Al Imam Muhammad Abduh[27] termasuk tokoh pembaruan Islam terpenting abad ke-20, sedangkan penafsirannya terhadap Al Qur’an adalah langkah terpuji yang membawa fikrah pembaruan kepada seluruh umat manusia. Sebab, manhaj yang digunakan memiliki kelebihan dari yang lainnya, sesuai dengan zaman modern dan dapat berinteraksi dengan zaman-zaman sebelumnya, menjadi beberapa keistimewaan manhaj tersebut.
Syaikh Muhammad Abduh memulai tafsirnya dalam bentuk mata kuliah yang disampaikan di Universitas Al Azhar. Salah seorang mahasiswanya, Muhammad Rasyid Ridha,[28] mencatat apa yang disampaikan beliau kemudian menerbitkannya di majalah Al Manâr. Beliau sangat bersemangat untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran ustadznya. Apabila mengomentari pernyataan sang guru, beliau memulai pembicaraannya dengan wa aqûlu (dan menurut pendapatku), sehingga dapat dibedakan antara pernyataan beliau dan pernyataan sang guru.
Imam Muhammad Abduh di dalam Al Manâr telah menafsirkan surat Al Baqarah, Âli ‘Imrân dan sebagian surat an-Nisâ. Kemudian dilanjutkan oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha pada tafsir Al Manâr dengan mengikuti manhaj beliau (Abduh). Syaikh Rasyid hanya sampai pada ayat 101, surat Yusuf. Tafsir bagian selanjutnya dari surat Yûsuf disempurnakan oleh Syaikh Bahjah Baithâr, kemudian datang Imam Hasan Al Banna dan memulai menafsirkan surat ar-Ra’du. Namun, tidak lama kemudian majalah disita dan ditutup sebelum Imam Al Banna menyelesaikan tafsir surat ar-Ra’du (tepatnya hanya sampai ayat 7).
Ketika kami menyajikan kepada pembaca bagian kecil tafsir Imam Al Banna pada surat ar-Ra’du dengan manhaj Madrasah Al Manâr, kami akan meletakkan dasar-dasar yang telah dibuat oleh Muhammad Abduh dan diikuti oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha, kemudian benang-benangnya dirajut oleh Syaikh Bahjah Al Baithâr dan Imam asy-Syahid Hasan Al Banna. Selanjutnya kami persilahkan kepada para penulis untuk menentukan manhaj yang lain sebagai perbandingan dengan manhaj sebelumnya. Dengan demikian kita dapat saling berlomba-lomba dalam kebaikan.
Manhaj Imam Muhammad Abduh dalam tafsir Al Qur’an mengacu pada sepuluh prinsip dasar[29], yaitu:
- Kesatuan makna surat; artinya menganggap surat sebagai satu kesatuan yang mempunyai tujuan yang harus diwujudkan dan tema yang perlu dijelaskan;
- Keumuman Al Qur’an; maksudnya bahwa makna-makna Al Qur’an bersifat umum dan menyeluruh, petunjuknya berlangsung sampai hari kiamat. Maka nasihat, janji, dan ancamannya tidak boleh ditujukan kepada orang tertentu;
- Berinteraksi dengan Al Qur’an sebagai sumber hukum pertama Islam, maka pendapat dan ijtihad fuqaha (ahli fiqih) tidak boleh didahulukan, sekalipun mereka telah bersepakat;[30]
- Memerangi taqlid: ayat Al Qur’an telah mencela pengikut atau pengekor bapak-bapak mereka tanpa berpikir terlebih dahulu, apalagi para ulama yang takwa, tidak melihat Al Qur’an dan hadist malahan mengikuti mazhab para ulama fiqih (taqlid);
- Menggunakan pemikiran dan manhaj ‘ilmi (metode ilmiah) di dalam penelitian dan istinbâth (penggalian hukum);
- Mengoptimalkan akal dalam memahami Al Qur’an;
- Tidak berlebih-lebihan dalam menafsirkan Al Qur’an, sehingga keluar dari batas topik bahasan;
- Memprioritaskan tafsir ma’tsur (turun temurun);
- Memperhatikan sistem kehidupan sosial agar sesuai dengan prinsip-prinsip Al Qur’an;
