Dalam kenyataan sehari-hari, kita menemukan banyak sekali benda yang oleh para ulama diperselisihkan kenajisannya oleh para ulama. Misalnya bangkai hewan air, hewan tidak punya darah, potongan tubuh hewan, kulit bangkai, air kencing bayi, air kencing dan susu hewan yang halal dagingnya, air mani (sperma), mayat manusia, air liur orang tidur, dan seterusnya.
Dalam kesempatan ini Penulis membatasi pada khamar, mani dan batasan najis-najis yang dimaafkan.
A. Khamar
Semua ulama sepakat mengatakan bahwa khamar itu haram diminum, karena telah diharamkan oleh Al Quran, As Sunnah dan ijmah para ulama.
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah,”Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (QS Al Baqarah: 219)
Namun para ulama berbeda pendapat ketika bicara tentang apakah khamar itu hukumnya najis atau tidak.
1. Jumhur: Najis
Jumhur ulama mengatakan bahwa khamar itu hukumnya najis, sebagaimana najisnya darah, nanah, air kencing dan lainnya. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menyebutkan bahwa khamar itu sebagai rijs ( رجس ) yang bermakna secara harfiyah sebagai najis.”
Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar berjudi berhala mengundi nasib dengan panah adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS Al Maidah: 90)
Selain dasar untuk menetapkan kenajisan khamar adalah hadits nabawi yang jelas-jelas menyebutkan bahwa khamar ini itu najis.
Dari Abi Tsa’labah radhiyallahuanhu,“Kami bertetangga dengan ahli kitab. Mereka memasak babi dalam panci mereka dan minum khamar dalam wadah mereka. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika kalian punya yang selain dari milik mereka, makan dan minum bukan dari panci dan bejana mereka. Tapi jika tidak ada lainnya, cucilah dengan air, baru boleh dimakan dan diminum.” (HR. Ad-Daruquthuni).
Hadits memerintahkan kita untuk mencuci wadah tempat minum mereka yang kita gunakan, karena di dalam wadah itu seringkali diisi dengan khamar. Perintah untuk mencucinya menunjukkan bahwa khamar itu najis.
2. Tidak Najis
Namun ada sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa khamar bukan termasuk najis, di antaranya adalah Asy Syaukani, Ash-Shan’ani dan juga Rabi’ah guru Imam Malik.[1]
Sedangkan istilah najis yang ada dalam ayat Al Quran Al Kariem tentang khamar bukanlah bermakna najis hakiki melainkan najis secara maknawi.
B. Alkohol
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah Alkohol itu khamar atau bukan. Sebagian mengatakan Alkohol adalah khamar, sehingga semua hukum khamar juga berlaku pada Alkohol. Namun kebanyakan ulama tidak menganggapnya sebagai khamar, sehingga hukum Alkohol berbeda dengan hukum khamar.
1. Alkohol Adalah Khamar
Mereka yang mengatakan bahwa Alkohol adalah khamar menyandarkan pendapat mereka atas dasar bahwa minuman yang asalnya halal, akan menjadi khamar begitu tercampur Alkohol. Padahal sebelum dicampur Alkohol, makanan atau minuman itu tidak memabukkan, dan hukumnya tidak haram.
Maka karena keharaman itu datangnya setelah ada pencampuran dengan Alkohol, maka justru titik keharamannya terletak pada Alkohol itu sendiri.
Oleh karena itu menurut pendapat ini, titik keharaman khamar justru terletak pada keberadaan Alkoholnya. Sehingga Alkohol itulah sesungguhnya yang menjadi intisari dari khamar. Atau dalam bahasa lain, Alkohol adalah biangnya khamar.
Maka menurut pendapat ini, semua hukum yang berlaku pada khamar, otomatis juga berlaku pada Alkohol, bahkan lebih utama. Misalnya dalam urusan najis, karena jumhur ulama menajiskan khamar, maka otomatis Alkohol pun merupakan benda najis, bahkan biang najis.
Ketika para ulama mengatakan bahwa wudhu’ menjadi batal karena terkena najis, maka orang yang memakai parfum beralkohol pun dianggap terkena najis, sehingga wudhu’nya dianggap batal.
