Najis Hewan

Dalam bagian ini kita akan membahas najisnya hewan-hewan. Pertama akan kita bahas terlebih dahulu tentang hukum kenajisan hewan yang masih hidup. Berikutnya kita baru bicara tentang hewan mati atau bangkai.

A. Babi

Al-Hanafiyah Asy-Syafi’iyah dan Al Hanabilah sepakat mengatakan bahwa babi yang masih hidup itu najis pada keseluruhan tubuhnya, termasuk juga bagian yang terlepas darinya seperti bulu, keringat, ludah dan kotorannya.

Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (QS  Al An’am: 145)

Kalau babi hidup dianggap najis, apalagi babi yang mati menjadi bangkai. Bahkan meskipun seekor babi disembelih dengan cara yang syar’i, namun dagingnya tetap haram dimakan, karena daging itu najis hukumnya.

Meskipun nash dalam Al Quran Al Kariem selalu menyebut keharaman daging babi namun kenajisannya bukan terbatas pada dagingnya saja namun termasuk juga darah tulang lemak kotoran dan semua bagian dari tubuhnya.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai darah daging babi dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS  Al Baqarah: 173)

Namun pandangan mazhab Al Malikiyah agak sedikit berbeda. Mereka menganggap ‘ain tubuh babi itu tidak najis lantaran mereka berpegang pada prinsip bahwa hukum asal semua hewan itu suci. [1]Begitu juga dengan ludahnya dalam pandangan mereka bukan najis.[2]

1. Hakikat Kenajisan Babi

Najisnya babi bersifat ketetapan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baik lewat Al Quran maupun lewat sabda Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka tidak ada ‘illat apapun dari kenajisannya atau pun dari keharaman memakannya, kecuali semata-mata ketetapan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.  Maksudnya, babi itu dianggap najis bukan karena alasan-alasan ilmiyah, seperti anggapan bahwa babi itu hewan yang kotor, mengandung banyak kuman penyakit, atau cacing pita, virus tertentu dan sebagainya. Semua itu memang mungkin saja benar, namun kenapa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan sebagai hewan yang najis, tentu alasannya tidak kaitannya dengan hal-hal semacam itu.

Dan di dunia ini tidak sedikit orang yang memakan babi setiap hari sepanjang hidupnya. Orang-orang di China terbiasa makan babi, sebagaimana orang-orang di Bali pemeluk agama Hindu juga terbiasa memakannya. Kalau seandainya makan babi itu berbahaya dan merusak kesehatan, maka seharusnya makan babi dilarang oleh sekian banyak pemerintahan dunia. Setidaknya seperti kewajiban yang dibebankan kepada penguasaha rokok untuk memasang peringatan atas bahaya rokok di setiap bungkus kemasannya.

Namun berjuta manusia di dunia ini setiap hari aktif mengkonsumsi babi sebagai makan kesukaan. Dan negerinegeri yang penduduknya banyak makan babi ternyata bukan negeri yang banyak orang sakitnya.

Maka alasan mengharamkan babi karena hewan itu kotor dan mengandung penyakit, tentu bukan alasan yang bersifat syar’i. Hakikat najis dan haramnya babi yang sebenarnya adalah semata-mata alasan syariah saja, yaitu karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai tuhan telah menetapkan bahwa babi itu najis dan haram dimakan.

Alasan bahwa babi itu hewan yang najis juga bukankarena faktor perasaan atau pemikiran filosofis bahwa babi itu hewan yang menjijikkan, karena suka memakan kotorannya sendiri. Bahwa babi itu banyak membuat orangorang merasa jijik, tidak perlu diperdebatkan karena memang umumnya babi punya kehidupan seperti itu.

Tapi apabila ada orang yang memelihara babi secara bersih, sehat, setiap pagi dan petang dimandikan pakai sabun dan shampo, sehingga bulu-bulunya menjadi putih dan wangi harum semerbak, makanannya pun hanya dari makanan kaleng yang higyenis dan bermutu, apakah saat itu babi itu menjadi suci dan halal dimakan?

Jawabannya tentu tidak. Sebab prinsipnya sekali babi tetap babi, selama-lamanya akan terus menjadi babi. Dan hukumnya sesuai dengan ketentuan dari Allah, bahwa babi itu, secantik dan selucu apapun, tetap saja hewan yang najis dan haram dimakan.

