Islam adalah aqidah dan syari’ah. Aqidah merupakan inti pemelukan agama dan batas akhir agama ini. Sedangkan syari’ah, baik dalam ibadah rituil maupun muamalat, atau nilai-nilai dan akhlak, adalah jalan dan titian yang ditempuh Muslim untuk beragama dan beraqidah dengan aqidah Islam dalam tauhid uluhiah (pengesaan dalam penyembahan); meyakini akhirat yang mencakup perhitungan amal (hisab) dan pahala (jaza’) dan amal shaleh sebagai bekal untuk kehidupan di hari akhir, tempat kembali manusia. Ini semua adalah cakupan Islam: aqidah dan syari’ah, satu sistem buatan ilahi yang dibawa melalui malaikat Jibril (Ar Ruh Al Amin) kepada hati Rasulullah yang bergelar Al Amin (yang terpercaya). Agama ini bukan hasil upaya manusia, sebagaimana pandangan materialisme yang dipandang oleh peradaban Barat, termasuk terhadap agama. Agama Islam telah sempurna baik aqidah maupun syari’ahnya sejak wahyu Ilahi berakhir dalam Kitab Al Qur’an kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai mata rantai perjalanan nubuwah dan risalah, sehingga kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan pertanda kesempurnaan agama ini dalam kekekalan mukjizatnya, Al Qur’an al-Karim.
Diharapkan adanya ijma’, mengenai kesempurnaan agama sebelum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal dunia, dan dikarenakan adanya ijma’, juga bahwa perubahan dan perkembangan baru adalah salah satu sunnatullah pada alam, wujud, dan fenomena, baik alam materil maupun kehidupan sosial dan pemikiran, maka anggapan keliru bahwa pintu ijtihad telah ditutup telah menciptakan kontradiksi antara kesempurnaan agama dengan pembaruan dalam ilmu-ilmu agama ini. Apakah di sana benar-benar terdapat kontradiksi antara kesempurnaan agama dengan pembaharuan dan ilmu-ilmu Agama? Persoalan ini tidak hanya muncul dari orang-orang yang secara fanatik menentang agama lalu berpihak pada pembaruan, tetapi juga muncul dari orang-orang yang sangat fanatik pada agama lalu mereka berpihak pada pendirian tentang kesempurnaan sehingga menentang pembaruan untuk meluruskan visi ini dituntut pembaruan agar ditemukan titik kesamaan.
Jika metodologi Islam dipakai yaitu mengambil jalan tengah secara komprehensif, dan memandang persoalan ini dengan kacamata ini maka tidak akan ditemukan dualisme ini dan tidak pula kontradiksi antara kesempurnaan agama dan kebakuannya dengan perubahan dan ijtihad di dalamnya. Al Qur’an menegaskan:
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan, tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Maa’idah: 4)
Sementara itu Rasulullah mengatakan dengan sabdanya:
“Allah mengutus kepada umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbarui (urusan) agama untuk umat ini.” (Abu Daud)