Di antara mereka yang berpendapat bahwa Alkohol adalah khamar dan najis adalah Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, MA, yang menjelaskan dalam disertasinya.[2]
2. Alkohol Bukan Khamar
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa Alkkohol bukan termasuk khamar, juga punya argumentasi yang sulit dibantah. Di antaranya:
a. Alkohol Terdapat Secara Alami Dalam Makanan
Alkohol itu terdapat pada banyak buah-buahan secara alami. Prof. Made Astawan, ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan bahwa setiap buah dan sayuran mengandung ethanol (salah satu unsur alkohol). Unsur ini akan semakin dominan bila buah dan sayur mengalami pembusukan (fermentasi).
Dr. Handrawan Naedesul, redaktur ahli Tabloid SENIOR, mengatakan bahwa setiap buah diindikasikan memiliki kandungan alkohol. Contoh yang jelas adalah nangka dan durian, kadar alkohol buah tersebut di bawah lima persen.
Anggur segar diperkirakan mengandung Alkohol kirakira 0,52 mg/Kg.
Kalau Alkohol itu khamar, lalu bagaimana dengan semua makanan sehat dan halal di atas? Kita tidak pernah mendengar ada fatwa ulama dimana pun yang mengharamkan semua makanan di atas, hanya semata-mata karena dianggap mengandung Alkohol.
Dan alasan dimaafkan tentu bukan alasan yang tepat, sebab kalau memang Alkohol itu khamar, tentunya banyak atau sedikit seharusnya tetap dianggap haram.
b. Alkohol Tidak Dikonsumsi
Di antara argumentasi bahwa Alkohol bukan khamar adalah pada kenyataannya, Alkohol tidak pernah dikonsumsi oleh manusia secara langsung. Dengan kata lain, pada dasarnya Alkohol itu memang bukan minuman yang lazim dikonsumsi, dan orang tidak mejadikan Alkohol murni sebagai minuman untuk bermabuk-mabukan.
Orang yang minum Alkohol murni, atau setidaknya yang kandungannya 70% sepeti yang banyak dijual di apotek, dia tidak akan mengalami mabuk, tetapi langsung meninggal dunia.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa Alkohol bukan khamar, sebab pengertian khamar adalah makanan atau minuman yang kalau dikonsumsi tidak akan langsung membuat peminumnya meninggal dunia, melainkan akan membuat pelakunya mengalami mabuk.
Sedangkan Alkohol murni tidak membikin seseorang mabuk, tetapi langsung meninggal. Maka kesimpulannya, Alkohol bukan khamar melainkan racun. Sebagai racun, Alkohol memang haram dikonsumsi, karena memberi madharat atau membahayakan jiwa dan nyawa kita.
Pembahasan tentang makanan yang membahayakan adalah kriteria ketiga dalam ketentuan makanan haram.
c. Banyak Benda Memabukkan Tidak Ber-Alkohol
Pendapat bahwa Alkohol itu bukan khamar juga dikuatkan dengan kenyataan bahwa begitu banyak benda-benda yang memabukkan, atau termasuk ke dalam kategori khamar, tetapi justru tidak mengandung Alkohol.
Misalnya daun ganja yang dibakar dan asapnya dihirup ke paru-paru, sebagaimana yang dilakukan oleh para penghisap ganja. Asap itu mengakibatkan mereka mabuk dalam arti yang sebenarnya. Namun kalau diteliti lebih seksama, baik daun ganja maupun asapnya, tidak mengandung Alkohol.
Pil dan obat-obatan terlarang yang sering digunakan oleh para pemabuk untuk teler, rata-rata justru tidak mengandung kandungan Alkohol. Demikian juga dengan opium, shabu-shabu, ekstasy dan lainnya, rata-rata tidak beralkohol. Tetapi semua orang yang mengkonsumsinya dipastikan akan mabuk.
Artinya, Alkohol belum tentu khamar. Dan sebaliknya, khamar belum tentu mengandung Alkohol.
d. Asal Semua Benda Suci
Kalau kita perhatikan lebih saksama, tidak ada satu pun ayat Al Quran yang mengharamkan Alkohol. Bahkan kata alkohol itu tidak kita dapati dalam 6000-an lebih ayat Al Quran.
Kita juga idak menemukan satu pun hadis Nabawi yang mengharamkan Alkohol, padahal jumlah hadis Nabawi bisa mencapai jutaan. Yang disebutkan keharamannya di dalam kedua sumber agama itu hanyalah khamar.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS Al Maidah: 90)
Dan sesuai dengan makna bahasa pada masa itu, khamar adalah minuman hasil perasan anggur atau kurma yang telah mengalami fermentasi pada tingkat tertentu sehingga menimbulkan gejala iskar.
