Mutaghayirat dalam Masalah Ijtihad dan Taklid

Adapun hal-hal yang bisa berubah atau masalah ijtihadiyah dalam persoalan ini antara lain sebagai berikut.

a. Salah dan benarnya mujtahid

Para ulama banyak sekali berbeda pendapat dalam masalah ini. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa semua mujtahid adalah benar dalam konteks ijtihadnya, namun adapula yang berpendapat bahwa mujtahid yang benar hanya satu. Dua kelompok tersebut juga berbeda pendapat, apakah persoalan yang tidak ada nashnya mempunya hukum tertentu di sisi Allah yang menjadi objek pembicaraan mujtahid? Menurut para pendukung mushawib (yang menyatakan bahwa setiap mujtahid benar), sesungguhnya masalah yang tidak diterangkan oleh nash, tidak mempunyai suatu hukum tertentu yang kemudian dicari dengan ijtihad. Akan tetapi, hukum tersebut lahir sesuai dengan hasil ijtihad dan hukum Allah untuk tiap-tiap mujtahid adalah hasil ijtihadnya. Pendapat inilah yang dipilih dan menjadi pendapat Al-Qadhi.

Sebagian kalangan mushawib juga ada yang berbeda pendapat bahwa di dalam masalah tersebut ada hukum tertentu yang menjadi objek pencarian, karena pencarian menuntut adanya objek yang dicari, hanya saja seorang mujtahid tidak dituntut untuk mendapatkan hukum secara tepat pada objek. Oleh karenanya, ia tetap dianggap benar walaupun hukum yang dicapai tidak sebagaimana yang dimaksudkan pada objek itu.

Adapun yang berpendapat bahwa mujitahid yang benar hanya satu, mereka sepakat adanya hukum tertentu menurut Allah dalam masalah tersebut, namun mereka berselisih pendapat apakah ada dalil bagi hukum tersebut atau tidak. Sebagian dari mereka mengatakan ihwal tidak adanya dalil karena hukum tersebut ibarat barang terpendamyang secara kebetulan bisa ditemukan oleh seorang yang mencari. Yang menemukanya, ia mendapat dua pahala, sedangkan yang meleset darinya, ia mendapatkan satu pahala. Bagi sebagian orang yang mengatakan tentang adanya dalil juga masih berbeda pendapat, apakah dalilnya bersifat qathi’y atau zhaniy? Sebagian mengatakan bahwa dalilnya bersifat qath’i, akan tetapi mujtahid yang keliru tidak berdosa karena samarnya dalil. Sedangkan yang mengatakan dalilnya adalah zhani berbeda pendapat lagi, apakah mujtahid diperintahkan secara qath’i juga untuk mendapatkan dalil tersebut secara qath’i? Sebagian mengatakan tidak dperintahkan karena samarnya dalil. Oleh sebab itu, ia diampuni dan mendapat pahala. Sebagian lain mengatakan diperintahkan, dan jika ia keliru tidak mendapat pahala, tetapi diampuni dosanya sebagai keringanan. [94]

Setelah pemaparan tersebut Al Ghazali memilih mazhab mushawih. Dia mengatakan, ”Pendapat yang kami pilih dan kami yakini kebenarannya dan kekeliruan orang yang berbeda dengannya adalah bahwa setiap mujtahid dalam masalah-masalah zhani (ijtihadi) adalah benar, dan tidak ada hukum tertentu di sisi Allah tentangnya.”[95] An Nawawi menuturkan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang dipilih para ulama peneliti dan lainnya.”[96]

Adapun Ibnu Taimiyah, ia berpendapat bahwa kekeliruan bisa diartikan dosa dan bisa pula diartikan ketidaktahuan. Kalau kekeliruan diartikan dosa, maka setiap mujtahid yang bertakwa kepada Allah sekuat kemampuannya adalah benar, tidak berdosa, dan tidak tercela, karena ia menaati Allah. Kalau kekeliruan diartikan ketidaktahuan, maka boleh jadi seorang mujtahid yang menggali hukum mengetahui yang benar, dan boleh jadi tidak mengetahuinya. Mungkin saja Allah menganugerahi sebagian mujtahid dengan menepati kebenaran tentang persoalan tertentu. Sekiranya mujtahid lain mengetahuinya tentu wajib mengikutinya. Akan tetapi, karena ketidaksanggupannya untuk mengetahui, maka gugurlah kewajiban mengikuti dan ia tetap mendapat pahala atas ijtihadnya.