2. Kulit Babi

Para ulama sepakat bahwa hukum kulit babi yang mati tetap najis meski pun sudah mengalami penyamakan.  Sementara hewan-hewan lain yang mati menjadi bangkai apabila kulitnya disamak hukumnya menjadi suci kembali. Dan mazhab Al Malikiyah yang tidak menganggap babi yang hidup itu najis ketika bicara tentang kulit babi yang sudah mati mereka mengatakan hukumnya tetap najis.[3]

Satu-satunya pendapat yang mengatakan bahwa kulit babi itu tidak najis bila telah disamak adalah sebuah riwayat dari Abu Yusuf.[4]

2. Berubahnya Wujud ‘Ain Babi

‘Ain suatu benda maksudnya adalah wujud fisik hakikat dan dzat benda itu. ‘Ain suatu benda bisa berubah wujuddengan proses tertentu. Misalnya minyak bumi yang kita pakai untuk bahan bakar menurut pada ahli dahulu berasal dari hewan atau tumbuhan yang hidup jutaan tahun yang lalu. Disini terjadi perubahan ‘ain dari hewan menjadi ‘ain minyak bumi.

Proses perubahan ‘ain suatu benda menjadi ‘ain yang lain disebut ( استحالة ) istihalah.

Al Hanafiyah dan Al Malikiyah mengatakan bahwa benda yang najis apabila telah mengalami perubahan ‘ain dengan istihalah maka pada hakikatnya benda itu sudah berubah wujud sehingga hukumnya sudah bukan lagi seperti semua tetapi berubah menjadi suci.

Jadi bila kita ikuti logika pandangan kedua mazhab itu apabila babi sudah berubah menjadi benda lain misalnya menjadi tanah garam fosil batu atau benda lainnya yang sama sekali tidak lagi dikenali sebagai babi maka hukumnya tidak najis.

Dengan logika ini, insulin dan benda-benda kedokteran yang disinyalir berasal dari ekstrak babi secara nalar telah mengalami perubahan ‘ain lewat proses istihalah. Sehingga hukumnya tidak lagi najis.

Namun dalam pandangan mazhab Asy Syafi’iyah dan Al Hanabilah meski pun benda najis sudah berubah ‘ain-nya dan beristihalah menjadi ‘ain yang lain tetap saja hukum najis terbawa serta. Dengan pengecualian dua kasus saja yaitu penyamakan kulit bangkai dan berubahnya khamar menjadi cuka. Selebihnya semua perubahan ‘ain tidak berpengaruh pada perubahan hukum termasuk babi yang diekstrak menjadi insulin dan sebagainya.

3. Nilai Harta dan Kepemilikan Babi

Lantaran babi dikategorikan benda najis secara ‘ain maka hukumnya berpengaruh kepada hukum kepemilikan dan nilai jualnya.

Para ulama mengatakan bahwa babi itu tidak sah untuk dimiliki karena kenajisannya. Dan berarti juga tidak sah untuk diperjual-belikan. Dalilnya adalah hadits berikut ini:

“Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata pada hari fathu Mekkah”Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamar bangkai babi dan berhala.” Seseorang bertanya”Ya Rasulallah bagaimana hukumnya dengan minyak (gajih) bangkai? minyak itu berguna untuk mengecat (merapatkan) lambung kapal juga untuk mengeringkan kulit dan digunakan orang buat bahan bakar lampu.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab”Tidak tetap haram hukumnya.” Kemudian beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meneruskan”Semoga Allah memerangi Yahudi ketika diharamkan atas mereka malah mereka perjual-belikan dan makan keuntungan jual-beli itu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama sepakat dengan diharamkannya kepemilikan dan jual-beli seorang muslim atas babi maka apabila ada seorang muslim yang mencuri babi milik orang lain yang muslim atau menghilangkannya tidak perlu menggantinya dan juga dipotong tangan meski tetap berdosa.[5]

Namun bila babi itu milik selain muslim maka hukumnya wajib mengganti atau mengembalikannya sebagaimana pendapat Al Hanafiyah dan Al Malikiyah.

B. Anjing

Para ulama mengatakan bahwa seluruh tubuh anjing merupakan hewan najis berat (mughallazhah). Namun ada juga pendapat sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa najis anjing itu hanya air liurnya dan mulutnya saja.

