan yang berkaitan dengan meninggalkan atau pemboikotan anak, Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id radiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata:
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam melarang untuk melempar (batu dengan telunjuk dan ibu jari). Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya lemparan itu tidak akan mematikan buruan dan tidak pula akan melukai musuh. Tetapi ia dapat mencungkil mata dan mematahkan gigi.’”
Dan dalam sebuah riwayat dikatakan: Kerabat Ibnu Mughaffal yang belum baligh bermain lempar batu. Kemudian ia melarangnya dan berkata “Sesungguhnya Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam telah melarang bermain lempar batu dan beliau bersabda, ‘Sesungguhnya ia tidak akan dapat memburu buruan…’ Kemudian anak itu kembali bermain. Maka ia berkata, ‘Aku memberitahukan kepadamu bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam telah melarangnya, namun engkau terus bermain lempar batu? Aku tidak akan mengajakmu berbicara selamanya!”
Sedangkan tentang permasalahan yang berkaitan dengan memukul anak, Abu Dawud dan Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan salat apabila mereka telah berusia tujuh tahun, dan apabila mereka telah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka (apabila tetap tidak mau melaksanakan salat itu) dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Tahapan pendidikan seperti di atas dilakukan ketika anak masih berada pada masa kanak-kanak dan pubertas. Sedangkan apabila anak menginjak masa remaja dan menuju masa dewasa, maka cara mendidiknya sudah barang tentu akan berbeda.
Ketika anak sudah tidak mempan dengan peringatan dan petunjuk, maka pendidik harus memboikotnya selamanya, jika ia tetap berada dalam kefasikan dan kedurhakaan.
Nash-nash mengenai hal itu adalah:
Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Aspek iman yang terkuat adalah; saling berteman di jalan Allah, saling bermusuhan di jalan Allah, bercinta demi Allah, dan membenci demi Allah.”
Di dalam bab yang membolehkan memboikot orang durhaka, Al Bukhari meriwayatkan, “Ka’ab menceritakan tentang dirinya (bersama dua orang temannya yang lain) tertinggal dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam (memang sengaja tidak mau ikut) dalam perang Tabuk: “Nabi Sholallahu ’alaihi wassalam telah melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan kami sampai selama lima puluh hari/malam.” Pemboikotan tersebut membuat diri dan bumi di sekeliling mereka menjadi sempit. Tidak seorang pun yang mau berbicara, menggubris ataupun bergaul dengan mereka sampai Allah menurunkan (wahyu) dalam Al Quran tentang penerimaan taubat mereka.”
Dalam hal ini pula Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam pernah memboikot sebagian istrinya selama satu bulan sebagai hukuman dan pelajaran bagi mereka.
As Suyuthi meriwayatkan, bahwa Abdullah bin Umar radiyallahu ‘anhu memboikot seorang anaknya hingga mati, karena ia tidak mau menyatakan sebuah hadis yang disebutkan ayahnya dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam:
“Nabi telah melarang kaum laki-laki menahan kaum wanita pergi ke masjid.[4]
Pemboikotan ini apabila anak bersikap menyimpang (nakal dan fasik), namun masih berada dalam iman dan Islam, sedangkan bila ia murtad, dan kafir, maka memboikot atau mengasingkannya adalah termasuk salah satu tuntutan iman yang paling awal.
