Buku ini ditulis menyusul polemik Sunnah-Syi`ah di dalam surat kabar-surat kabar lokal sejak akhir-akhir ini. la menimbulkan berbagai tanggapan, hingga ada di antara masyarakat yang konon memilih jalan tengah dalam soal ini dengan mengambil sikap bahwa isu Sunnah-Syi`ah adalah suatu isu yang tidak sepakat pendapat para ulama mengenainya sejak dahulu sampai sekarang. Ada di antara ulama yang mengkafirkan Syi`ah dan ada pula di antara mereka yang menganggap Syi`ah sebagai salah satu mazhab di dalam Islam, tak ubah seperti kedudukan mazhab Maliki atau Hanafi.
Jika demikianlah keadaan ulama dari dahulu sampai sekarang, kenapakah kita sibuk berpolemik dan bertengkar tentangnya?
Walaupun mereka berada di dalam kebingungan lantaran perbedaan pendapat ulama tentang isu ini, tetapi mereka pada hakikatnya telah memilih satu sikap. Lebih menyedihkan lagi, ada satu golongan dari masyarakat kita yang menganggap Syi`ah lebih baik dan lebih kukuh hujjahnya dari Ahlus Sunnah, maka mereka terus mengamalkan ajaran-ajaran Syi`ah atau coba mempengaruhi orang lain kepada pemahaman Syi`ah pada hal mereka sendiri pun masih belum lagi mengenali hakikat Syi`ah yang sebenarnya.
Di dalam buku kecil ini, kita akan membentangkan titik-titik perbedaan di antara ulama yang berbeda-beda pendapat itu. Kita akan coba membentangkan faktor-faktor yang menyebabkan para ulama tidak sekata di dalam soal ini. Benarkah Syi`ah itu hanya satu mazhab dari mazhab-mazhab dalam Islam atau ia bukan dan ajaran Islam?
Untuk menentukan perkara ini, bukanlah satu perkara mudah. la memerlukan satu kajian yang mendalam dan penelitian terhadap buku-buku yang pernah ditulis oleh ulama Islam tentang isu ini. Keputusan tentangnya tidak harus dibuai semata-mata berdasarkan kabar-kabar angin atau berdasarkan fatwa-fatwa yang tidak berasaskan kajian ilmiah, karena jika Syi`ah Islam, berarti kita telah menuduh satu golongan Islam sebagai bukan Islam dan ini tentunya merupakan satu fitnah yang sangat besar. Tetapi jika Syi`ah bukan Islam, bererti kita membuka jalan kebinasaan atas nama Islam kepada generasi seterusnya dan tentunya dosa ini akan ditanggung oleh ahli-ahli ilmu yang abai di dalam melaksanakan tanggungjawabnya.
Sampai masa ini masih belum kedengaran lagi fatwa yang jelas daripada mana-mana badan agama di tanah air kita secara tegas dan terbuka, walaupun ada beberapa buah buku terbitan institusi-institusi keagamaan seperti Majlis Agama Islam Kelantan dan Perak yang memasukkan Syi`ah Imamiyah Itsna `Asyariyah ke dalam deretan ajaran-ajaran sesat.
Kita kira sudah sampai masanya pihak-pihak yang berkenaan mengambil inisiatif untuk memberikan perhatian khusus mengenai soal ini, mengingat telah nyata dari tulisan-tulisan golongan yang pro-Syi`ah sikap yang tidak sewajarnya ada pada seorang Muslim, lebih-lebih lagi kalau ia mempunyai kedudukan yang penting di dalam institusi yang bercorak keagamaan. Golongan pro-Syi`ah ini sanggup mengeluarkan beberapa pandangan yang lahir dari pada ajaran Syi`ah seperti mengkafirkan Sayidina `Utsman Radhiyallahu ‘Anh, menuduh sewenang-wenang terhadap imam-imam seperti Bukhari, Muslim, dan sebagainya, dan memfitnah para mujtahid seperti Imam Abu Hanifah dengan mengatakan umpamanya beliau berpendapat perempuan pelacur yang mengambil upah tidak dikenakan had dan rujukan yang diberi ialah Al Muhalla karangan Ibnu Hazm (jilid 3 halaman 350) padahal setelah diteliti melalui dua edisi terbitan Mesir dan Beirut, kenyataan itu tidak ada sama sekali.
Kita berharap para pembaca sekalian dapat mengikuti pembahasan di dalam buku ini dengan dada yang terbuka dan hati yang ikhlas demi mencari kebenaran. Kepada para ulama tanah air, saya berharap agar mereka jangan hanyut dengan semangat semata-mata ketika menentukan soal Sunnah-Syi`ah ini. Mereka seharusnya mengeluarkan suatu pernyataan melalui ucapan atau tulisan, setelah membuat kajian dan penyelidikan yang rnendalam karena para ulama yang lalai dan abai sehingga mengakibatkan kerusakan `aqidah ummat akan disoal dan dipertanggungjawabkan ke atas mereka dan mereka akan menanggung dosa keabaian dan kelalaiannya sendiri di samping menanggung juga dosa orang-orang yang telah sesat karena keabaian dan kelalaiannya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Siapa yang mengadakan dalam Islam suatu cara atau jalan kebaikan, ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang beramal dengannya sesudahnya dengan tidak kurang sedikitpun pahala mereka. Dan siapa yang mengadakan dalam Islam suatu jalan keburukan, ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang beramal dengannya sesudahnya dengan tidak kurang sedikitpun dosa mereka.” (HR Muslim, Nasa’i, Ahmad)
Muhammad `Asri Yusoff
Kubang Kerian
2 Agustus 1989