Mukadimah ‘Bersama Kafilah Ikhwan’

Segala puji hanya milik Allah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah untuk Rasul yang mulia, Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diutus Allah untuk seluruh makhluk, sebagai rahmat bagi mereka. Juga sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan, penyeru manusia untuk kembali kepada Allah dengan segala izin-Nya, dan pembawa cahaya penerang bagi mereka. Sesungguhnya beliau telah menyampaikan risalah Allah, menunaikan amanah-Nya, dan menyampaikan nasihat untuk umat ini.

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu) : ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’, maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbuat kebaikan. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantara rasul-rasul-Mu, dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya, Engkau tidak menyalahi janji.” (Ali Imran: 193-194)

Bagiku, menulis adalah keahlian yang tidak pernah kuduga ada di dalam diriku dan aku bersyukur bahwa kemampuan tersebut berhasil kumiliki. Aku memuji Allah yang telah memberikan nikmat tersebut̶ selain karena faktor pendidikan ̶ juga karena kondisi yang aku geluti sehari-hari, jauh dari suasana yang dapat memacu terbentuk dan berkembangnya potensi tersebut.

Allah jugalah yang menghendaki, bila akhirnya aku berada di dalam barisan Ikhwanul Muslimin, yang membuat aku berpindah dari satu medan kehidupan ke ruang kehidupan yang lain. Dalam lingkaran jamaah ini, aku temukan diriku dalam keadaan tersadar di atas sebuah hakikat yang hidup di dalam sanubari. Sesuatu yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya, ketika mulai mampu menyingkap apa yang selama ini tertutup di hadapan diriku.

Aku temukan diri ini sebagai manusia yang terlahir kembali. Pikiran-pikiranku tentang kehidupan dan manusia yang ada di sekelilingku mulai berubah. Akhirnya, aku memahami bahwa sesungguhnya, kehidupan ini adalah risalah dan seluruh manusia adalah saudaraku. Mereka adalah lahan tempatku berdakwah, dan mereka juga adalah aset-aset Islam.

Semangat persaudaraan yang tulus menarik jiwaku ke dalam ruang hati-hati yang terpancar semangat, kesungguhan, dan perasaan yang nikmat darinya. Hingga menyemburat dari dalam diriku mata air kehidupan yang membangkitkan jiwa dan asa. Membakar emosi yang selama ini tenang di dasar jiwa, emosi yang dingin, diam membeku diliputi oleh kebekuan dan kemalasan, serta ketidakmampuan menampakkan diri karena terbelenggu oleh tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak bersumber dari ajaran agama Islam.

Di tengah masyarakat Muslim yang mulia ini, mulai mengalir dalam diriku perasaan yang baru. Perasaan yang memberiku nafas kehidupan dan memudahkan lisanku untuk mengungkapkan segala hal yang ada di hatiku. Itulah yang aku rasakan ketika hati ini kian sensitif, dada semakin lapang, rupa tambah berseri, tubuh senantiasa bergerak, dan pandangan terhadap berbagai peristiwa yang ada di hadapan mata pun berubah.

Aku dipindahkan secara paksa, jauh meninggalkan saudara-saudaraku ke Iskandariah pada tahun 1947. Ini merupakan penyebab utama yang menciptakan gelora dalam jiwaku. Hatiku yang terjalin erat dengan ikatan ukhuwah, dibakar api kerinduan. Semua itu tidak dapat ditebus, kecuali dengan pertemuan, dialog, atau saling mengirimi tulisan.

Dari sinilah aku mulai membiasakan diri menulis surat yang kutujukan untuk orang-orang yang kucintai. Kuungkapkan perasaanku dengan malu-malu. Baris-baris kata yang kubuat sangat singkat. Bahasa yang kugunakan sangat kaku. Kalimat yang kususun kurasa memalukan, walaupun maknanya menumbuhkan rasa cinta, keimanan, dan keharuman yang semerbak.

Kata yang ingin kurangkai dalam kalimat, lahir satu per satu. Mengalir deras membawa makna-makna yang sangat indah dan perasaan yang nyaman. Menyatukan hati kami, meledakkan mata air kehidupan, menyingkap kedalaman relung hati kami, dan mencatat realitas sejarah yang kita hadapi serta hidup dengannya sampai saat ini.

Hari-hari terus berlalu hingga tahun berganti tahun, dan tulisan-tulisanku kian bertambah mencapai puluhan bahkan ratusan halaman. Gaya tulisanku pun semakin membaik. Maknanya semakin dalam dan materi yang ingin kuungkapkan menemukan bahasanya, sehingga menulis menjadi kegandrungan bagiku.