Berikut nash-nash yang menguatkan hal itu:
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadalah: 22)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman lewat perkataan Nuh ‘alaihissalam:
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.’” (QS. Huud: 45-46)
Allah berfirman lewat Ibrahim ‘alaihissalam:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang zalim.’” (QS. Al Baqarah: 124)
Dan Allah berfirman tentang sikap Ibrahim terhadap bapaknya:
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim kalau bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At Taubah: 114)
Berdasarkan nash-nash tersebut, jelas bahwa membiarkan anak atau kerabat, selagi mereka tetap berada di dalam kekufuran adalah salah satu kewajiban akidah dan iman. Yang demikian itu karena Islam memandang bahwa ikatan persaudaraan bukan berdasarkan keturunan, negeri, bahasa, ras, dan kepentingan-kepentingan ekonomi. Isyarat di dalam hal ini adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala:
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24)
Seperti telah diketahui bahwa dasar Islam yang tak pernah berubah adalah:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (QS. Al Hujurat: 10)
Dan syiarnya yang tidak pernah berubah adalah:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al Hujurat: 13)
Maka, dengan pembicaraan apa lagi setelah penjelasan ini mereka mau beriman?
Uraian yang sengaja penulis sajikan di dalam pasal ini, merupakan perasaan-perasaan kejiwaan terpenting yang seharusnya tumbuh di dalam jiwa para pendidik. Anda mengetahui bahwa di antara perasaan ini ada yang bersifat instingtif, asli berada dalam jiwa dan hati kedua orang tua, seperti perasaan-perasaan cinta, kasih sayang. Jika tidak demikian, dengan sendirinya hukum alam di dalam memelihara spesies manusia tidak teratur. Jika tidak demikian, maka kedua orang tua tidak akan memperhatikan anak-anak, tidak akan memberikan nafkah dan tidak akan bertanggung jawab terhadap pengajaran dan pendidikan mereka. Dan jika tidak demikian, maka pembaca tidak akan melihat sebuah keluarga yang kokoh dan harmonis.
Pembaca mengetahui, bahwa masih ada perasaan yang bersifat jahiliyah, seperti tidak menyukai kehadiran anak-anak wanita. Dan seperti pembaca ketahui, bahwa Islam telah menanggulangi kebiasaan jahiliyah yang tercela ini dengan iman yang kuat, akidah ketuhanan yang mendalam dan pendidikan Islam yang utama, agar pandangan kedua orang tua terhadap anak-anak wanita dan lelaki adalah sama, tanpa ada perbedaan sedikit pun, yang merupakan manifestasi dasar keadilan dan persamaan.
Pembaca tentu mengetahui, bahwa di antara perasaan ini ada yang bersifat kemaslahatan, seperti mengutamakan kecintaan terhadap jihad dan dakwah kepada Allah di atas kecintaan terhadap keluarga dan anak. Pembaca juga mengetahui bahwa kepentingan Islam berada di atas kepentingan pribadi. Oleh karena itu, tidak mungkin umat Islam akan mencapai kemenangan, kemuliaan dan kekuatan, kecuali setelah kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya berada di atas kecintaan terhadap keluarga, harta, anak, dan tempat tinggal.
Dan pembaca tentu pula mengetahui, bahwa di antara perasaan ini ada yang bersifat paedagogik-edukatif, seperti menasihati anak, menghukum dan membiarkannya. Dan pembaca juga mengetahui bahwa Islam secara bertahap berupaya mendidik anak dengan peringatan dan boikot sampai kepada pukulan yang tidak melukai. Para pendidik tidak boleh menggunakan cara paling keras, jika cara yang ringan dapat berguna. Inilah puncak upaya Islam di dalam mendidik anak-anak.
Para pendidik dan dai sudah seharusnya mengetahui metode dan sistem Islam di dalam mendidik anak-anak. Dengan demikian mereka dapat berjalan di jalan yang lurus dan benar dalam mendidik generasi dan memperbaiki masyarakat. Metode dan sistem itu dapat memindahkan generasi dari lingkungan yang rusak dan menyimpang kepada kehidupan yang suci, mulia dan berakhlak. Demikianlah yang seharusnya dilakukan oleh para pendidik.
[4] As Suyuthi telah menyusun sebuah risalah berjudul Az Zujru bil Hujri, yakni Mendidik dengan Cara Pemboikotan. Ia memberikan dalil-dalil tentang hukuman ini dengan nash dan atsar yang banyak.