1. Mazhab Al Hanafiyah

Dalam mazhab Al Hanafiyah[6] yang najis dari anjing hanyalah air liur mulut dan kotorannya saja. Sedangkan tubuh dan bagian lainnya tidak dianggap najis. Kedudukan anjing sebagaimana hewan yang lainnya bahkan umumnya anjing bermanfaat banyak buat manusia. Misalnya sebagai hewan penjaga atau pun hewan untuk berburu.

Mengapa demikian?

Sebab dalam hadits tentang najisnya anjing yang ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya saja (termasuk kotorannya) yang dianggap najis.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bila anjing minum dari wadah air milikmu harus dicuci tujuh kali.(HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.” (HR. Muslim dan Ahmad)

2. Mazhab Al Malikiyah

Mazhab ini juga mengatakan bahwa badan anjing itu tidak  najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.[7]

3. Mazhab As Syafi’iyah dan Al Hanabilah[8]

Kedua mazhab ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat termasuk keringatnya. Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga baik kencing kotoran dan juga keringatnya.

Pendapat tentang najisnya seluruh tubuh anjing ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya:

Bahwa Rasululah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainnya kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua beliau bersabda, “Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis.” (HR. Al Hakim dan Ad-Daruquthuny).

Dari hadits ini bisa dipahami bahwa kucing itu tidak najis sedangkan anjing itu najis.

C. Hewan Buas

Hewan buas dalam bahasa Arab disebut dengan siba‘ ( السباع ). Kita menemukan beberapa hadits yang shahih tentang hewan buas ini antara lain:

Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwabeliau bersabda”Semua hewan yang punya taring dari hewan buas maka haram hukumnya untuk dimakan.” Dan ditambahkan: “Semua yang punya cakar dari unggas.” (HR.Muslim)

Keharaman memakan hewan yang bertaring dan cakar maksudnya adalah hewan yang memakan makanannya dengan cara membunuh mangsanya dengan taring atau cakarnya. Bukan sekedar hewan itu punya gigi taring atau kuku. Sapi dan kambing juga punya gigi taring dan kuku sebagaimana ayam dan burung dara juga punya kuku yang tidak disebut cakar dari ceker.

Namun meski pun demikian kalau kita lihat catatan para ulama mazhab ternyata tetap ada perbedaan pandangan disana sini yang menandakan mereka belum bulat menyepakati kenajisannya.

Al Hanafiyah mengatakan bahwa semua hewan buas hukumnya najis seperti singa macam srigala harimau kera termasuk juga burung buas yang memakan bangkai seperti elang ( صقر ) falcon ( شاھن ) dan lainnya.[9]

Al Malikiyah mengatakan bahwa meski pun haram dimakan namun bukan berarti najis. Karena pada dasarnya semua hewan yang hidup itu pada dasarnya tidak najis.[10]

As Syafi’iyah juga sepedapat bahwa meski haram memakannya namun mereka mengatakan bahwa semua hewan hidup itu hukumnya tidak najis kecuali anjing dan babi. Termasuk najis adalah hewan yang lahir dari perkawinan anjing atau dari perkawinan babi atau dari perkawinan kedua.[11]

D. Bangkai

Al Jashshash di dalam kitab tafsirnya, Ahkamul-Quran menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bangkai (میتة ) adalah: الحیوان المیت غیر المذكى hewan yang matinya tidak disembelih dengan cara disembelih.[12]

Hewan yang menjadi bangkai hukumnya najis, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Quran Al Kariem tentang hukum bangkai.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai darah daging babi dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS  Al Baqarah: 173)

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).”(QS  Al An’am: 145)

Keempat mazhab yaitu Al Hanafiyah, Al Malikiyah, Asy Syafi’iyah dan Al Hanabilah telah sampai kepada level ijma’ bahwa bangkai itu selain haram dimakan juga merupakan benda yang berstatus najasatul ‘ain ( نجاسة العین ). Maksudnya dari sisi dzat-nya bangkai itu memang benda najis.[13]

Ada dua macam kematian bangkai. Pertama bangkai itu mati oleh sebab tindakan manusia. Dalam hal ini yang cara penyembelihannya tidak sesuai dengan syariah Islam. Kedua mati bukan karena tindakan manusia seperti terbunuh mati karena tua atau dimangsa hewan lain dan seterusnya.

