Para Sahabat Menentang Pendapat Sahabat Lainnya

Mari kita lihat contoh-contoh tentang bagaimana para sahabat yang mulia berbicara dengan nash-nash Sunnah dan menolak pendapat orang yang berbicara dengan pandangannya sendiri.

1. Aisyah Menolak Pandangan Umar dan Ibnu Umar

Muhammad ibnul Al Muntasyir berkata: “Aku bertanya kepada Aisyah tentang apa yang pernah diucapkan oleh Ibnu Umar (sebagai berikut): ‘Saya tidak suka kalau ingin berihram dan pada hari-hari memakai wewangian.’ Dalam riwayat Muslim disebutkan: ‘Dicat dengan lumpur lebih aku sukai daripada melakukan hal itu.’ Aisyah menjawab: ‘Aku pernah memberi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wewangian. Kemudian beliau mengunjungi para istri beliau, dan pada paginya memakai ihram (dalam keadaan pakai wewangian).'” (HR Bukhari dan Muslim)[1]

Dalam kitab Fathul Bari disebutkan bahwa Said bin Manshur meriwayatkan melalui jalur Abdullah bin Abdullah bin Umar bahwa Aisyah pernah mengatakan tidak mengapa jika dia menyentuh wewangian sewaktu mau melakukan ihram. Said berkata: “Lalu aku panggil seorang lelaki. Ketika itu aku sedang duduk di samping Ibnu Umar. Lelaki itu aku utus kepada Aisyah, padahal aku sudah tahu ucapan Aisyah. Cuma saja aku ingin hal itu juga didengar oleh bapakku. Lantas utusanku datang. Dia berkata: ‘Aisyah mengatakan tidak mengapa memakai wewangian sewaktu mau berihram. Aku akan buang pendapatmu.’ Said berkata bahwa Ibnu Umar terdiam mendengarkan ucapan laki-laki itu. Begitu pula halnya Salim bin Abdullah bin Umar. Dia menentang bapak dan kakeknya dalam masalah ini karena hadits Aisyah. Ibnu Uyainah berkata bahwa Umar bin Dinar menceritakan Salim kepada kami bahwa dia nmenyebutkan perkataan Umar mengenai wewangian. Kemudian dia berkata: ‘Aisyah berkata (lantas dia menyebutkan hadits tadi).’ Salim berkata: ‘Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih berhak untuk diikuti.'”[2]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dari hadits tersebut dapat diambil pelajaran bahwa orang yang masih bimbang hendaklah kembali kepada Sunnah. Dengan adanya sunnah, kita tidak lagi memerlukan pendapat tokoh-tokoh Di dalam sunnah terdapat sesuatu yang memuaskan.”[3]

Di sini dapat pembaca perhatikan tokoh-tokohnya, yaitu Umar dan Abdullah bin Umar. Keduanya sudah dikenal dengan ilmu dan kelebihannya. Namun –Maha Suci Allah– tidak ada ‘ishmah (jaminan terbebas dari kesalahan) bagi seseorang selain Rasulullah saw.

2. Aisyah dan Ummu Salamah Menolak Pandangan Abu Hurairah dan Al Fadhal bin Abbas

Abu Bakar bin Abdurrahman ibnul Al Harits berkata: ‘Aku pernah mendengar Abu Hurairah radhiyallahu anh berkata: “Barangsiapa yang pagi-pagi masih dalam keadaan junub, maka sebaiknya dia tidak berpuasa.” Lalu ucapan Abu Hurairah itu aku sampaikan kepada Abdurrahman ibnul Harits. Ternyata Abdurrahman tidak sependapat. Aku dan Abdurrahman berangkat menemui Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu anh. Kemudian Abdurrahman menanyakan masalah tersebut kepada kedua wanita itu. Kedua wanita itu berkata: ‘Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bangun pagi hari dalam keadaan junub bukan karena bermimpi, lalu beliau berpuasa.’Akhirnya kami kembali menemui Abu Hurairah (dan menyampaikan kata-kata Aisyah dan Ummu Salamah itu).’ Abu Hurairah bertanya: ‘Apakah kedua wanita itu yang mengatakannya kepadamu?’ Abdurrahman menjawab: ‘Ya.’ Abu Hurairah lalu berkata: ‘Kedua wanita itu lebih tahu (daripada aku).’ Kemudian Abu Hurairah mengatakan bahwa apa yang dia katakan itu berdasarkan pendapat Fadhal ibnul Abbas. Abu Hurairah berkata: ‘Hal itu aku dengar dari Fadhal dan aku tidak pernah mendengarnya dari Rasulullah saw.’Abdurrahman berkata: ‘Akhirnya Abu Hurairah menarik kembali apa yang pernah diucapkannya itu.'” (HR Bukhari dan Muslim)[4]