Maka tidak dirasakan –jika berbekal dengan manhaj Islam dan sifat moderatnya– bahwa di sana terdapat kontradiksi antara kesempurnaan agama ini dengan berakhirnya wahyu Al Qur’an dan pembaruan yang senantiasa ada dalam agama. Sebab agama –sebagaimana ditegaskan terdahulu– adalah aqidah dan syari’ah. Aqidah dalam Islam adalah iman kepada Allah, kitab-kitab sucinya, para rasulnya, para malaikatnya, hari akhir, dan qadha dan qadar-Nya. Sedangkan syari’ah adalah segala urusan yang ditempuh dan dijalani oleh Muslim agar meyakini aqidah ini dan memegangnya. Masing-masing aqidah dan syari’ah memiliki dasar-dasar, prinsip-prinsip, serta rukun-rukun yang semuanya telah sempurna dengan kesempurnaan wahyu terakhir yang menyempurnakan agama. Akan tetapi manusia Muslim, sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang mempunyai tugas memakmurkan bumi ini, menyingkap rahasia-rahasia alam, merekayasa kehidupan sosial dan politik serta membangun peradaban, berkewajiban –dalam mengemban tugas khilafah-Nya ini– menegaskan bangunan lain yang ia “ciptakan” di atas fondasi, prinsip dan rukun-rukun yang bukan buatannya melainkan buatan Allah. Islam, sebagaimana dikatakan dalam hadits: “didirikan di atas lima fondasi: Syahadatain –La ilaha illa Allah Muhammad abduhu wa rasuluh (tiada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah hambanya dan rasul-Nya)– mendirikan shalat; membayar zakat; berpuasa Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah (Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai). Dengan demikian, Islam berdiri diatas lima fondasi ini. Sedangkan lain-lainnya adalah bangunan keatas; bangunan cabang-cabang, yaitu cabang-cabang fondasi, dasar dan tiang-tiang ini. Bangunan ini –cabang-cabang fondasi yang berubah-ubah dan berganti-ganti–, berkembang, sesuai dengan kemaslahatan syar’i, dan sesuai pula dengan tuntutan jaman dan tempat, apabila selaras dengan maksud-maksud asas, tujuan-tujuan qaidah, filsafat prinsip-prinsip, dan batas-batas serta rukun-rukun, maka bangunan cabang itu merupakan perubahan dalam wilayah serta pengaruh asas, qaidah dan rukun-rukun ini. Sebab asas-asas yang bersifat permanen itu telah sempurna dengan kesempurnaan agama. Sedangkan cakrawala, pengaruh, dan cabang-cabangnya yang berpangkal dari asas-asas itu, yang senantiasa tumbuh, berubah dan berkembang tersebut menjadi bukti kesenantiasaan pembaruan dan hubungan antara pembaruan dan dasar-dasar ketentuan ini, qaidah, prinsip dan rukun.
Karena begitu jelas realitas manhaj Islam ini, maka para ulama Islam sepakat bahwa tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang berkenaan dengan dasar-dasar Islam. Sebab di atas dasar-dasar inilah keutuhan umat berdiri sejak agama ini disempurnakan dengan kesempurnaan wahyu terakhir. Mereka juga sepakat bahwa wilayah ijtihad hanyalah pada persoalan-persoalan cabang (furu’) yang senantiasa berkembang menjangkau persoalan-persoalan yang berkaitan dengan realitas yang menuntut aturan-aturan hukum baru. Bahkan ijtihad dan pembaruan ini senantiasa berperan dalam menemukan esensi dari prinsip-prinsip, qaidah-qaidah, dan rukun-rukun itu, di samping memperjelas semua itu bilamana di sana terdapat hal-hal yang menutupinya berupa bid’ah, atau pengurangan. Pengertian ini dapat dipahami bahwa pembaruan tidak hanya memperbarui pemahaman Muslim terhadap agama saja, melainkan juga pembaruan furu’ agama itu sendiri. Oleh sebab itu, hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbicara tentang tajdid ad-din (pembaruan agama).
