Jangan mengenal kebenaran dari tokohnya, tapi kenalilah kebenaran, Anda akan tahu siapa tokohnya!
Barangkali di antara kita sering linglung melihat kenyataan yang ia lihat pada diri ulama idolanya. Dalam satu segi ia melihat apa yang disampaikan atau difatwakan ulama itu tidak sesuai dengan ilmu yang ia miliki dan nurani yang ia rasakan. Akan tetapi dari sudut lain ia menilai tidak mungkin orang seperti itu salah, karena ilmunya sangat luar biasa dan diakui semua orang.
Akhirnya ia berusaha mengingkari kebenaran yang ada pada ilmunya dan fitrah sejati yang ada dalam sanubarinya. Dia berusaha untuk berbaik sangka kepada ulama pujaannya dan mengesampingkan teriakan hatinya. Ah, mana mungkin beliau salah, pandangan dan ilmu kita saja yang masih cetek!
Begitulah kira-kira yang terjadi…
Untuk itu kiranya kita perlu mengkaji lebih dalam lagi bahwa ilmu sesuatu, terapan dan amalan sesuatu yang lain. Belum tentu seorang yang berilmu tinggi otomatis amalan dan tindakan-tindakannya sesuai dengan ilmunya.
Untuk itu sejarah sudah banyak membuktikan dan mengajarkan kalau dua hal itu sesuatu yang berbeda posisi.
Iblis adalah jin yang derajatnya disamakan dengan malaikat karena saking taatnya. Tapi ia jatuh tersungkur dihadapan ujian. Hatinya ternyata menyimpan sombong dan hasad yang luar biasa. Kedudukannya yang sangat tinggi di hadapan Allah, sampai-sampai bisa berdialog langsung dengan Allah tidak ada artinya. Dia rela menjatuhkan dirinya menjadi sesat dan menyesatkan sepanjang umur dunia, dan akan menjadi penghuni neraka abadi demi mempertahankan ego, sombong dan gengsinya.
Bal’am bin Ba’ura’ adalah ulama dan ahli ibadah Bani Israel. Sampai-sampai Allah memberinya ilmu tentang nama Allah yang Maha Agung. Bila ia berdo’a menyebut itu apapun yang ia inginkan akan terwujud waktu itu juga. Namun harta dan wanita membuat ia berkhianat kepada Nabi Musa. Akhirnya Allah pun mencabut nikmat ilmu darinya dan mematikannya dalam keadaan yang sangat hina.
Sepuluh orang saudara Nabi Yusuf yang mencampakkan beliau ke dalam sumur bukanlah orang kafir. Tapi mereka adalah para ulama, yang dibimbing langsung oleh wahyu. Mereka bukan memahami agama dari usaha sendiri, melalui riwayat dari orang ke orang seperti yang dilakukan ulama sekarang. Tapi wahyu langsung turun di rumah mereka, pemahaman terhadap wahyupun diajarkan langsung oleh ayahnya Nabi Ya’qub.
Sungguhpun demikian, ilmu mereka tidak bisa memelihara dirinya dari penyakit iri dan dengki kepada saudaranya sendiri. Keulamaan mereka tidak bisa menahan kejahatan dirinya.
Hanya ilmu yang diterapkan dengan baik yang bisa menjadikan pemiliknya terjaga dari berbuat salah dan jahat.
“Ya Allah, kokohkan kami di atas kebenaran…”