1. Disembelih Untuk Selain Allah

Di dalam Al Quran disebutkan bahwa yang termasuk bangkai adalah hewan yang disembelih untuk selain Allah atau juga untuk berhala.

(Diharamkan bagimu) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS  Al Maidah 3)

(Diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala (QS  Al  Maidah 3)

Meski pun ayam itu halal tetapi jika saat disembelihnya ditujukan untuk selain Allah maka ayam itu hukumnya adalah bangkai. Termasuk bila disembelih untuk dijadikan sesaji kepada roh-roh tertentu atau untuk jin dan makhluk halus lainnya.

Daging hewan yang dijadikan persembahan untuk dewa atau untuk penunggu laut kidul termasuk dalam bab ini dan haram dimakan.

2. Disembelih Tidak Syar’i

Hewan yang disembelih dengan jalan dipukuli, dibanting, diracun, dicekik, dijerat, atau ditabrak kendaraan hingga tergilas mati adalah bangkai.

Penyembelihan yang syar’i adalah dengan cara pemutusan aliran darah di leher baik dengan cara dzabh (sembelih) atau pun nahr (ditusuk dengan tombak).

Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Dan lakukan shalat untuk tuhanmu dan lakukanlah an-nahr (penyembelihan). (QS Al Kautsar: 2)

Termasuk dalam kategori penyembelihan yang syar’i adalah berburu hewan. Bila hewan itu mati karena diburu oleh muslim atau ahli kitab, meski dengan tombak, anak panah, peluru atau sesuatu yang melukai badannya, hukumnya bukan termasuk bangkai.

Karena berburu adalah salah satu cara penyembelihan yang syar’i, meski bukan dengan lazimnya cara penyembelihan. Bahkan di dalam Al Quran dijelaskan tentang kebolehan berburu dengan menggunakan hewan pemburu yang sudah pasti termasuk hewan buas.

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?.” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baikbaik dan oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu. Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.(QS  Al Maidah: 4)

3. Disembelih Kafir Non Kitabi

Hewan yang disembelih oleh orang yang bukan muslim hukumnya adalah bangkai. Penyembelihan yang syar’i mensyaratkan penyembelihnya harus muslim atau setidaknya berstatus ahli kitab. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Sembelihan ahli kitab itu halal untukmu dan sembelihanmu halal untuk mereka. (QS  Al Maidah: 5)

Sedangkan bacaan basmalah hanya sunnah bukan merupakan syarat atau kewajiban sebagaimana dikemukakan oleh mazhab Asy Syafi’iyah.

4. Mati Tanpa Disembelih

Yang termasuk bangkai adalah hewan yang matinya tidak disembelih tetapi mati terbunuh. Ada yang mati karena tercekik, terpukul, terjatuh dari tempat tinggi, ditanduk hewan lain atau diterkam binatang buas. Termasuk di dalamnya juga hewan yang dibiarkan mati karena serangan wabah penyakit tertentu.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Yang tercekik yang terpukul yang jatuh yang ditanduk dan diterkam binatang buas (QS  Al Maidah: 3)

Namun bila sebelum mati hewan itu sempat disembelih secara syar’i, hukumnya bukan bangkai, karena secara sah mati akibat penyembelihan.

Kecuali yang sempat kamu sembelih.” (QS  Al Maidah: 3)

Termasuk hewan yang mati tanpa disembelih adalah hewan-hewan yang matinya sebagaimana disebutkan di dalam ayat ini.

a. Mati tercekik

Qatadah mengatakan bahwa orang-orang jahiliyah di masa lalu kalau mau memakan hewan tidak disembelih, mereka mencekiknya dengan tali atau dengan alat lain, sehingga ketika sudah tidak bernyawa lagi, mereka pun memakan hewan itu.[14]

Secara teknis, hewan yang matinya tidak dengan cara dikeluarkan darah dari seluruh tubuh, akan banyak mengandung penyakit, akibat darah yang bergumpal dan berkumpul di sekujur tubuh.

Hewan yang matinya tercekik, baik karena sebab orang lain sebagai pelakunya atau tercekik sendiri, hukumnya bangkai yang haram dimakan.

b. Mati karena terpukul

Yang dimaksud dengan hewan yang mati terpukul ini bisa dengan tongkat, palu, benda-benda berat atau pun terpukul dengan lemparan batu. Dan kalau hewan mati karena hal-hal itu, hewan itu menjadi bangkai yang hukumnya haram dimakan.