Di kota Mursi Mathruh, aku memberanikan diri untuk mencatat berita-berita dan berbagai peristiwa yang terkait dengan aktivitas serta gerakan Ikhwan setiap hari, dalam sebuah buku yang saya anggap sebagai diary atau buku harian.

Hatiku kembali dilapangkan untuk menulis buku tentang Imam Syahid Hasan Al Banna yang berjudul Hasan Al Banna…Dakwah. Kutulis segala hal yang terkait dengan mujahid dakwah yang kucintai itu dalam 200 halaman. Tulisan itu disertai dengan beberapa lembar foto yang sangat langka, yang dikumpulkan oleh Akhina Ustadz Muhammad Al Hushari.

Tahun 1948 merupakan masa tribulasi pertama. Saat terjadinya penangkapan besar-besaran yang dilakukan pemerintah yang berkuasa saat itu terhadap Ikhwan. Lalu, menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari-hari terus berlalu menemani kami dari satu penjara ke penjara yang lain. Dari satu jenis penyiksaan ke penyiksaan lainnya. Demikian pula dengan berbagai peristiwa yang terjadi di sekeliling kami, menjadi catatan-catatan baru yang layak diabadikan dalam sejarah perjalanan Ikhwan.

Di Kota Asyuth, aku mulai menulis buku ini (Fi Qafilatil Ikhwan), kemudian dilanjutkan dengan buku berikutnya Min Wasaailid Dakwah, lalu Shafahatun min Mutsulil Ulyaa lil Ikhwan Al Muslimin, dan yang terakhir adalah Min Khafifil Arwah wa Hamasatil Masya’ir. Ini adalah buku lanjutan buku sebelumnya (Ad-Dakwah Ilallah Hubun). Ustadz Al Kaisan Ghaththasy Ibrahim, Ketua Bidang Penulisan di Al ‘Arisy, menulis seluruh judul-judul buku tersebut dengan tulisan tangannya yang indah, sebelum buku-buku itu naik cetak.

Pada bulan Februari 1945, aku ditangkap di kota Al Arisy kemudian dibawa ke penjara militer. Buku ini akhirnya berada di tangan salah seorang akh yang mulia, dan dikembalikannya kepadaku ketika aku berada di Rasyid, setelah dikeluarkan dari penjara pada bulan Januari 1956. Pada saat yang sangat kritis seperti itu, aku tidak memperoleh kesempatan yang baik untuk menulis, karena mata-mata senantiasa mengawasi gerak-gerikku dan bisa saja menyeretku ke dalam penjara kapan saja.

Tribulasi yang terjadi pada bulan Agustus 1956 membuatku ditangkap kembali untuk yang ketiga kalinya. Setelah dikeluarkan dari sana, aku sempat mengunjungi salah satu keluarga dan kerabatku sambil menanyakan buku yang kutitipkan kepada mereka ketika aku ditangkap. Namun, aku sangat terkejut saat mereka mengatakan bahwa buku tersebut telah dibakar oleh aparat keamanan bersamaan dengan siksaan yang ditimpakan kepada keluargaku ketika itu. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghiburku saat mendengar berita memilukan itu, selain ucapan, “Allah yang telah menentukan segalanya dan bila Ia menghendaki, niscaya itu akan terjadi.”

Ketika aku menuju Rasyid, setelah dibebaskan pada bulan April 1974, aku mulai melakukan berbagai macam aktivitas dakwah bersama dengan generasi baru yang terdiri dari para pemuda yang mampu menyambut dan merespons seruan Allah serta Rasul-Nya. Dengan gejolak rindu yang meletup-letup di dalam dada, mereka menanyakan tentang sejarah perjalanan jamaah Ikhwan. Setelah mereka mendengarkan kenyataan pahit yang sesungguhnya itu, tersibaklah di hadapan mereka segala bentuk kebohongan yang selama ini ditulis dan dipublikasikan oleh berbagai media massa melalui orang-orang yang hatinya ditutup oleh Allah, sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang sesungguhnya. Dan, apa yang mereka lakukan itu pun sesat serta menyesatkan.

