Moral Perang dalam Peradaban Islam (2)

Contoh-Contoh Konkrit Keteladanan Moral Perang Islam

Menurut hemat kami, faktor-faktor di atas belum cukup untuk menyanjung roh peradaban kita yang berdamai dalam perang. Prinsip-prinsip itu saja tidak bisa dijadikan bukti atas ketinggian dan kemanusiaan suatu umat. Seringkali kita melihat umat-umat membawa prinsip paling tinggi untuk manusia namun tatkala hidup bersama manusia lainnya mereka menggunakan prinsip yang paling keji, hina dan jauh dari kemanusiaan dan kasih-sayang. Peristiwa penjajahan di negeri kita bukan rahasia lagi. Dokumen kajahatan dan kekejamannya pun tidak jauh dari kita. Kalau begitu marilah kita perhatikan bagaimana kenyataan praktis prinsip-prinsip ini dalam peradaban kita. Di sini ada muka yang menjadi hitam kelam dan ada pula yang menjadi putih berseri. Di sini kita berbeda dari bangsa-bangsa lain. Hanya kita yang memiliki kecenderungan kemanusiaan dalam peperangan, sedangkan bangsa atau peradaban yang lain tidak.

Marilah kita mulai terlebih dahulu dengan Rasulullah. Beliau adalah pelopor peradaban kita dan peletak fondasi dan aturan permainannya. Beliau ungkapan secara nyata tentang moral, tujuan dan misinya. Tak seorang pun dari para nabi, rasul dan reformer yang disiksa, ditindas dan disakiti dalam menjalankan dakwahnya seperti yang dialami Rasulullah. Selama tiga belas tahun di Mekah beliau dan jamaahnya menghadapi makar, ganguan, cacian dan penyiksaan. Kehidupan beliau dan kehidupan para sahabatnya selalu di ancam marabaya. Sepuluh tahun di Madinah adalah perjuangan dan pertempuran berantai yang sambung-menyambung. Baju perang tidak pernah dilepas kecuali setelah jazirah Arab tunduk kepadanya menjelang beliau wafat.

Orang yang terjun ke kancah peperangan dan menyandang pedang, memerangi dan di perangi, dimusuhi dan ditindas biasanya paling keras kerinduannya kepada darah dan balas dendam. Tetapi bagaimana moral Rasulullah dalam peperangannya? Bagaimana pemilik peradaban itu merupakan prinsip- prinsip yang diproklamasikannya kepada manusia? Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan pada perang Uhud karena melanggar wasiat-wasiat Rasul, Rasulullah saat itu dikepung musuh yang berusaha membunuhnya. Para sahabat mati-matian membelanya. Beliau keluar dari medan perang dalam keadaan terluka, giginya patah, mukanya cedera dan pipinya sobek ditembus pelindung kepalanya. Alangkah baiknya sekiranya engkau mengutuk mereka, wahai Rasulullah! Namun Rasulullah berkata, “Aku tidak diutus sebagai pengutuk tetapi sebagai penyeru dan pembawa rahmat. Ya Allah, tunjuki kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui!” Inilah ucapan kebenaran, ucapan Nabi yang tidak berperang karena haus akan penumpahan darah tetapi karena ingin menunjuki orang-orang yang sesat pada kebenaran.

Pada perang Uhud, Hamzah, paman Nabi dan pahlawan Arab paling masyhur gugur. Dia dibunuh oleh lelaki bernama Wahsyi atas suruhan Hindun, istri Abu Sofyan. Ketika pahlawan itu rebah, Hindun langsung merobek dadanya, mengambil jantungnya, kemudian mengunyahnya dengan lahap untuk melampiaskan dendamnya. Tak lama kemudian Hindun dan Wahsyi masuk Islam. Apa yang diperbuat Rasulullah kepada mereka? Tidak ada yang diperbuat beliau selain memintakan ampun kepada Allah untuk Hindun. Beliau juga menerima ke Islaman Wahsyi seraya berkata kepadanya, “Jika kau mampu hidup jauh dari kami, lakukanlah!” Inilah tindakan Rasulullah terhadap pembunuh dan pengunyah jantung pamanya. Di salah satu peperangan, Rasulullah Saw pernah melihat seorang wanita musuh terbunuh. Ia marah dan menegur keras, “Bukankah telah kularang kalian membunuh wanita? Mereka tidak boleh diperangi!” Inilah Rasulullah yang berperang dengan merapkan prinsip-prinsip kemanusiaannya padahal ia terjun langsung ke medan tempur dan memimpin pasukan