Lalu, bagaimana bisa kita mengharamkan ganja, mariyuana, opium, narkotika, dan yang lainnya sementara nama-nama tersebut juga tidak disebutkan dalam kitabullah dan sunah Rasul-Nya? Apakah benda-benda itu halal dikonsumsi?
Jawabnya tentu tidak. Alasannya, benda-benda tersebut punya kesamaan sifat dan ‘illat dengan khamar, yaitu memabukkan orang yang mengonsumsinya. Karena daya memabukkannya itulah benda-benda tersebut diharamkan dan juga disebut khamar.
Banyak jenis makanan dan minuman yang diduga mengandung khamar, antara lain bahan-bahan yang disinyalir memiliki kandungan alkohol. Meskipun demikian, bukan berarti semua bahan makanan yang mengandung alkohol secara otomatis dianggap khamar. Perlu diingat bahwa khamar tidak identik dengan alkohol sebagaimana alkohol juga tidak selalu menjadi khamar.
3. Apakah Alkohol Najis
[Di dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa alkohol adalah najis, dan pendapat yang kedua adalah tidak najis. Redaksi Hasanalbanna]
C. Air Mani
Para ulama memang berbeda pendapat tentang hukum najisnya air mani. Sebagian ulama mengatakannya najis dan sebagian lain mengatakan tidak najis.
1. Jumhur Ulama: Najis
Jumhur ulama seperti mazhab Al Hanafiyah, Al Malikiyah, dan Al Hanabilah mengatakan bahwa air mani itu hukumnya najis.[3]
Dasar bahwa air mani itu najis adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahuanha, dimana beliau mencuci bekas sisa air mani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah mengering di pakaian beliau.
“Aku mencuci bekas air mani pada pakaian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau keluar untuk shalat meski pun masih ada bekas pada bajunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu juga ada atsar dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, dimana beliau berfatwa:
“Kalau kamu melihat air mani maka cucilah bagian yang terkena saja, tetapi kalau tidak terlihat, cucilah baju itu seluruhnya.”
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu juga berpendapat bahwa air mani itu najis. Beliau mengatakan bahwa air mani itu sederajat dengan air kencing yang hukumnya najis.[4]
Al Malikiyah mengatakan bahwa air mani itu najis karena mereka mengatakan bahwa asal muasal air mani itu adalah darah yang juga najis. Lalu darah itu mengalami istihalah (perubahan wujud) sehingga menjadi mani, namun hukumnya tetap ikut asalnya, yaitu najis.[5]
2. Mazhab Asy Syafi’iyah: Tidak Najis
Sedangkan mazhab Asy Syafi’iyah mengatakan bahwa meski semua benda yang keluar dari kemaluan depan atau belakang itu najis, tetapi air mani dan turunannya adalah pengecualian.
Apa yang dikatakan itu bukan tanpa dasar, sebab kita menemukan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri yang mengatakan bahwa mani itu tidak najis.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang hukum air mani yang terkena pakaian. Beliau Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,”Air mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk mengelapnya dengan kain.” (HR. Al Baihaqi)
Dahak dan lendir bukan merupakan benda najis, meski pun menjijikkan buat sebagian orang. Dan karena air mani disetarakan dengan dahak dan lendir, maka otomatis kedudukan air mani bukan benda najis. Selain dalil di atas, mazhab Asy Syafi’iyah juga berdalil dengan hadits shahih berikut ini:
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa beliau mengerik bekas air mani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah kering dan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dengan mengenakan baju itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dilakukan oleh Aisyah bukan mencuci baju tetap mengerik bekas air mani yang telah kering. Tentu saja kalau hanya dikerik tidak akan membuat air mani itu hilang sepenuhnya.
Dan kalau sampai Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dengan mengenakan baju yang masih ada bekas maninya, hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya air mani itu tidak najis.[6]
D. Kotoran Hewan Yang Halal Dagingnya
Di negeri kita, umumnya para ulama sepakat bahwa air kencing dan kotoran hewan termasuk benda najis. Namun kalau kita telusuri lebih dalam, ternyata ada juga pendapat yang agak berbeda, dengan mengatakan bahwa ada jenis hewan yang air kencing dan kotorannya bukan termasuk najis, yaitu khusus hewan-hewan yang daging dan susunya halal dimakan.
1. Najis
Mazhab Asy Syafi’iyah dan Al Hanafiyah menegaskan bahwa semua benda yang keluar dari tubuh hewan lewat kemaluan depan atau belakang adalah benda najis. Tidak perduli apakah hewan itu halal dagingnya, atau kah hewan itu tidak halal.