Seiring perjalanan waktu, keinginan untuk mencatat dan mengabadikan sejarah ini semakin menguat dalam diriku, agar ia dapat terdengar di telinga bangsa Timur dan Barat sekaligus. Aku sendiri merasakan kesedihan yang sangatt mendalam ketika mengingat kelalaian Ikhwan terdahulu dalam menggunakan alat perekam (tape recorder) untuk merekam ucapan dan kata-kata Imam Hasan Al Banna. Walaupun alat tersebut masih sangat jarang ditemukan saat itu, pada masa kepemimpinan Imam Hasan Al Hudhaibi ̶semoga Allah merahmati mereka berdua ̶ sudah tersebar luas. Sebagaimana mereka juga patut dikecam karena ketidakpedulian mereka untuk mencatat apa yang mereka saksikan dan dengar pada masa mereka. Ini adalah salah satu bentuk kerugian, karena sesungguhnya, ini adalah amanah yang harus ditunaikan untuk generasi selanjutnya. “Agar kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.” (Al-Haaqah: 12)

Dengan berserah diri kepada Allah, aku mulai menulis kembali buku ­Fi Qafilatil Ikhwan, dengan hanya mengandalkan kenangan yang masih tersimpan dalam memoriku, dan melalui majalah serta koran-koran Ikhwan dan berbagai macam sarana lainnya, yang tersedia untuk memudahkan penulisan buku ini.

Dalam penulisan buku ini, aku sangat memperhatikan sebuah prinsip penting yang kita anut: nahnu qaumun nabni wala nahdum, nabni wala nufarriq (kami adalah kaum yang senantiasa membangun dan tidak menghancurkan, menyatukan dan tidak menceraikberaikan). Oleh karena itu, aku lebih mengutamakan untuk menjauhkan diri dari ruang perbedaan yang dapat menimbulkan perselisihan, kecuali tentang hal-hal yang terkait dengan masalah-masalah yang membutuhkan penegasan, seperti ideologi jamaah dan sistem yang dianut, yang tidak dapat dibatasi oleh situasi apapun, meskipun pertengkaran dan permusuhan bukan bagian dari kebiasaan kita.

“Mudah-mudahan, Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Allah pun Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Mumtahanah : 7)

Dengan segala kekurangan yang kumiliki, aku berusaha untuk menunaikan hak dakwah ini dan hak-hak saudaraku yan lain, putra-putra dari generasi sekarang, sehingga saya senantiasa termotivasi untuk menulis buku Fi Qafilatil Ikhwanul Muslimin ini dalam empat jilid, yang siap diterbitkan dengan izin Allah yang Maha Rahman. Semoga dengan taufik Allah, jilid pertama dari buku ini dapat diterbitkan pada pertengahan tahun 1986, sehingga perjalanan hidupku bersama dengan Qafilah Ikhwan yang telah berjalan selama 50 tahun lamanya, dapat aku abadikan. Sebuah usia dakwah yang tidak singkat karena sehari dalam kehidupan pribadi, bagaikan setahun dalam kehidupan umat. Qafilah ini terus berlalu meretas jalannya, di bawah inayah dan pertolongan Allah, dijaga oleh hati-hati yang tulus dari putra-putra Islam.

Kepada Allah aku memohon. Semoga Ia senantiasa melimpahkan taufik dan inayah-Nya kepada saudara-saudaraku, sehingga mereka dapat membantu memunculkan kembali dalam ingatanku tentang apa yang mulai terlupakandan tak mampu kuingat. Walaupun kita disatukan di atas jalan ini dan dalam tribulasi yang sama, setiap akh ̶ saudara seiman, panggilan yang lazim digunakan untuk sesama jamaah Ikhwan ̶tentu memiliki sikap, gambaran, dan pandangan umum atas apa yang ia rasakan. Sesungguhnya, respons setiap pribadi atau setiap individu berbeda sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi yang ia hadapi, sebagaimana respons yang diberikan setiap individu terhadap peristiwa besar, krusial, dan sangat luas dampaknya di alam nyata ini, yang kita hadapi baik di Mesir maupun di negeri-negeri Muslim lainnya.

Aku juga meletakkan sebuah harapan besar di hadapan saudara-saudaraku ̶ semoga pada suatu hari, kelak dapat menjadi kenyataan ̶ yaitu harapan akan lahirnya sebuah film dokumenter yang dapat memberikan gambaran yang jelas tentang semangat dakwah ini dan akhlaknya yang agung pada setiap situasi dan kondisi, dalam keadaan suka maupun duka, atau ketika tribulasi dan berbagai ujian menimpa aktivis dakwah. Film yang dapat mengungkapkan keimanan, kesabaran, keteguhan, pengorbanan, cinta, dan itsar Ikhwan untuk saudara-saudara mereka.

Rabi’uts Tsani 1406

Januari 1986

Abbas Hasan As Sisi