Ia berkata,”Tidak semua orang yang berijtihad dan menggali hukum bisa mengetahui kebenaran, dan tidaklah berhak mendapat ancaman siksa, kecuali mujtahid yang meninggalkan perintah atau menerjang larangan. Inilah pendapat para fuqaha dan para imam, juga pendapat yang dikenal salafusaleh dan mayoritas kaum Muslimin. Pendapat ini mencakup kebenaran yang terdapat dalam dua pendapat.”[97]

Di sebagian lain ia mengatakan,”Inilah jawaban tuntas dalam bab ini. Seorang mujitahid yang menggali hukum, baik ia seorang imam maupun seorang hakim, seorang alim atau peneliti, seorang mufti atau lainya, jika telah berijtihad dan menggali hukum dengan bertakwa kepada Allah sekuat kemampuannya,maka itulah yang Allah bebankan kepadanya. Ia berhak mendapatkan pahala karena ketaatannya dan ketakwaanya kepada Allah, dan Allah tidak memberinya sanksi, berbeda halnya dengan pendapat Jahmiyah Jabariyah. Prinsipnya seorang mujtahid tepat kepada kebenaran, dalam arti ia taat kepada Allah boleh jadi ia mengetahui kebenaran persoalan yang sebenarnya, namun boleh jadi juga tidak mengetahuinya.”[98]

b. Ijtihad parsial

Diantara masalah ijtihadiyah adalah ijtihad yang bersifat parsial (ijtihad dalam masalah tertentu saja). Sebagian ulama berpendapat bahwa kedudukan ijtihad tidak bisa terbagi. Untuk berijtihad pada sebagian masalah, seorang harus mencapai emampuan ijtihad mutlak dalams emua masalah, karena sesuatu yang mungkin tidak diketahui boleh jadi berhubungan dengan hukum yang seharusnya sehingga belum bisa dipastikan tidak adanya penghalang untuk mengetahui hukum yang seharusnya. Juga karena ilmu-ilmu ijtihad saling berhubungan satu sama lain dan saling berkaitan erat. Kalau ada yang kurang, maka seseorang tidak boleh melakukan ijtihad. Mereka mengatakan, bahwa dari sinilah kebodohan orang yang mengaku mampu berijtihad terkuak dalam masalah tertentu. Ketika beradu hujah dengan mujtahid mutlak, mengemukakan apa-apa yang tidak difahaminya tentang tempat-tempat pengambilan hukum dan cara-cara menempuhnya.

Jumhur ulama berpendapat tentang diperbolehkannya ijtihad secara juz’iy(parsial). Orang yang sudah mencapai derajad ijtihad dalam sebagian masalah boleh berijtihad dalam masalah tersebut, walapun ia tidak mempunya kemampuan berijtihad dalam masalah lainnya. Konsekuensinya, seorang mujtahid harus mengetahui semua masalah, dan ini tidak sesuai dengan kenyataan, dimana banyak kalangan mujtahid, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hambal dan lain-lainya pernah ditanya tentang sejumlah masalah , sebagiannya mereka jawab dan sebagian yang lain tidak menreka jawab.

Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Ia mengatakan,”Ijtihad bukanlah persoalan tunggal yang tidak bisa dibagi-bagi. Seseorang mungkin saja menjadi mujtahid dalam satu disiplin ilmu, bab tertentu, atau masalah tertentu, sedangkan dalam disiplin, bab, dan bidang lainya tidak mampu. Ijtihad setiap orang berdasarkan kemampuannya.”[99]

c. Kewajiban bermazhab bagi orang awam

Tentang keharusan bermazhab bagi orang awam, Ibnu Taimiyah meriwayatkan dua pendapat dari kalangan Syafi’iah dan dua pendapat dari kalangan Hanabilah. Disebutkannya bahwa kebanyakan mereka tidak mewajibkan.