Ketika menaklukkan Mekah dan memasukinya sebagai pemenang yang memimpin 10.000 orang prajurit, kaum Quraisy menyerah dan berdiri di bawah kedua kakinya di pintu ka`bah. Mereka menunggu hukuman Rasul setelah mereka menetangnya selama 21 tahun. Namun ternyata Rasulullah hanya berkata, “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang bakal kuperbuat atas kalian?” Serentak mereka menjawab, “Kebaikan, wahai saudara kami yang mulai dan putera saudara kami yang mulia!” Lalu Rasul berkata, “Hari ini aku katakan kepada kalian apa yang pernah dikatakan saudaraku Yusuf sebelumnya: Tiada cercaan atas kalian hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian. Dia Maha Penyayang. Pergilah, kalian telah bebas!” Itulah Muhammad sang Rasul, pengajar kebaikan kepada kemanusiaan, bukanpanglima penumpah darah yang berbuat untuk kemuliaan dan kekuasaannya sehingga mabuk oleh ambisi kemenangan.

Sirah para sahabat dan khalifah Nabi dalam peperangan dan penaklukkan mereka juga bersumber dari nur ini, menapaki jalan ini dan menerapkan prinsip-prinsip ini. Mereka tidak kehilangan saraf mereka pada waktu yang paling sempit sekalipun dan tidak pula melupakan prinsip-prinsip mereka pada penaklukan yang paling gemilang. Sebagian penduduk Libanon pernah memberontak kepada penguasanya, Ali bin Abdullah bin Abbas. Ia pun memerangi mereka dan mencapai kemenangan. Menurutnya, tindakan yang bijaksana bila memisahkan mereka dan mengusir sebagian mereka dari rumah-rumah mereka ke tempat-tempat lain. Setidak-tidaknya inilah yang akan dilakukan seorang penguasa di kalangan umat paling maju sekarang. Imam Auza’i, seorang imam. mujthahid dan ulama Syria segera menulis surat kepada penguasa Libanon itu. Ia tidak membenarkan tindakan penguasa tersebut mengusir sebagian penduduk Libanon dari desa-desa mereka dan menghukum orang-orang yang tidak terlibat pemberontakan sama dengan para pelaku pemberontakan. Isi surat itu antara lain berbunyi:

Pengusiran Ahli Dzimmah di gunung Libanon, termasuk orang-orang yang tidak terlibat dalam pemberontakan, juga sebagian mereka yang anda bunuh dan yang anda kembalikan ke desa-desa mereka telah saya ketahui. Bagaimana anda bisa menghukum semua orang lantaran hanya kesalahan sebagian orang, sehingga mereka pergi meninggalkan rumah-rumah dan harta-bendanya padahal bukankah Allah telah menetapkan bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa dan kesalahan orang lain. Bukankah Allah yang paling layak untuk disandari dan diikuti? Ingatlah wasiat Rasulullah: Barangsiapa menzalimi orang yang mengikat janji setia atau membebaninya dengan sesuatu di luar kemampuannya maka aku lah musuhnya pada hari kiamat. (HR. Abu Daud dan Baihaqi).

Setelah membaca surat itu gubernur Libanon segera mengembalikan mereka ke desa-desanya dalam keadaan mulia dan terhormat.

Saya tidak ingin memberikan ulasan atas peristiwa ini, tetapi cukuplah bagi saya mengingatkan anda akan perlakuan orang-orang Perancis terhadap kita dalm revolusi kita ketika mereka bercokol di negeri ini (Suriah) dan perlakuan mereka sekarang terhadap penduduk Afrika Arab Utara yang berupa pembantaian puluhan ribu orang sekaligus. Mereka juga telah merusak puluhan kota dan desa sampai rata dengan tanah dan menjadi padang sahara. Cukup pula bagi saya mengingatkan anda akan kekejaman-kekejaman Inggris di Palestina pada masa-masa revolusi Arab. Semua ini untuk menjelaskan keinginan saya memalingkan perhatian anda pada mutiara-mutiara peradaban kita dalam peperangan dan penaklukan-penaklukan.

Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, pada suatu ketika datang kepadanya suatu kaum dari penduduk Samarkand. Mereka mengadu kepadanya bahwa Qutaibah, panglima pasukan Islam di situ telah memasuki kota mereka dan menempatkan kaum muslimin secara curang tanpa hak. Setelah mendengar penuturan itu Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada gubernurnya di sana memerintahkan agar ia mengangkat seorang hakim untuk memeriksa apa yang dituturkan kaum itu kepadanya. Jika hakim menetapkan kaum muslimin dikeluarkan dari Samarkand maka mereka harus dikeluarkan. Setelah mendapat titah tersebut, gubernur kemudian mengangkat Jami bin Hadir al Baji sebagai hakim yang bertugas memeriksa pengaduan penduduk Samarkand. Ternyata ia memutuskan kaum muslimin harus dikeluarkan (pahala ia juga seorang muslim). Panglima pasukan Islam harus memperingatkan penduduk Samarkand sesudah itu serta mengumumkan perang kepada mereka sesuai dengan prinsip-prinsip perang Islam sehingga penduduk Samarkand dalam keadaan siap berperang dengan kaum muslimin, tidak di serang dengan mendadak. Ketika penduduk Samarkand melihat hal itu mereka melihat sesuatu yang tak ada bandingannya dalam sejarah yaitu keadilan yang dilaksanakan negara atas pasukan dan panglimanya. Mereka berkata, “Inilah umat yang tidak suka berperang tetapi dikuasai oleh kasih-sayang dan kelapangan.” Mereka akhirnya rela pasukan Islam tetap di situ dan Ikhlas mengakui kaum muslimin tinggal bersama mereka. Pernahkah anda melihat sebuah pasukan yang menaklukkan sebuah kota, kemudian pihak yang kalah mengadu kepada pihak yang menang dan diputuskan bahwa pihak yang menang itu salah dan di suruh keluar? Mereka (pihak yang menang) tidak lagi memasuki wilayah tersebut kecuali bila penduduknya rela. Juga, pernahkah anda melihat dalam sejarah klasik maupun modern, sebuah perang yang pelakunya terkait dengan prinsip-prinsip moral dan kebenaran seperti pasukan peradaban kita? Sungguh, saya tidak pernah melihat di seluruh dunia ini ada sebuah umat yang mempunyai sikap seperti itu.

Ketika pasukan kita menaklukkan Damaskus, Hams dan kota-kota Suriah lainnya, pasukan kita dengan cara damai mengambil sejumlah harta penduduknya untuk kepentingan perlindungan dan pembelaan atas diri mereka sendiri. Panglima kita mempunyai kebijaksanaan, setelah Heraclius menghimpun kelompok-kelompok pasukannya untuk menghadapi pasukan kaum muslimin dalam sebuah perang yang menentukan, pasukan kita diperintahkan untuk mengosongi kota-kota yang ditaklukkan tersebut (Damaskus, Hams dan kota-kota Suriah lainnya) dan berkumpul di satu tempat sebagai pusat untuk menyerang Romawi secara terpadu. Ketika hendak berperang menghadapi pasukan Heraclius, pasukan kita hendak ke luar dari Hams, Damaskus dan kota-kota lain yang ditaklukkannya. Khalid menghimpun penduduk Hams, Abu Ubaidah menghimpun penduduk Damaskus, dan panglima-panglima lainnya menghimpun penduduk kota-kota yang lain. Para panglima itu berkata kepada penduduk yang di himpunnya, “Kami pernah mengambil dari kalian sejumlah harta untuk kepentingan melindungi dan membela kalian. Sekarang kami akan ke luar dan tidak bisa melindungi kalian. Maka, harta-harta ini kami kembalikan kepada kalian!” Mendengar penuturan yang sungguh Welas-asih dan bijaksana itu penduduk kota tersebut menjawab, “Semoga Allah mengembalikan dan menolong tuan-tuan. Demi Allah, hukum dan keadilan tuan-tuan lebih kami cintai daripada kelaliman dan ketiranan Romawi. Demi Allah, sekiranya merekamenduduki posisi tuan-tuan, niscaya mereka tidak akan mengembalikan apapun yang telah mereka ambil, bahkan mereka akan membawa segala sesuatunya yang dapat mereka bawa!

Ya, itu seperti juga yang diperbuat oleh pasukan- pasukan di masa sekarang ketika mereka terpaksa ke luar dari suatu kota. Mereka tidak akan meninggalkan sesuatupun yang bisa diambil manfaatnya oleh musuh. Pernahkah anda mendengar hal semacam ini? Sungguh, andai kata saya tidak beriman kepada teladan-teladan mulia dan kemenangannya, dan andaikata saya termsuk orang yang suka mengorbankan prinsip-prinsip demi tujuan-tujuan politik, niscaya saya katakan bahwa panglima-panglima pasukan kita terlalu dungu dan berlebihan dalam berpegang kepada prinsip-prinsip dan teladan-teladan luhur. Akan tetapi mereka adalah orang-orang beriman yang tidak mau mengatakan apa- apa yang tidak mereka kerjakan. Dalam peperangan Tatar di negeri Syria, banyak tawanan kaum muslimin, Nasrani dan Yahudi jatuh ke tangan pasukan Tatar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menemui pemimpin Tatar untuk membicarakan persoalan tawanan dan pembebasan tawanan mereka. Pemimpin Tatar mengabulkan pembebasan tawanan kaum muslimin saja, tidak dengan kaum Nasrani dan Yahudi. Namun Syaikhul Islam menolak. Ia berkata, Yang harus dibebaskan adalah semua tawanan yang ada pada anda, termasuk kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka ini adalah Ahli Dzimmah kami. Kami tidak akan membiarkan seorang tawanan pun baik dari Ahli Dzimmah maupun Ahli Millah.