Dalam ketentuan berburu hewan, alat yang digunakan untuk membidik hewan buruan disyaratkan benda yang punya ujung yang tajam dan bisa menyayat atau menembus kulit dan mengeluarkan darah.

Sedangkan bila alat yang digunakan sifatnya tidak menembus tubuh seperti batu, bola besi, cakram, palu, martil, atau kunci inggris, maka hewan itu mati sebagai bangkai.

Dalam hal ini Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:

“Kalau kamu membidik hewan itu dengan ujung anak panah hingga tersayat kulitnya, makanlah hewan itu. Tapi kalau hewan itu mati terkena bagian yang tumpul, jangan dimakan.” (HR. Muslim)

Kalau kita menyembelih seekor angsa yang meski telah terputus lehernya masih saja berjalan kesana-kemari, lantas angsa itu dipukul pakai tongkat atau digetok kepalanya  pakai batu hingga mati, maka angsa itu mati sebagai bangkai yang hukumnya haram dimakan. Sebab kematiannya bukan karena disembelih, tetapi karean dipukul.

c. Mati karena jatuh

Hewan yang jatuh dari ketinggian, entah dari atas jurang atau jatuh ke dalam sumur, lalu mati, maka hewan itu menjadi bangkai. Hukumnya haram dimakan.

“Bila kamu menembakkan anak panahmu maka ucapkanlah nama Allah. Bila kamu dapati hewan mati, makanlah. Tetapi kalau kamu dapati dia mati di air, jangan dimakan. Karena karena kamu tidak tahu apakah hewan itu mati karena jatuh di air atau karena anak panahmu. (HR. Muslim)

d. Mati karena ditanduk

Contoh hewan yang mati tertanduk oleh hewan lain adalah hewan aduan, seperti domba dan ayam. Di pentas-pentas adu domba seringkali domba mati berdarah-darah karena ditanduk lawannya. Kalau tidak sempat disembelih, maka domba itu mati dalam keadaan sebagai bangkai yang haram dimakan dagingnya.

Demikian juga di arena sabung ayam, seringkali ayam aduan itu mati diserang oleh lawannya hingga berdarahdarah.

Kalau tidak segera disembelih, maka ayam itu mati sebagai bangkai dan dagingnya haram dimakan. Kadang-kadang kematian seekor sapi yang berada di tengah kawanannya bisa terjadi lantaran terkena tanduk sesamanya tanpa sengaja.

Tetapi semua akan menjadi halal manakala sempat disembelih, sehingga meski terluka dan lemah, asalkan detikdetik kematiannya semata karena disembelih, hukumnya halal.

e. Mati karena diterkam

Kalau pada point di atas, kita bicara tentang hewan yang mati karena terbunuh oleh sesama, maka pada point ini kita bicara tentang hewan yang mati karena memang diterkam oleh hewan lain yang punya kemampuan berburu dan merupakan hewan buas.

Al Quran menyebutkan hewan buas itu dengan istilah sabu’. Yang termasuk di dalamnya adalah singa,macam, harimau, srigala, beruang, anjing liar, musang, elang pemangsa, buaya dan lainnya. Para ulama umumnya menyebutkan dua kriteria, yaitu punya taring dan cakar yang digunakan untuk menerkam, mematikan dan mengoyak buruannya.

Hewan ternak kadang-kadang menjadi sasaran terkaman hewan buas, khususnya ketika hutan sebagai habitatnya sudah mulai sempit dan tidak mampu memberi makanan yang cukup. Seringkali hewan buas turun gunung keluar dari hutan untuk mencuri ternak penduduk.

Tetapi tidak termasuk ke dalam point ini adalah hewan buas yang digunakan untuk berburu. Apabila hewan itu mengerjar buruannya hingga mati, hukumnya tetap halal, selama buruan itu tidak disantapnya. Cengkraman kuku atau taringnya hanya digunakan sekedar mematikan, tetapi hewan pemburu itu tidak memakannya, maka hewan buruan itu halal hukumnya.

f. Mati disembelih untuk berhala

Meski cara menyembelih hewan itu sudah memenuhi aturan syariah, baik teknisnya atau pun agama orang yang menyembelihnya, tetapi kalau penyembelihan itu diniatkan untuk dijadikan persembahan kepada selain Allah, maka hukumnya tetap haram. Hewan itu tetap kita namakan bangkai.