- Membela Islam.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha pada saat menafsirkan Al Qur’an mengikuti dasar-dasar manhaj ustadznya, Muhammad Abduh. Namun, agak berbeda terutama dari sisi penambahan hal-hal tertentu. Beliau menjelaskan masalah ini, ketika menulis “Mukaddimah” Al Manâr sebagai berikut:
“Inilah yang aku lakukan setelah beliau wafat. Aku bekerja sendirian dalam penulisan tafsir Al Qur’an. Dalam penulisan ini aku mencoba untuk menambahkan poin manhaj beliau. Poin-poin itu di antaranya mencantumkan hadist-hadist shahih yang berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan atau hukumnya. Penambahan juga pada tahqiq (penguatan) beberapa mufradât (kosakata) atau kalimat, dan masalah-masalah khilafiyah yang terjadi antara para ulama. Aku juga memperbanyak dalil-dalil ayat dalam menafsirkan surat yang bermacam-macam. Di samping itu, penambahan kulakukan dengan menuliskan beberapa penyimpangan yang muncul di masyarakat agar mereka mendapat petunjuk agama pada zaman ini, atau untuk memperkuat hujjah (argumentasi) mereka ketika terjadi perdebatan dengan orang-orang kafir dan ahli bid’ah, atau untuk memberikan solusi pada beberapa problem yang dapat menentramkan hati…”[31]
Inilah perbedaan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dengan gurunya, Muhammad Abduh. Beberapa penulis menambahkan perbedaan tersebut bahwa beliau, Muhammad Rasyid Ridha, terpengaruh oleh Ibnu Katsir dan Imam Al Ghazali, terutama pada pendalaman pembahasan topik yang dibicarakan oleh ayat Al Qur’an dengan melakukan perluasan dan perpanjangan ulasan yang menyangkut semua sisi ayat tersebut. Demikian juga pada hukum sosial, sebab-sebab perubahan sejarah dan penggalian hukum dari ayat-ayat Al Qur’an.[32]
Setelah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha meninggal, dan setelah Syaikh Bahjah Al Baithâr berhenti menulis tafsir di atas manhaj Al Manâr, bendera diserahkan kepada Imam asy-Syahid Hasan Al Banna. Beliau menyusun manhaj penafsiran Al Qur’an dengan sangat jelas. Beliau berkata:
“Aku akan menulis tafsir di Al Manâr dengan meminta kekuatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan aku berusaha melanjutkan batasan-batasan yang telah digariskan olehnya: salaf, ma’tsûr, madani, modernitas, sosial, dan politik.”
Beliau menafsirkan setiap istilah penting di awal artikel yang ditulis, agar para pembaca dan pemikir dapat memahami makna yang dimaksud. Kami sertakan di dalam artikel tersebut bagian khusus manhaj Imam Al Banna dalam menyelesaikan tafsirnya, agar manhaj tafsirnya di majalah Al Manâr dapat diketahui dengan pasti, dengan judul Tafsîr Al Qur’an Al Hakim, Tafsîrun Atsariyun Madaniyun ‘Ishriyun Irsyâdiyun Ijtimâ’iyun siyâsiyun. Imam Hasan Al Banna dalam tulisannya menegaskan:[33]
“Dengan karakteristik ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mempersembahkan Tafsir Al Manâr kepada umat. Sebagaimana yang beliau persembahkan bahwa ia adalah tafsir Al Qur’an dalam perannya sebagai petunjuk bagi manusia dan rahmat bagi alam semesta, memadukan prinsip-prinsip peradaban dan hukum sosial, sesuai dengan kemaslahatan manusia pada setiap tempat dan waktu, karena persesuain prinsip-prinsip dasarnya dengan akal, adab-adabnya yang fitrah dan hukum-hukumnya dengan mencegah kerusakan dan menjaga kemaslahatan.