3. Aisyah Menentang Pandangan Abdullah bin Amru

Ubaid bin Umar berkata: “Aisyah pernah mendengar bahwa Abdullah bin Amru memerintahkan orang-orang perempuan agar mengurai jalinan rambutnya apabila mereka mandi. Aisyah berkata: ‘Aneh sekali Ibnu Amru ini. Dia menyuruh kaum wanita supaya menguraikan jalinan rambutnya ketika mandi. Mengapa tidak menyuruh mereka mencukur rambutnya saja sekalian? Aku sendiri pernah mandi bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari satu wadah dan aku tidak menyiram kepalaku lebih dari tiga kali siraman.'” (HR Muslim)[5]

4. Aisyah Menentang Pandangan Ibnu Abbas

Aisyah berkata bahwa Ziyad bin Abi Sufyan menulis sepucuk surat kepada Aisyah radhiyallahu anh (yang isinya) bahwa Abdullah bin Abbas berkata: “Barangsiapa yang membawa hewan sembelihan maka haram atasnya apa yang diharamkan atas orang yang melaksanakan haji hingga dia mengurbankan/menyembelih hewannya tersebut.” Lalu Aisyah berkata: “Tidak seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Aku pernah memintal kalung hewan sembelihan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanganku. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengalungi hewannya dengan tangannya. Kemudian beliau mengirimkannya bersama bapakku. Tidak pernah diharamkan atas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang dihalalkan Allah hingga beliau menyembelih hewan sembelihannya.” (HR Bukhari)[6]

5. Ibnu Umar Menentang Pandangan Ibnu Abbas

Dari Wabarah, dia berkata: “Aku pernah duduk di samping Ibnu Umar. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dan berkata: ‘Bolehkah aku melakukan thawaf di Baitullah sebelum mendatangi tempat wuquf (Arafah)?’ Ibnu Umar menjawab: ‘Boleh.’ Laki-laki itu berkata: ‘Tetapi Ibnu Abbas pernah mengatakan: “Janganlah kamu thawaf di Baitullah sebelum kamu mendatangi tempat wuquf!” Ibnu Umar lalu menjelaskan: ‘Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunaikan ibadah haji, lalu melakukan thawaf di Baitullah sebelum beliau mendatangi tempat wuquf. Apakah dengan perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kamu lebih berhak berpegang ataukah dengan perkataan Ibnu Abbas jika kamu benar?’ Menurut satu riwayat: ‘Sunnatullah dan Sunnah Rasul-Nya lebih patut kamu ikuti daripada sunnah si fulan jika kamu memang benar.'” (HR Muslim)[7]

6. Ibnu Abbas Menentang Pendapat Zaid bin Tsabit

Dari Ikrimah dikatakan bahwa warga Madinah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai seorang wanita yang sudah selesai mengerjakan thawaf ifadhah, kemudian dia haid. Ibnu Abbas berkata pada mereka: “Pergilah dia (ke Mekah bersama orang-orang).” Mereka berkata: “Kami tidak mengambil pendapatmu dan membiarkan perkataan Zaid.” Ibnu Abbas berkata: “Apabila kalian sampai di Madinah, tanyakanlah masalah ini.” Tatkala mereka sampai di Madinah, lantas mereka menanyakannya. Di antara orang yang mereka tanya adalah Ummu Sulaim. Ummu Sulaim menjawabnya dengan hadits Shafiyyah bahwasanya Shafiyyah telah ifadhah dan melakukan thawaf di Baitullah, kemudian dia haid. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Berangkatlah kamu bersama yang lainnya!” (HR Bukhari dan Muslim)[8]

7. Imran bin Hushain Menentang Pendapat Umar ibnul Khattab

Dari Imran bin Hushain, dia berkata: “Setelah ayat Al Qur’an tentang mut’ah turun (yaitu mut’ah dalam ibadah haji), Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya kepada kami. Setelah itu, tidak ada satu ayat pun yang turun untuk menasakh ayat mut’ah haji dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat. Tetapi ternyata sesudah itu orang yang berkomentar berdasarkan pendapatnya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)[9]