Ia berkata,”Persoalan pokok disini adalah, apakah orang awam wajib mengikuti mazhab tertentu secara ketat dengan segala ‘azimah (hukum asal) dan rukhshah (hukum dispensasi)-nya? Ada dua pendapat dari kalangan Hanabilah yang juga merupakan pendapat Syafi’iyah. Mayoritas mereka, baik Hanabilah maupun Syafi’iyah, tidak mewajibkan. Sedangkan kalangan yang mewajibkan berpendapat, ’Jika seseorang mengikuti mazhab tertentu, ia tidak boleh keluar darinya selagi masih berstatus mengikutinya, atau selagi tidak tampak baginya bahwa ada imam lain yang lebiih patut diikutinya. ‘”[100]

Selanjutnya Ibnu Taimiyah memilih pendapat tidak mewajibkan. Orang awam boleh meminta fatwa kepada siapa saja yang ia yakini. “Apabila seorang Muslim menemui suatu masalah, ia boleh meminta fatwa kepada siapa saja yang diyakininya dapat menjawab dengan syariat Allah dan rasul-Nya, apa pun mazhabnya. Seorang Muslim tidak wajib bertaklid kepada imam tertentu saja, yang kemudian semua ucapannya diikuti. Seorang Muslim tidak wajib mengikuti mazhab orang tertentu secara penuh, selain dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Dalam setiap apa yang diwajibkan dan diberitakannya.bahkan setiap orang kata-katanya boleh diambil atau ditinggalkan, selain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”[101]

Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata,”Kami mengetahui secara pasti bahwa pada masa sahabat tidak ada seseorang pun yang mengikuti seseorang dari kalangan mereka dan bertaklid kepadanya dalam semua ucapannya, sehingga tidak ada satu pun pendapatnya yang digugurkan. Pada saat yang sama semua pendapat yang lain digugurkan dan tidak ada satu pun yang diambilnya. Kita juga mengetahui secara pasti bahwa hal itu juga tidak terjadi pada masa tabiain dan tabiit tabiin. Bid’ah ini muncul pada generasi keempatnya yang tercela, sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”[102]

Ibnu Amir Hajj menulis dalam syarahnya terhadap ktab At Tahrir karya Kamal Ibnul Hammam,”Tiga generasi utama telah berlalu tanpa ada seorang pun dari mereka yang mengatakan wajibnya mengikuti mazhab tertentu. Orang awam sebenarnya tidak mempunyai mazhab walaupun ia mengikutinya. Bermazhab hanyalah bagi orang yang memiliki kemampuan menganalisa, kemampuan mengambil dalil dan pemahaman mazhab sesuai tingkatannya, atau bagi orang yang membaca kita furu’iyah mazhab dan mengetahui fatwa serta apendapat imamnya. Adapun orang yang tidak memiliki kemampuan itu sama sekali, selain hanya mengatakan bahwa dirinya bermazhab Syafi’i, bermazhab Hanafi, atau bermazhab lainya, maka tidak secara otomatis ia menjadi seperti yang dikatakan. Seperti halnya orang yang mengatakan bahwa dirinya seorang faqih atau ia seorang ahli nahwu atau ia seorang penulis, maka tidak dengan sendirinya menjadi seperti yang dikatakan. Dari sini ada ungkapan masyhur dikalangan ulama, ;Orang awam tidak mempunyai mazhab karena mazhabnya adalah mazhab orang yang member fatwa kepadanya.’”[103]

Tidak diragukan lagi bahwa pendapat jumhurlah yang lebih kuat, dimana orang yang bertaklid tidak harus mengikuti mazhab tertentu karena tidak ada kewajiban kecuali apa yang telah diwajibkan Allah dan rasul-Nya. Allah dan rasul-Nya tidak pernah mewajibkan kepada seorang pun untuk bermazhab dengan mazhab imam mujtahid tertentu dengan menerima semua yang ditetapkannya dan menolak yang lain, sebab kedudukan sepeti ini tidak dimiliki oleh seorang pun selain Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Selain nabi, setiap orang boleh diambil dan boleh pula ditinggalkan pendaptnya.

Saya kemukakan masalah ini sebagai hal yang bisa berubah, karena boleh jadi ada sesuatu kondisi yang mengharuskan kita untuk mengambil pendapat yang mengatakan keharusan mengikuti suatu mazhab. Contoh kondisi itu adalah ketika sekulerisme mempunyai dominasi, dan para penganjurnya membuka pintu keluar dari agama atas nama agama, dan melepas kewajiban-kewajiban syariat atas nama pembaharuan, pencerahan dan sejenisnya, sehingga mereka mengumpulkan pendapat-pendapat yang aneh da kekeliruuan-kekeliruan sebagai ulama, kemudian menyebarluaskannya. Mereka meninggalkan ijtihad dan pemurnian syariat, enggan mengamalkan dalil dan tidak taklid, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.

