Qiyam Ramadhan dan salat tarawih hukumnya sangat dianjurkan oleh Rasulullah (sunnah muaqqadah), bahkan beliau tidak pernah meninggalkannya, namun dalam peaksanaannya seringkali dapat mengganggu ukhuwwah Islamiyyah yang hukumnya adalah wajib. Hal itu disebabkan oleh beberapa perbedaan yang terkait dengan pelaksanaannya. Panduan ini diharapkan agar ummat Islam dapat memahami berbagai aspek dan alasan perbedaannya. Saling memahami dan menghormati dalam melaksanakan qiyam Ramadhan dengan tetap menjaga rasa ukhuwwah Islamiyyah.
Anjuran Melaksanakan Qiyam dan Tarawih di bulan Ramadhan
“Dari Abu Hurairah menceritakan, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sangat menganjurkan qiyam Ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Siapa saja yang mendirikan shalat di malam Ramadhan penuh dengan keimanan dan harapan maka ia diampuni dosa-dosa yang telah lampau.” (Muttafaq ‘alaihi, lafazh Imam Muslim dalam Shahih-nya: 6/40)
Pemberlakuan Jamaah Shalat Tarawih
Pada awalnya shalat Tarawih dilaksanakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan sebagian sahabat secara berjamaah di masjidnya, namun setelah berjalan tiga malam, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam membiarkan para sahabat melakukan Tarawih secara sendiri-sendiri. Hingga suatu kemudian ketika Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat Tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, terbesit dalam diri Umar untuk menyatukannya sehingga terbentuklan shalat Tarawih berjamaah yang dipimpin Ubay bin Kaab. Hal itu sebagaimana terekam dalam hadits muttafaq alaihi riwayat ‘Aisyah (Al Lu’lu’ wal Marjan: 436) Dari sini mayoritas ulama menetapkan sunnahnya pemberlakukan shalat Tarawih secara berjamaah ( lihat Syarh Muslim oleh Nawawi : 6/39)
Jumlah Rakaat Tarawih
Dalam riwayat Bukhari tidak menyebutkan berapa rakaat Ubay bin Kaab melaksanakan Tarawih. Demikian juga riwayat ‘Aisyah- yang menjelaskan tentang tiga malam Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendirikan tarawih bersama para sahabat- tidak menyebutkan jumlah rakaatnya, sekalipun dalam riwayat ‘Aisyah lainnya ditegaskan tidak adanya pembedaan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang jumlah rakaat shalat malam baik di dalam maupun di luar Ramadhan. Namun riwayat ini nampak pada konteks yang lebih umum yaitu shalat malam. Hal itu terlihat pada kecenderungan para ulama yang meletakkan riwayat ini pada bab shalat malam secara umum, misalnya imam Bukhari meletakkannya pada bab shalat tahajud, imam Malik dalam Muwatha’ pada bab shalat Witir Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Fathul Bari 4/250; Muwatha’ dalam Tanwir Hawalaik: 141).
Hal tersebut memunculkan perbedaan dalam jumlah rakaat Tarawih yang berkisar dari 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39 rakaat.
Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat sebagai berikut:
- Hadits Aisyah: “Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan” ( Al Fath : ibid).
- Imam Malik dalam Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim Ad Dari untuk melaksanakan shalat Tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang. Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat ( Al Muwatha’ dalam Tanwirul Hawalaik; 138)
- Imam At Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat Tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir). Pendapat ini didukung oleh Ats Tsauri, Ibnu Mubarak dan Asy Syafi’i (Lihat Fiqhus Sunnah:1/195)
- Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin shalat Tarawih hingga 36 rakaat ditambah Witir tiga rakaat. Hal ini dikomentari imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya (Al Fath: ibid ).
- Imam Asy Syafi’i dari riwayat Az Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan Tarawih di Madinah dengan 39 rakaat, dan di Makkah 33 rakaat, dan menurutnya hal tersebut memang memiliki kelonggaran (Al Fath : ibid)
Dari riwayat di atas jelas akar persoalan dalam jumlah rakaat Tarawih bukanlah persoalan jumlah melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan. Ibnu Hajar berpendapat: “Bahwa perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat Tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i: “Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika shalatnya pendek dan jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama.” Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan Witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar radhiyallahu ‘anhu, sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh salafu saleh dari generasi sahabat dan tabiin. Bahkan menurut Imam Malik rahimahullah hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga diungkapka imam Ahmad radhiyallahu ‘anhu bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat Tarawih melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan (Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/250, dan seterusnya)
Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi konsen dalam shalat Tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media yang komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersama-Nya dimanapun berada.
Cara Melaksanakan Shalat Tarawih
- Dalam hadits Bukhari riwayat ‘Aisyah menjelaskan bahwa cara Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan shalat malam adalah dengan melakukan tiga kali salam masing-masing terdiri empat rakaat yang sangat panjang ditambah 4 rakaat yang panjang pula ditambah 3 rakaat sebagai penutup (Lihat Fathul Bari : Ibid)
- Bentuk lain yang merupakan penegasan secara qauli dan fi’li juga menunjukkan bahwa shalat malam dapat pula dilakukan dua rakaat-dua rakaat dan ditutup satu rakaat. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang cara Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendirikan shalat malam beliau menjawab: “shalat malam didirikan dua rakaat dua rakaat jika ia khawatir akan tibanya waktu Shubuh maka hendaknya menutup dengan satu rakaat. (Mutaffaq ‘alaihi, Al Lu’lu’ wal Marjan : 432). Hal ini ditegaskan fi’liyah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits Muslim dan Malik radhiyallahu ‘anhu (lihat Syarh Shahih Muslim 6/ 46-47; Muwatha’ dalam Tanwir: 143-144)
- Dari sini Ibnu Hajar menegaskan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terkadang melakukan Witir/menutup shalatnya dengan satu rakaat dan terkadang menutupnya dengan tiga rakaat. Dengan demikian shalat malam termasuk Tarawih dapat didirikan dengan dua rakaat dua rakaat dan ditutup dengan satu rakaat ataupun empat rakaat empat rakaat dan ditutup dengan 3 rakaat.
Demikian penjelasan seputar shalat Tarawih dalam perspektif Islam, semoga Allah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam memberkahi dan selalu mengkaruniakan kesatuan dan persatuan umat melalui ibadah yang mulia ini.