Maka dalam pandangan kedua mazhab ini, air kencing dan kotoran hewan, hukumnya najis. Dasarnya kenajisan air kencing dan kotoran hewan adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta kepada Ibnu Mas’ud sebuah batu untuk istinja’, namun diberikan dua batu dan sebuah lagi yang terbuat dari kotoran (tahi). Maka beliau mengambil kedua batu itu dan membuang tahi dan berkata,”Yang ini najis.” (HR. Bukhari)
“Baju itu dicuci dari kotoran, kencing, muntah, darah, dan mani.” (HR. Al Baihaqi dan Ad-Daruquthny)[7]
Kalau pun ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat di dalam kandang kambing, dalam pendapat mereka bukan berarti beliau shalat di atas tumpukan najis, tetapi menggunakan alas, sehingga tetap tidak terkena najis.
Demikian juga ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkan seorang shahabat yang meminum air kencing unta sebagai pengobatan, dalam pandangan mereka hal itu terjadi karena darurat saja. Sebab minum air kencing unta itu bukan hal yang lazim dilakukan setiap hari. Sejorok-joroknya orang Arab atau penggembala unta, tidak ada yang mau minum air kencingnya, apalagi kotorannya.
2. Tidak Najis
Namun pendapat mazhab Al Hanabilah menyebutkan bahwa air kencing dan kotoran hewan yang halal dagingnya, atau halal air susunya, bukan termasuk benda najis. Misalnya kotoran ayam, dalam pandangan mazhab ini tidak najis, karena daging ayam itu halal. Demikian juga kotoran kambing, sapi, kerbau, rusa, kelinci, bebek, angsa dan semua hewan yang halal dagingnya, maka air kencing dan kotorannya tidak najis.
Pendapat mazhab ini buat perasaan bangsa Indonesia yang sejak kecil terdidik dengan tsaqafah fiqih Asy Syafi’iyah tentunya terasa sangat asing. Bahkan mereka yang mengaku tidak bermazhab Asy Syafi’iyah sekali pun, tetap saja memandang bahwa air kencing dan kotoran hewan, seluruhnya tanpa membeda-bedakan, adalah benda-benda najis.
Namun buat orang-orang yang terdidik dengan mazhab Al-Hanabilah, seperti mereka yang tinggal di Saudi Arabia, ketidak-najisan air kencing dan kotoran unta, kambing, sapi dan sejenisnya, dianggap biasa-biasa saja. Karena sejak kecil mereka diajarkan demikian.
Lalu apa dasar dan dalilnya, sehingga air kencing dan kotoran hewan-hewan itu dianggap tidak najis?
Mereka menyodorkan hadits-hadits, misalnya diriwayatkan bahwa dahulu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat di bekas kandang kambing.
“Dulu, sebelum dibangun Masjid Nabawi, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat di kandang kambing.” (HR. Bukhari Muslim)
Selain itu juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan seorang shahabatnya minum air kencing unta sebagai obat untuk penyembuhan.
“Beberapa orang dari kabilah ‘Ukel dan Urainah singgah di kota Madinah. Tidak berapa lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk mendatangi unta-unta milik Nabi yang digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu unta-unta tersebut. (HR. Bukhari Muslim)
E. Muntah
Muntah adalah makanan yang sempat masuk ke dalam lambung manusia lalu keluar lewat mulut. Meski dalam realitas kehidupan sehari-hari tidak ada orang yang secara sengaja memakan muntah, namun dalam banyak kasus terkadang ada orang yang dalam keadaan sakit dan hampir muntah, tetapi tidak keluar dan ditelan kembali.[8]
1. Muntah Najis
Tentang hukum kenajisan muntah, umumnya ulama mengatakan bahwa muntah itu hukumnya najis. Dasarnya adalah hadis di atas.
Di antara yang menyebutkan bahwa muntah itu najis adalah Asy Syafi’iyah dan Al Hanabilah. Dasarnya adalah bahwa muntah itu adalah makanan yang sudah masuk ke dalam lambung dan telah berubah menjadi rusak dan busuk. Al-Hanafiyah mengatakan bahwa muntah itu najis apabila memenuhi mulut. Tetapi jika sedikit dan tidak memenuhi mulut, hukumnya dimaafkan.[9]
Al-Malikiyah mengatakan bahwa muntah yang najis itu adalah makanan yang telah berubah di dalam perut dan sudah tidak lagi berbentuk makanan. Sedangkan jika wujudnya masih utuh dan belum berubah, hukumnya tidak najis.[10]
Jumhur ulama seperti Al Malikyah, Asy Syafi’iyah, dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa apa yang dimuntahkan oleh seseorang adalah sesuatu yang hukumnya najis. Dasarnya karena muntah adalah makanan yang telah berubah di dalam perut menjadi sesuatu yang kotor dan rusak.