Contoh yang paling sering kita lihat adalah sesajen buat para roh, dedemit, dan beragam makhluk halus lain. Termasuk juga acara melarung sesembahan ke laut kidul, yang masih saja terjadi di negeri kita.

Kalau ada anak kesurupan setan, lalu setannya bilang mau pergi asalkan disembelihkan ayam, maka ayam itu bangkai, karena ketika disembelih niatnya untuk dipersembahkan kepada setan. Lain halnya kalau setan itu minta ayam goreng kremes yang sudah siap santap, tanpa mengharuskan ada ritual penyembelihannya, hukumnya boleh dimakan.

5. Potongan Tubuh Hewan Yang Masih Hidup

Anggota tubuh hewan yang terlepas atau terpotong dari tubuhnya termasuk benda najis. Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Segala potongan dari tubuh hewan yang masih hidup termasuk bangkai.” (HR. Abu Daud dan At Timidzy)

Karena disebut sebagai bangkai, maka para ulama mengatakan bahwa hukumnya najis. Namun kalau lebih didetailkan lagi, ternyata tidak semua bagian tubuh yang terlepas atau terpotong dari tubuh hewan itu dianggap bangkai yang najis.

Al Hanafiyah mengatakan bahwa bagian tubuh dimana hewan itu tidak merasakan sakit kalau terlepas atau terpotong dari tubuhnya, bukan termasuk bangkai yang najis. Misalnya bulu, rambut, kuku, tanduk, gading, atau air susu yang diperas, semua bisa terlepas dari badannya dan hewan itu tidak merasakan sakit.[15]

Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan yang tidak najis dari potongan hewan yang masih hidup hanya terbatas pada bulu dan sejenisnya saja. Hal itu karena bulu hewan dan sejenisnya itu memang dianggap salah satu bentuk produktifitas dari hewan itu yang dibenarkan untuk diambil dari hewan dalam keadaan hidup.[16]

“Dan dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing boleh kamu jadikan alat-alat rumah tangga dan perhiasan sampai waktu. (QS  An-Nahl: 80)

Bahkan pendapat mazhab Al Hanabilah lebih ekstrim lagi. Mereka mengatakan bagian akar dari bulu-bulu hewan bila dicukur hukumnya najis. Karena akar dari bulu-bulu itu masih merupakan bagian dari tubuh hewan.[17]

6. Bangkai Yang Tidak Najis

Ada beberapa jenis hewan sesungguhnya termasuk bangkai, tetapi ditetapkan oleh syariat bahwa hukumnya tidak dianggap najis. Ketidak-najisannya memang disebutkan langsung di dalam teks-teks syariah yang kuat sehingga menjadi pengecualian hukum.

a. Lalat dan Nyamuk

Hewan yang tidak punya nafas seperti nyamuk, lalat, serangga dan sejenisnya tidak termasuk bangkai yang najis. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah lalat yang jatuh tercebur masuk ke dalam minuman dimana ada isyarat bahwa lalat itu tidak mengakibatkan minuman itu menjadi najis:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda. “Bila ada lalat jatuh ke dalam minumanmu maka tenggelamkanlah kemudian angkat. Karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan salah satunya kesembuhan. (HR. Bukhari)

Meski hadits ini hanya menyebut lalat, namun para ulama mengambil kesimpulan hewan lain yang punya kesamaan ‘illat dengan lalat mendapat hukum yang sama.

‘Illat yang ada pada lalat itu adalah tidak punya darah, maka hewan lain yang keadaannya mirip dengan lalat yaitu tidak berdarah, juga punya hukum yang sama yaitu tidak dianggap najis. Kalau mati tidak dianggap sebagai bangkai yang najis.

b. Bangkai Hewan Laut

Semua hewan laut pada dasarnya halal dimakan oleh karena itu para ulama juga mengatakan bahwa hewan-hewan itu tidak merupakan hewan yang najis baik dalam keadaan hidup atau mati.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam’Ya Rasulullah kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu

Majah, An Nasai)[18]

c. Hewan Dua Alam (Barma’i)

Istilah hewan dua alam maksudnya mengacu kepada jenis hewan yang bisa hidup di air dan di darat. Dalam hal ini hewan laut yang dapat bertahan lama hidup di darat, begitu juga sebaliknya hewan darat yang dapat bertahan lama hidup di air.