Ustadz Imam Syaikh Muhammad Abduh mengawali kajian tafsirnya dalam bentuk mata kuliah yang disampaikan kepada mahasiswa Al Azhar. Salah satu muridnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mencatat dan meringkas materi-materi yang didengar dari gurunya kemudian dimuat di majalah Al Manâr. Setelah itu, Muhammad Rasyid Ridha menulis tafsir sendiri dengan mengikuti metode gurunya, Muhammad Abduh. Beliau dalam tafsirnya berusaha menampilkan karakteristik ini sampai pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh” (QS. Yûsuf [12] : 101)
Ini adalah ayat terakhir yang beliau tulis dalam tafsirnya sebelum wafat.
Kemudian Ustadz As Salafî Al Muhaqqiq Syaikh Bahjah Al Baythâr[34] meneruskan tafsir Muhammad Rasyid Ridha sampai selesai surat Yûsuf. Namun Majalah Al Manâr berhenti dari aktivitasnya sampai jamaah Ikhwanul Muslimin bangkit dari keterpurukan. Kemudian anggota dewan penasihat umum meminta saya untuk menulis tafsir merangkap sebagai pemimpin redaksi. Dan saya tidak ingin keluar dari aturan-aturan yang telah mereka buat dan tidak menyimpang dari fikrahnya, demi menghormati jamaah dan memprioritaskan loyalitas, sekalipun kesibukan dan pekerjaan menumpuk. Saya akan menulis tafsir di Al Manâr dengan memohon pertolongan dan kekuatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan saya akan meletakkan tafsir tersebut di atas batasan-batasan yang telah digariskan oleh Al Manâr sebagai berikut:
- Salaf: maksudnya menjelaskan semangat dan misi Al Qur’an dan menghindari pembahasan seputar kata atau lafadz dan sistematika penafsiran. Hal ini ketika salaf memahami kitab Allah subhanahu wa ta’ala;
- Ma’tsûr: penafsiran diambil dari khazanah intelektual Islam yang diwariskan oleh para perawi yang jujur, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat yang mulia, dan dari para tabi’in;
- Madani: tafsir ini selalu mengaitkan prinsip-prinsip peradaban Islam yang dibentuk oleh Al Qur’an dengan dasar-dasar madaniyah modern, di samping menjelaskan kelebihan asas-asas Al Qur’an dari asas yang diciptakan oleh manusia yang membawa mereka ke dalam kenistaan. Madaniyah (peradaban) modern tidak semuanya buruk dan tidak semuanya baik. Sedangkan Al Qur’an seluruhnya baik. Di bawah cahayanya kita dapat melihat mana sistem sosial yang baik dan yang buruk;
- Modernitas: ruh Al Qur’an yang abadi sampai pada semangat kehidupan dewasa ini. Konsep Al Qur’an yang bercahaya dan disandingkan dengan pemikiran modern dengan gaya yang mudah dipahami dan dapat diambil manfaatnya secara cepat;
- Sosial: memaparkan sistem dan persoalan-persoalan sosial, memberikan konsep pemecahan dan perbaikan seperti yang turun dari sisi Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui;
- Politik: membangun umat Muslim yang ideal dan umat Muslim modern, serta mengungkap perbedaan antara keduanya, kemudian mengidentifikasi penyakit-penyakit sekaligus obatnya untuk para penguasa dan rakyat.
Dengan prinsip-prinsip dasar ini, aku akan menulis tafsîr Al Manâr, insya Allah. Jika aku salah, maka aku hanya makhluk lemah yang berusaha menunaikan kewajiban dan berijitihad dalm mencari kebenaran. Aku berharap kepada para pembaca yang budiman agar berkenan memberikan kritik dan saran, agar kita dapat bekerja sama dalam mencapai kesempurnaan. Allah subhanahu wa ta’ala adalah pelindung kita dan sebaik-baik penolong.”
