“Di masa pembangunan ini”, kata Chairil Anwar mengenang Diponegoro, “Tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api”.
Kila selalu berkata jujur kepada nurani kita ketika kita melewati persimpangan jalan sejarah yang curam. Saat itu kita merindukan pahlawan. Seperti Chairil Anwar tahun itu, 1943, yang merindukan Diponegoro. Seperti juga kita saat ini. Saat ini benar kita merindukan pahlawan itu. Karena krisis demi krisis telah merobohkan satu per satu sendi bangunan negeri kita. Negeri ini hampir seperti kapal pecah yang tak jemu-jemu dihantam gunungan ombak.
Di tengah badai ini kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang, kata Sapardi, “telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah”. Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, “berselempang semangat yang tak bisa mati.” Pahlawan yang akan membacakan “Pernyataan” Mansur Samin:
Demi amanat dan beban rakyat
Kami nyatakan ke seluruh dunia
Telah bangkit di tanah air
Sebuah aksi perlawanan
Terhadap kepalsuan dan kebohongan
Yang bersarang dalam kekuasaan
Orang-orang pemimpin gadungan
Maka datang jugalah aku ke sana, akhirnya. Untuk kali pertama. Ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Seperti dulu aku pernah datang ke makam para sahabat Rasulullah saw di Baqi’ dan Uhud di Madinah. Karena kerinduan itu. Dan kudengar Chairil Anwar seperti mewakili mereka:
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Tulang-tulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka? Ataukah tak lagi ada wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pahlawan? Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid?
Ataukah tak lagi ada ibu yang mau, seperti kata Taufiq Ismail di tahun 1966, “Merelakan kalian pergi berdemonstrasi.. Karena kalian pergi menyempurnakan.. Kemerdekaan negeri ini.”
Tulang belulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka?
Ataukah, seperti kata Sayyid Quthub, “Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tanggalkan senjata dari bahumu?”
Tidak! Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dan beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata: jadilah pahlawan itu.