Istilah yang sering digunakan untuk hewan yang seperti ini adalah barma’i ( برمئي ) yang merupakan gabungan dari dua kata barr ( برّ ) darat dan maa’ ( ماء ) air.

Dari sisi hukum, sesungguhnya para fuqaha’ tidak sepakat, apakah hukumnya halal atau tidak halal.

Al Hanafiyah mengatakan hewan yang asalnya di laut atau air, apabila dapat hidup sementara waktu ke daratan dalam waktu yang lama dan mati di darat, hukumnya tetap suci dan tidak najis. Bahkan meski pun misalnya hewan itu mati di dalam cairan seperti susu atau cuka, maka dalam hal ini murid Abu Hanifah yaitu Muhammad mengatakan bahwa cuka dan susu itu hukumnya tetap tidak najis, lantaran hewan itu tidak najis. Kecuali bila hewan itu punya darah yang mengalir keluar dan merusak cairan itu barulah dianggap najis.[19]

Al-Malikiyah mengatakan bahwa hukum hewan laut yang bisa lama hidup di darat sama dengan hewan laut. Dalam hal ini mereka mencontohkan kodok laut dan penyu laut. Keduanya boleh dibilang sebagai hewan laut yang bisa lama bertahan di darat. Keduanya tetap dikatakan sebagai hewan laut dan kemampuannya bisa bertahan hidup lama di darat tidak mengeluarkannya sebagai hewan laut. Sehingga hukum-hukum yang berlaku bagi hewan itu sama persis dengan hukum hewan laut 100%.[20]

Asy Syafi’iyah mengatakan bahwa hewan yang hidup di air dan di darat seperti bebek dan angsa hukumnya halal, dimakan tapi bangkainya tetap tidak halal.

Sedangkan kodok dan kepiting dalam pandangan masyhur mazhab ini termasuk yang haram dimakan. Demikian juga bila hewan itu berbisa (racun). Termasuk ke dalam yang diharamkan adalah buaya dan kura-kura.[21]

Al Hanabilah mengatakan bahwa hewan laut yang bisa bertahan hidup lama di darat seperti kodok dan buaya bila mati maka termasuk bangkai yang hukumnya najis.

Dan karena tubuh bangkai itu najis maka bila mati di air yang sedikit otomatis air yang sedikit itu juga ikut tercemar dengan kenajisannya. Dan bila air itu banyak sekali serta tidak tercemar dengan bangkai itu maka air itu tidak dianggap terkena najis.[22]



[1] Asy Syahush Shaghir jilid 1 halaman 43

[2] Al Kharsyi jilid 1 halaman 119

[3] Al Majmu’ jilid 1 halaman 217

[4] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah jilid 20 halaman 34

[5] Al Bahrur Raiq jilid 5 halaman 55

[6] Lihat kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 64, kitab Al Badai’ jilid 1 halaman 63

[7] Asy Syarhul Kabir jilid 1 halaman 83 dan As Syarhus Shaghir jilid 1 halaman 43.

[8] Mughni Al Muhtaj jilid 1 halaman 78, kitab Kasysyaaf Al Qanna’ jilid 1 halaman 208 dan kitab Al Mughni jilid 1 halaman 52.

[9] Fathul Qadir jilid 1 halaman 74-76

[10] Al Qawanin Al Fiqhiyah halaman 27

[11] Raudhatut-Thalibin jilid 1 halaman 13

[12] Ahkamul Quran lil Al Jashshash 1 halaman 132

[13] Tafsir Al Fakhrurrazi jilid 5 halaman 19

[14] Al Jami’ li Ahkamil Quran oleh Al Imam Al Qurthubi, jilid 4 halaman 102

[15] Hasyiyatu Ibnu Abidin 1 137-138

[16] Al Iqna’ li Asy Syarbini Al Khatib jilid 1 halaman 30

[17] Kasysyaf Al Qina’ jilid 1 halaman 56

[18] At Tirmidzy mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih

[19] Fathul Qadir jilid 1 halaman 57

[20] Asy Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 45

[21] Raudhatut Thalibin jilid 3 halaman 275

[22] Al Mughni libni Qudamah jilid 1 halaman 40