8. Ali bin Abi Thalib Menentang Pendapat Utsman bin Affan

Dari Sa’id ibnul Musayyab, dia berkata bahwa Ali dan Utsman berbeda pendapat mengenai tamattu’. Pada saat itu keduanya sedang berada di Asfan. Ali berkata kepada Utsman: “Tidak ada yang kamu inginkan selain melarang suatu perkara yang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya. Melihat Utsman tetap pada pendapatnya, akhirnya Ali berihram untuk haji dan umrah sekaligus.” Dalam satu riwayat dikatakan bahwa Ali berkata: “Aku tidak akan pernah meninggalkan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena perkataan seseorang.” (HR Bukhari dan Muslim)[10]

9. Ibnu Abbas Menentang Pendapat Ibnuz Zubair

Dari Muslim Al Qurri, dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anh tentang haji tamattu. Ternyata dia memperbolehkannya. Sementara Ibnuz Zubair pernah melarangnya. Ibnu Abbas berkata: ‘Ini, ibunya Ibnuz Zubair sendiri yang bercerita bahwa sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memperbolehkannya. Karena itu, temuilah ibu Ibnuz Zubair dan tanyakanlah kepadanya masalah ini.’ Lalu aku pergi menemui ibu Ibnu Zubair. Ternyata dia adalah seorang wanita yang berbadan gemuk dan matanya buta. Ibu Ibnuz Zubair mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memang membolehkannya.” (HR Muslim)[11]

Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dalam kitab Jami’ Bayan Al ‘Ilmi, dari Abus Samh, dia berkata: “Akan datang suatu zaman ketika seseorang mempergemuk hewan tunggangannya. Kemudian dia melakukan perjalanan dengan menunggangi hewan tersebut, sehingga hewan itu kurus karena berjalan dalam upaya mendapatkan fatwa yang berdasarkan Sunnah. Namun tidak dia dapatkan selain orang yang berfatwa berdasarkan dugaan/perkiraannya belaka.”[12]

Yang mengundang perhatian kita mengenai ketinggian dan keutamaan syariat Allah adalah bahwa semua nash yang telah disebutkan sebelumnya –yang sekaligus menjadi jawaban terhadap pendapat para tokoh tersebut– mengarah pada memberi kemudahan bagi orang-orang mukmin dan menolak sikap mempersulit.



[1] Bukhari, Kitab: Mandi, Bab: Orang yang memakai wewangian kemudian dia mandi, lalu bau wanginya masih tertinggal, jilid 1, hlm. 396. Muslim, Kitab: Haji, Bab: Wewangian bagi orang yang ingin berihram, jilid 4, hlm. 12.

[2] Fathul Bari, jilid 4, hlm 140-141.

[3] ibid

[4] Bukhari, Kitab: Puasa, Bab: Orang puasa yang bangun pada pagi harinya dalam keadaan berjunub, jilid 5, hlm. 45. Muslim, Kitab: Puasa, Bab: Sahnya puasa orang yang sudah terbit fajar sementara dia masih dalam keadaan berjunub, jilid 3, hlm. 137.

[5] Muslim, Kitab: Haid, Bab: Hukum rambut wanita yang dipintal, jilid 1, hlm. 179.

[6] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Orang yang mengalungkan kalung pada hewan sembelihannya dengan tangannya sendiri, jilid 4, hlm. 293.

[7] Muslim, Kitab: Haji, Bab: Thawaf dan sa’i yang harus dilakukan oleh orang yang berihram dengan niat haji sesampainya di Mekah, jilid 4, hlm 53.

[8] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Apabila wanita kedatangan haid setelah melakukan thawaf Ifadhah, jilid 4, hlm. 336. Muslim, Kitab: Haji, Bab: Kewajiban melakukan thawaf Wada, dan gugurnya kewajiban thawaf Wada’ bagi wanita haid, jilid 4, hlm. 93. Nash hadits Shafiyyah adalah riwayat Muslim.

[9] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Haji tamattu pada masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, jilid 4, hlm. 177. Muslim, Kitab: Haji, Bab: Boleh hukumnya bertamattu, jilid 4, hlm. 48.

[10] Bukhari, Kitab: Haji, Bab Haji tamattu, qiran, dan ifrad, jilid 4, hlm. 176. Muslim, Kitab: Haji, Bab: Boleh bertamattu, jilid 4, hlm. 46.

[11] Muslim, Kitab Haji, Bab: Mengenai haji tamattu, jilid 4, hlm. 55.

[12] Jami’ Al Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlih, oleh Ibnu Abdil Barr, hlm. 324.