Nama dan Gelar Sultan Bantam

Setelah Abu’l Mafakhir (yang empunya serba kemegahan) naik nobat, dapatlah kita perhatikan seterusnya pada pengangkatan sultan-sultan Bantam, bagaimana bertambah besarnya pengaruh Islam. Dan oleh karena bangsa Arab adalah sebagai pelopor Agama Islam, maka adat istiadat yang dipakai oleh kerajaan-kerajaan Arab tentang memberi gelar kebesaran sultan ditiru oleh Bantam.

Di samping nama kecil yang asal, orang mempunyai lagi “Luqab”, seumpama “Al Faruk” (yang dapat membedakan di antara yang benar dengan yang salah), yang pernah diberikan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada sahabatnya Umar bin Khattab. Demikianlah juga “Ash Shiddiq” (yang mengakui kebenaran), yang diberikan kepada Abu Bakar. ”Saif Allah” (Pedang Allah) gelar yang diberikan kepada Khalid bin Walid. Dan ada juga luqab setelah wafat (Posthumus), seumpama “Zul Janahain” (Yang empunya dua sayap) untuk Ja’far bin Abi Thalib. ”Kuniyah” ialah gelaran dengan memakai “Abu”. artinya Bapa atau Yang Empunya. Sebab itu maka Umar bin Khattab memakai luqab “Al Faruq” dan memakai kunniyah “Abu Hafsh”. Abu Bakar lebih terkenal dengan kunniyahnya  Abu Bakar, dan luqabnya Ash-Shiddiq, dan nama kecilnya Usman.

Raja-raja di Bantam lebih banyak menuruti adat-istiadat ini. Sedang ,raja-raja Melayu dan Raja-raja di Aceh, lebih banyak memakai adat-istiadat raja -raja Islam, di Persia dan India, yaitu memakai Syah. Raja-raja di Jawa memakai gelaran Jawa, sebagai Ing Alogo atau Herucokro, di Bugis memakai gelar-gelar dalam bahasa Bugis.

Abu Mafakhir diganti oleh puteranya Abu Ma’ali Ahmad Rahmatullah, (1640 -1651). Abu Ma’ali kunniyahnya, Ahmad nama kecilnya, Rahmatullah luqabnya.(Yang Empunya Ketinggian, Ahmad, Dikurnia Allah). . Setelah itu Abu’l Fath (Yang Empunya Kemenangan), Abu’l Fattah, Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692). Setelah itu Abu’n Nashar (Yang Empunya Kejayaan), Abdul Kahhar, Sultan Haji (1671-1687). (Keganjilan catatan tahun di antara Sultan dua beranak ini adalah satu riwayat sedih yang akan kita paparkan di lain waktu).

Setelah itu Abu’l Fadh Muhammad Yahya (1687-1690). Di sini hanya terdapat kunniyah dan nama asal. (Abu’l Fadhi – Yang Empunya Keutamaan). Pada puteranya Abu’l Mahasin Muhammad Zainal Abidin sampai seterusnya jelas teraturnya kunniyah dan luqab itu. Abu’I Mahasin (Yang Empunya serba Ke bajikan). Muhammad, Zainal Abidin (Perhiasan orang yang ‘ Abid. -1690 -1733). Abu’l Fatah Muhammad Syifa, Zainul ‘Arifin (1733-1774). (Yang Empunya Kemenangan, Muhammad Syifa, Perhiasan orang-orang yang ‘Arif). Abu’l Ma’ali Muhammad Washi Zainul Alimin (1752). (Yang Empunya Ketinggian, Muhammad Washi Zainul Alimin Perhiasa n orang-orang yang Alim).

Abu’n Nashr Muhammad Arif Zainul ‘Asyiqin. (1752 -1777). Zainul ‘Asyiqin artinya Perhiasan orang-orang yang asyik kepada Ilahi. Abu’l Mafakhir Muhammad ‘Aliyuddin (1777-1802). ‘Aliyuddin artinya Ketinggian Agama. Abu’l Fatah Muhammad Muhyiddin Zainush Shalihin (1802 -1804) Yang Empunya Kemenangan, Muhammad yang menghidupkan Agama, Perhiasan orang-orang yang shaleh. Dia digantikan oleh Abu’n Nashr Muhammad Ishak, Zainul Muttaqin (Perhiasan orang-orang yang taqwa). Dia diasingkan Daendels ke Ambon.

Ada beberapa kesan yang kita dapati melihat kepada gelar-gelar Sultan itu. Pertama ialah bertambah mendalamnya ajaran tasawuf dan bertambah tingginya pengaruh guru-guru Agama dengan faham Tasawufnya. Zainal Abidin (Perhiasan orang-orang yang kuat beribadat kepada Tuhan), Zainal Arifin (Perhiasan orang-orang yang telah mendalam ilmu ma’rifatnya). Zainal Alimin. (Perhiasan orang-orang yang Alim). Zainul ‘Asyiqin. (Perhiasan orang-orang yang asyik dan rindu kepada Tuhan).” Isyq adalah salah satu pokok ajaran di dalam Ilmu Tasawuf. Isyq (rindu), way dan wal hampir sama artinya, dan bulatannya ialah hubb artinya cinta. Dengan cinta menembus segala  dinding (hijab) yang membatas di antara hamba dengan Tuhannya.

Kesan kita yang kedua ialah pada zaman kerajaan masih kuat, raja-raja dan sultan-sultan masih memakai gelar yang sederhana, atau nama saja dengan tidak banyak sambungan. Sebagai Raja Hasanuddin, Penembahan Yusuf, Maulana Muhammad. Tetapi setelah kerajaan menjadi mundur, orang bertahan dengan kemegahannya pada gelar-gelar yang tinggi dan panjang, tetapi artinya tidak ada lagi.

Seumpama Sultan Siak Sri Indrapura, yang di awal abad ketujuh belas, karena perjuangan Raja Kecil Abdul Jalil Rahmat Syah, menjadi besar, sehingga Deli, Langkat, dan raja-raja Labuhan Batu pernah di bawah kuasanya, dan pernah juga Raja Kecil menaklukkan Riau dan Johor, maka kekuasaannya dicabut Belanda dari daerah-daerah Deli karena Belanda telah mendapat kebun buat menanam tembakau. Maka setelah daerah-daerah itu di- “merdekakan” Belanda dari kuasanya, sultan pun diberi gelar yang amat panjang. Sri Paduka Yang Dipertuan Besar Assaid Asy Syarif Hasyim, Abduljahl Saifuddin Al Baalwi, Sultan Syah Siak Sri Indrapura dan rantau jajahan takluknya, bersemayam di istana Assaraya AI Hasyimiyah. Itu adalah gelar lengkap dan resmi setelah kuasa baginda  dicopoti satu persatu. Bertambah banyak tanah dan kekuasaan yang dicopot, bertambah panjang gelar.

“Berikan kepadaku kekuasaanmu, aku beri engkau gelar.”

***