Menikahi Perempuan Pezina

Yang dimaksud perempuan zina di sini, ialah perempuan-perempuan nakal yang pekerjaannya berzina (pelacur).

Dalam hal ini ada suatu riwayat yang diceriterakan oleh Murtsid dari Abu Murtsid, bahwa dia minta izin kepada Nabi untuk kawin dengan pelacur yang telah dimulainya perhubungan ini sejak zaman jahiliah, namanya: Anaq. Nabi tidak menjawabnya sehingga turunlah ayat yang berbunyi:

“Laki-laki tukang zina tidak (pantas) kawin, melainkan dengan perempuan penzina atau musyrik; dan seorang perempuan tukang zina tidak (pantas) kawin, melainkan dengan laki-laki penzina atau musyrik. Yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mu’min.” (an-Nur: 3)

Kemudian beliau bacakan ayat tersebut dan berkata:

“Jangan kamu kawin dengan dia.” (Abu Daud, Nasa’i dan Tarmizi)

Ini justru Allah hanya memperkenankan kawin dengan perempuan-perempuan mu’minah yang muhshanah atau ahli kitab yang muhshanah juga seperti yang telah diterangkan terdahulu. Sedang apa yang dimaksud dengan muhshanah, yaitu yang terpelihara.

Syarat muhshanah ini berlaku juga buat laki-laki, yang selanjutnya disebut muhshan seperti yang dikatakan Allah dalam surah an-Nisa’ 24: “yang terpelihara, bukan penzina”.

Barangsiapa tidak mau menerima hukum ini yang bersumber dari kitabullah dan tidak mau menepatinya, maka dia adalah musyrik, yang tidak boleh dikawin kecuali oleh orang musyrik juga. Dan barangsiapa yang mengakui hukum ini dan menerima serta mendukungnya, tetapi dia menyimpang dari hukum tersebut dan kawin dengan orang yang diharamkan oleh hukum, maka berarti dia adalah berzina.

Ayat tersebut disebutkan sesudah menerangkan masalah dera yang berbunyi sebagai berikut:

“Perempuan yang zina dan laki-laki yang zina, deralah masing-masing mereka itu seratus kali.” (an-Nur: 3)

Dera ini adalah hukuman jasmani, sedang larangan kawin adalah hukuman moral. Dengan demikian, maka diharamkan mengawasi pelacur sama halnya dengan memurnikan kehormatan warga negara, atau sama dengan menggugurkan kewarga-negaraan orang yang bersangkutan dari hak-haknya yang tertentu menurut istilah sekarang.

Ibnul Qayim setelah menerangkan arti ayat di atas, mengatakan: “Hukum yang telah ditetapkan oleh al-Quran ini sudah selaras dengan fitrah manusia dan sesuai dengan akal yang sehat. Sebab Allah tidak membenarkan hambanya ini sebagai germo untuk mencarikan jodoh seorang pelacur. Fitrah manusia pun akan menganggap jijik. Oleh karena itu orang-orang apabila mencari kawannya, mereka mengatakan: ‘Pantas kamu suami seorang pelacur.’ Untuk itulah, maka Allah mengharamkan perkawinan semacam itu kepada orang Islam.”

Dan yang lebih jelas lagi, ialah: bahwa kejahatan seorang perempuan ini dapat merusak tempat tidurnya suami dan keturunan yang justru oleh Allah dijadikan sebagai sarana kesempurnaan kemaslahatan mereka dan dinilai sebagai suatu nikmat. Sedang zina dapat mengakibatkan percampuran air dan meragukan keturunan. Oleh karena itu termasuk salah satu keistimewaan syariat Islam, ialah mengharamkan kawin dengan seorang pelacur sehingga dia bertaubat dan mengosongkan rahimnya. Caranya yaitu: paling sedikit haidh satu kali.9

Lagi pula, bahwa seorang pelacur adalah tidak baik. Sedang Allah menjadikan perkawinan itu sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan rasa cinta dan kasih-sayang (mawaddah warahmah). Dan apa yang disebut mawaddah, yaitu kemurnian cinta. Maka bagaimana mungkin orang yang tidak baik dapat dicintai oleh suami yang baik?

Suami dalam bahasa Arab disebut zauj, yang berasal dari kata izdiwaj artinya: isytibah wat tawazun (serupa dan seirama). Jadi suami-isteri atau zaujan (dalam bahasa Arab), berarti dua orang yang serupa dan seirama, tidak bertolak belakangnya antara yang baik dan yang buruk baik ditinjau secara hukum syar’i ataupun secara ukuran biasa, tidak akan dapat menghasilkan keserasian, seirama, kecintaan dan kasih-sayang. Maka tepatlah apa yang dikatakan Allah:

“Perempuan jahat untuk laki-laki yang jahat, dan laki-laki yang jahat untuk perempuan jahat; dan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik.” (an-Nur: 26)