Pendapat ini didukung pula oleh dalil yang lemah seperti hadis berikut.
Wahai Ammar, sesungguhnya pakaian itu dicuci oleh sebab salah satu dari 5 hal: kotoran, air kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Ad-Daruquthny)
Al-Hanafiyah bahkan mengatakan bahwa muntah itu hukumnya najis mughlladzah (najis berat).[11]
2. Muntah Tidak Najis
Sedangkan Ibnu Hazm dan Asy Syaukani mengatakan bahwa muntah itu tidak najis. Dasarnya karena mereka tidak menerima hadis di atas sebagai hadis yang shahih.
F. Najis-najis Yang Dimaafkan
Najis-najis yang dimaafkan adalah benda yang pada hakikatnya najis atau terkena najis, namun karena kadarnya sangat sedikit atau kecil sehingga dimaafkan. Para ulama mengatakan bahwa termasuk ke dalam najis yang dimaafkan adalah najis yang padat (bukan cair) yang hanya sedikit sekali yaitu hanya selebar uang dirham (317 gram) atau setara 20 qirath.
Sedangkan untuk najis yang berbentuk cair seluas lebar tapak tangan saja. Namun dalam pandangan mereka meski najis itu dimaafkan tetap saja haram melakukan shalat bila badan pakaian atau tempatnya terkena najis yang dimaafkan
1. Mazhab Al Hanafiyah
Mazhab ini mengatakan bahwa termasuk najis yang dimaafkan adalah beberapa tetes air kencing kucing atau tikus yang jatuh ke dalam makanan atau pakaian karena darurat. Juga akibat percikan najis yang tak terlihat oleh mata telanjang.
2. Mazhab Al Malikiyah
Mereka mengatakan bahwa yang termasuk najis yang dimaafkan adalah darah manusia atau hewan darat yang sangat sedikit jumlahnya, juga nanah dan muntah yang sedikit, kira-kira selebar titik hitam pada uang dirham. Baik najis itu berasal dari dirinya atau dari orang lain termasuk dari hewan. Bahkan termasuk darah dari babi.
Mazhab ini juga memasukkan yang termasuk najis yang dimaafkan adalah air kencing yang sedikit sekali yang keluar tanpa mampu dijaga karena penyakit termasuk di dalamnya adalah mazi, mani dan yang keluar dari anus. Juga air kencing anak kecil dan kotorannya buat ibu yang sedang menyusuinya karena nyaris mustahil tidak terkena sama sekali dari najis yang mungkin hanya berupa percikan atau sisa-sisa yang tak nampak.
3. Mazhab As Syafi’iyah dan Al Hanbalilah
Kedua mazhab ini dalam masalah najis yang dimaafkan ini nampak lebih keras, sebab yang dimaafkan bagi mereka hanyalah yang tidak nampak di mata saja. Atau darah nyamuk, kutu, bangsat atau serangga lain yang tidak punya darah cair. Juga sisa bekas berbekam (hijamah) bekas lalat dan lainnya.
[1] Tabyinul Haqaiq jilid 6 halaman 45
[2] Ma’ayir Al Halal wal Haram fil Ath’imah wal Asyribati wal Mustahdharat At-Tajmiliyah ala Dhaui Al Kitab wa As Sunnah.
[3] Hasyiyatu Ibnu Abidin jilid 1 halaman 208
[4] Al Bidayah alal Hidayah jilid 1 halaman 722
[5] Hasyiyatu Ad-Dasuki jilid 1 halaman 51
[6] Mughni Al Muhtaj jilid 1 halaman 79-80
[7] Sebagian ulama mendhaifkan hadis ini, di antaranya Ibnu Hajar Al Asqalani.
[8] Hasyiyatu Ad Dasuqi ala Syarhil Kabir jilid 5 halaman 1.
[9] Fathul Qadir jilid 1 halaman 141 dan Maraqi Al falah halaman 16-18.
[10] Hasyiyatu Ad Dasuqi jilid 1 halaman 51.
[11] Al Ikhtiyar Syarhul Mukhtar jilid 1 halaman 31.