Kepada Akh pembaca yang budiman, saya persembahkan tafsir yang telah ditulis oleh Imam Asy Syahid di majalah Al Manâr sebagai berikut:
[27]Nama lengkapnya Muhammad ‘Abduh bin Hasan Khairullâh, salah satu keluarga Tarkamânî, mufti Mesir, salah satu tokoh pembaruan Mesir. Lahir di Synra (desa wilayah barat Mesir) tahun 1266 H/1849 M. Beliau menyukai pacuan kuda, memanah dan berenang. Belajar di Universitas Al Ahmadi di Thantha, kemudian melanjutkan di Al Azhar. Bekerja sebagai guru penulis di majalah, terutama di majalah Realitas Mesir, bahkan beliau menangani redaksinya. Mendalami bahasa Perancis setelah berumur 40 tahun. Beliau memimpin pemberontakan negara-negara Arab melawan Inggris. Mereka (Inggris) mengasingkan Abduh ke Syam tahun 1881 M. beliau pergi ke Paris (Perancis) dan menerbitkan majalah Al Urwatul Wustqâ dengan temannya yang bernama Ustadz Jamaluddin Al Afghani. Diizinkan masuk ke Mesir tahun 1888 M. Menjadi hakim pengadilan, kemudian menjadi konsultan Mahkamah Banding, lalu menjadi Mufti Mesir tahun 1317 H sampai beliau wafat tahun 1322 H/1905 M di Iskandaria, dan dimakamkan di Kairo.
[28] Nama lengkapnya Muhammad bin Rasyid bin ‘Ali Ridha bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Muhammad Bahâ’u ad-Dîn bin Maula Al Baghdâdî Al Husayni. Pemilik majalah Al Manâr, salah satu tokoh pembaru Islam. Penulis hadis, adab, sejarah dan tafsir, lahir dan tumbuh berkembang di Qalmun (Syam) tahun 1282 H/1865 M, pergi ke Mesir tahun 1315 H kemudian bertemu dengan Imam Muhammad Abduh dan berguru kepadanya. Membidani terbitnya Majalah Al Manâr dan membangun sekolah dakwah di Mesir. Kemudian bertempat tinggal di Suriah pada masa Raja Faishal bin Al Husein. Dipilih sebagai ketua Muktamar Suriah. Lalu beliau meninggalkan Suriah karena kedatangan Perancis tahun 1920 M, lantas menetap di negerinya yang kedua (Mesir), sesaat kemudian berangkat ke India, Arab Saudi, dan Eropa. Beliau lalu kembali ke Mesir dan menetap di sana sampai meninggal dunia dengan tiba-tiba di mobil ketika kembali dari Swiss ke Kairo pada tahun 1935 M/1354 H. Beliau dimakamkan di Kairo.
[29] Lihat perinciannya di tesis Magister Karya Dr. ‘Abdullah Syahtah dengan judul Manhaj asy-Syaikh Muhammad ‘Abduh fî Tafsîr Al Qur’an Al Kârim fuî Dahw’I Manâhij Al Mufassirîn as-Sâbiqîn, Kuliyat Dâr Al ‘Ulûm, No. 24 diberikan pada tahun 1960 M.
[30] Oleh karena itu, beliau berbeda dengan semua mazhab fikih dalam hal tayammum. Beliau berpendapat bahwa seorang musafir boleh bertayamum sekalipun ia dapat menggunakan air. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (Jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS An Nisâ [4]: 43).
[31] Lihat Muhammad Rasyid Ridha, “Mukaddimah” Al Manâr , menukil dari Dr. Abdullah Syahthah, ibid, hlm. 168.
[32] Ibid.
[33] Majalah Al Manâr Jilid 35 Juz 5, hlm. 8-9, Awal Jumadil Akhirah 1358 H/18 Juni 1939 M.
[34] Muhammad Bahjah bin Bahâ’u ad-Dîn Al Baythâr ‘Alamâh, lahir tahun 1311 H di Damaskus dalam keluarga yang mulia dan berilmu, berasal dari Aljazair. Pernah belajar di beberapa sekolah. Belajar bahasa Arab di Fakultas Adab di Universitas Suriah. Pernah menjadi anggota organisasi bahasa Arab Damaskus dan Baghdad. Beliau memiliki beberapa karya intelektual. Wafat tahun 1396 H (lihat Itmâm Al A’lâm, hlm. 224)