Barangkali ini bisa menjelaskan rahasia, mengapa Syaikh Muhammad bin Ibrahim –mufti kerajaan Arab Saudi terdahulu- mengharuskan seluruh ulama Saudi memberikan fatwa menurut mazhab Hambali. Ia sangat bersikeras dalam hal ini, padahal ia sendiri seorang yang alim. Mungkin –dengan bashirah-nya- ia merasakan gelagat sekulerisme di atas, sehingga pintu yang membuka peluang mempermainkan agama beliau tutup dan jalan ayng ditempuh para penganjur kebatilan beliau potong. Wallahu a’lm

d. Menetapkan tingkatan khusus bagi para pencari ilmu dan mereka yang mampu memahami dalil, namun belum dapat mandiri dalam telaahnya.

Tingkatan ini dimaksudkan untuk menetapkan tingkatan yang berbeda, antara tingkatan ijtihad yang belum dicapainya dan tingkatan awam yang sudah dilampauinya. Ungkapan Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Khuwaiz Mindad menunjukan adanya tingkatan ini.

Dalam kitabnya Jami’ Bayan Al Ilm wa Fadhlih Ibnu Abdil Barr mengatakan,”Bab ini menerangkan ketidakbenaran taklid, dan perbedaan antara taklid dan I’tiba (mengikuti). Menurut segolongan ulama, taklid berbeda dengan I’tiba’. I’tiba berarti mengikuti pendapat seseorang dengan mengetahui keutamaan ucapan dan kebenaran mazhabnya, sedangkan taklid berarti mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui alas an dan maknanya.”[104]

Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad juga mengatakan, “Setiap orang yang engkau ikuti pendapatnya tanpa ada dalil yang mewajibkan engkau untuk mengikutinya, berarti engkau bertaklid kepadanya, padahal taklid dalam agama Allah tidak dibenarkan. Sedangkan setiap orang yang engkau ikuti pendaptnya karena ada dalil yang mengharuskannya, berarti engkau beri’tiba kepadanya. I’tiba dalam agama Allah dibolehkan, sedangkan taklid dilarang.”[105]

Bagi orang yang meneliti ungkapan-ungkapan Ibnu Taimiyah, hamper tidak mendapati pengaruh perbedaan dalam istilah ini, setelah menjelaskan perbedaan pendapat tentang ahlulkitab yang sembelihannya halal dimakan, dimana tidak disyariatkan kakeknya termasuk orang yang beragama ahlulkitab sebelum adanya perubahan, ia mengatakan, “Masalah ini dan sejenisnya termasuk masalah mendalam dan substansial dalam fiqih, yang tidak dipahami kecuali oleh orang yang memahami pendapat-pendapat ulama dan landasan pengambilan dalilnya. Adapun orang yang tidak mengetahui kecuali pendapat dan hujah seorang alim saja dan tidak mengetahui pendapat dan hujah orang alim lainya, sesungguhnya ia termasuk orang awam yang bertaklid, bukan ulama yang menguatkan atau melemahkan pendapat.”[106]

Dari ungkapan itu, ia membandingkan antara dua kelompok yaitu kelompok ulama mujtahid dan kelompok awam yang bertaklid. Penguasaan terhadap pendapat dan hujah seorang ulama tidak menjadikan seorang keluar dari lingkaran awam yang bertaklid dan tidak dijuluki dengan sebutan tertentu.

Ketika ia ditanya tentang perbedaan antara ijtihad, istidlal, taklid, dan I’tiba’, ia menjawab dengan menjadikan taklid dan I’tiba dalam satu tingkatan, tanpa membedakan antara keduanya.” Adapaun taklid yang batil dan tercela adalah menerima pendapat orang lain tanpa hujah. Allah berfirman, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, ‘(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. ‘ (Apakah mereka mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.” (Al Baqarah:107)

Ittiba’ dan taklid yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala Adalah I’tiba al hawa (mengkuti hawa nafsu) , baik karena adat dan nasab, seperti mengikuti nenek moyang maupun karena kekuasaan seperti mengikuti para pembesar, para pemimpin, dan para diktator.”[107]

Selanjutnya, ia mengakhiri pembicaraan dengan menyebutkan keduanya secara global. “Manusia dalam masalah istidlal dn taklid berada dalam dua kubu ekstrim. Ada yang mewajibkan kepada setiap orang agar melakukan istidlal (penggalian dalil) hingga dalam persoalan-persoalan detail, baik yang pokok maupun yang cabang. Sebaliknya, ada pula yang mengharamkan setiap orang beristidlal dalam masalah yang detail, baik dalam masalah yang pokok maupun yang cabang. Sebaik-baik urusan adalah pertengahannya.”[108]

Ia mengelompokannya menjadi dua bagian: istidlal dan taklid. Ijtihad dan istidlal berada dalam satu wilayah, sedangkan taklid dan I’tiba dalam satu wilayah yang lain. Ini sekedar pemakain istilah yang tidak perlu dipersoalkan.

e. Berpegang teguh dengan dalil harus didahulukan daripada berpegang teguh dengan mazhab

Ada sementara orang yang mengharuskan bersegera mengamalkan suatu hadits dan menanggalkan pendapat para ulama yang bertentangan dengannya, begitu diketahi bahwa hadits itu shahih, karena pada yang demikian itulah makna mengikut Rasulullah yang merupakan sumber beban sesungguhnya, juga berarti mengambil keteladanan para ahli ilmu yang menegaskan agar pendapat mereka dikesampingkan jika jelas bertentangan dengan hadits.

Sedangkan kalangan yang lain, dalam prinsip persoalannya tidaklah berbeda pendapat dengan itu, karena keterkaitannya dengan konsekuensi iman. Seluruh umat Islam sepakat bahwa orang yang menolak satu urusan agama dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah diketahuinya diperintahkan oleh Rasulullah tanpa takwil dan syubhat, maka ijmak kaum Muslimin menetapkan bahwa ia telah kafir. apabila seseorang mengetahui bahwa dalil dalam suatu masalah berpihak pada pendapat yang berbeda dengan yang dikatakan sebagai ulama, maka tidak halal baginya meninggalkan dalil karena keterikatannya dengan hasil ijtihad yang jelas kekeliruannya. Hanya saja, yang dipersoalkan adalah sejauh mana tingkat pengetahuannya, sebab pengetahuan yang diakui disini adalah pengetahuan yang dapat mengantarkan kesimpulan adanya muqtadhi (sesuatu yang mengharuskan adanya suatu hukum) dengan dugaan yang kuat, disertai tidak adanya mani’ (penghalang berlakunya muqtadhi). Ini merupakan proses ijtihad yang tidak dipahami oleh orang awam dan setengah awam. Dalam konteks ini, perbandingan bukanlah antara ungkapan mazhab dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melainkan antara pemahaman orang yang mengetengahkan dalil sektoral terhadap hadits, dan pemahaman orang yang mempunyai pendapat mazhab terhadap hadits.

Berkembang pula pertanyaan, bagaimana kita meninggalkan fatwa yang dikemukakan oleh ahli ijtihad yang didasarkan pada pemahaman yang diakui terhadap sejumlah nash dan atsar, kemudian mengambil satu hadits sektoral yang boleh jadi sudah di-nasakh, atau diberi batasan oleh hadits lain, atau ditakwil, dan sebagainya? Juga ditegaskan bahwa ini bukan urusan orang awam, melainkan urusan orang yang sudah mencapai tingkatan ijtihad.

Sepanjang masalah dalam konteks ini tidak sampai melahirkan sikap fanatis dan tidak mendatangkan sengketa dan rusaknya hubungan, maka ia adalah masalah ijtihadiyah.



[94] Al Ghazali, Al Mustashfa. 2/362-364

[95]  Ibid.

[96]  An Nawawi, Sharah Shahih Muslim. 2/23

[97] Majmu Al Fatawa. 19/213

[98]  Ibid.  19/26

[99]  Majmu Al Fatawa. 20/212

[100]  Ibid. 20/222

[101]  Ibid. 20/208-209

[102]  I’lam Al Muwaqi’in. 2/208

[103]  Dinukil ari kitab Al Fiqh Al Islamiy, oleh Syaikh Al Azhar, h. 167-168

[104]  Jami’ Bayan Al ‘Ilm wa Fadhlih. 2/117

[106]  Al Ijtihad oleh As Suyuti, 102.

[107]  Ibid. 20/15-16

[108]  Ibid. 20/18