Jadi, pembaruan tidak bertentangan dengan kesempurnaan dan kebakuan agama, melainkan menjadi jalan perluasan pengaruh-pengaruh agama yang sempurna ini ke wilayah-wilayah jangkauan baru dan persoalan-persoalannya yang baru timbul, dan jaminan bagi kelangsungan dasar-dasar itu dalam menyertai perkembangan jaman dan tempat; dengan kata lain, untuk menjamin kelangsungan risalah penutup agar abadi sebagaimana yang dikehendaki Allah. Seandainya tidak ada jangkauan pembaruan cabang-cabang baru berupa peristiwa demi peristiwa dan penarikan benang merah baru antara dasar-dasar yang telah ditetapkan dan perkembangan baru yang timbul oleh perkembangan jaman; seandainya tidak ada pembaruan secara terus menerus yang memperjelas wajah orisinal dan esensi yang bersih yang terkandung dalam dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan Islam itu maka prinsip-prinsip dasar ini akan tertutup, baik dikarenakan oleh kehidupan panjang yang berada di bawah cabang-cabang pertama dan lama sehingga perkembangan-perkembangan baru yang muncul tidak mendapatkan keteduhan “payung” Islam atau dikarenakan adanya bid’ah-bid’ah yang menutupi dasar-dasar ini. Dengan demikian pembaruan adalah jalan untuk kelangsungan, yakni konsistensi agama sempurna ini; tidak justru menafikan ketetapan dan kesempurnaannya. Jika Allah telah menegaskan bahwa diri-Nya memberi jaminan akan memelihara Al Qur’an dari perubahan dan penggantian yang di dalamnya terkandung dasar-dasar agama, lalu berfirman:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan peringatan (Al Qur’an) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijir: 9)
Sebenarnya Allah telah memberi kemudahan kepada kaum Muslimin jalan-jalan pemeliharaan itu. Begitu pula kelangsungan agama Islam ini, dipelihara dengan memberlakukan sunnah pembaruan terhadap agama. Demikianlah harmonisasi yang dimiliki oleh sikap moderat Islam antara kesempurnaan agama dan pembaruannya, hal mana mengaitkan –dalam pemikiran dan perjalanan peradaban Islam– antara archaisme dan futurisme; wawasan ke belakang dan ke depan; salafiah dan tajdid. Salaf berarti masa lampau, tempat kembali, akar, sumber pertama, dan sari bagi agama dan peradaban Islam. Sedangkan tajdid adalah menyingkap wajah yang hakiki dan dasar-dasar ini dengan membersihkannya dari bid’ah. Tajdid juga berarti memperpanjang cabang-cabang baru yang timbul dari pokok-pokok ini untuk menaungi bidang-bidang baru dan mencocokkan realitas baru dengan pilar-pilar pokok ini.
Jika dicermati, identitas peradaban Muslim dengan manhaj Islam ini, maka akan diketahui bahwa pada ke-salafiah-an Islam –yaitu dalam pengertian: kembali pada pokok-pokok inti dan sari agama dan peradaban Muslim– terdapat suatu ijtihad yang membedakan antara inti, yakni inti agama buatan Allah dan penambahanpenambahan, pengurangan-pengurangan, serta bid’ah-bid’ah, yang muncul pada inti dan pokoknya. Di samping itu akan diketahui pula bahwa dalam ijtihad yang merumuskan hukum-hukum baru untuk realitas baru, di sana ada ke-salafiah-an yang menghadirkan pokok-pokok, prinsip-prinsip, serta tujuan-tujuan, agar realitas baru dapat dilihat dengan perspektif salafi dan menarik kesimpulan hukum-hukum baru darinya; dan membangun di atasnya bangunan baru yang sesuai.
Ke-salafiah-an Muslim bukanlah sikap ortodoks sebagaimana dalam masyarakat Kristen yang hanya berdiri dan berhenti pada pokok-pokok dan prinsip-prinsip lama secara statis dan stagnan serta menolak moderenitas dan modernisasi. Ke-salafiah-an Islam adalah komitmen pada dasar-dasar pokok; kembali kepada sumber yang suci dan asli; menolak penambahan dan pengurangan serta bid’ah dari esensi pokok agama. Yang demikian itu dimaksudkan agar pokok-pokok itu menumbuhkan cabang-cabang baru yang dapat menaungi realitas baru serta menerangi realitas modern dengan esensi ketetapan Ilahi. Dengan demikian cabang-cabang itu adalah inti pembaruan (tajdid) bukan lawannya.
Jika pengertian “kemajuan” telah muncul dalam peradaban Barat sebagai buah dari pemberontakan yang bersifat keduniaan dan sekuler terhadap gereja dan juga sebagai penolakan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama Kristen atas dasar tuntutan perubahan-perubahan jaman, maka kemajuan dan pembaruan dalam Islam dan peradabannya adalah salah satu sunnatullah pada alam dan kehidupan masyarakat yang mana tidak ada pertentangan antara keduanya dengan kesempurnaan Islam dan ketetapan pokok-pokoknya. Bahkan keduanya –sebagaimana dapat disaksikan– adalah cara untuk mengaktualisasi agama yang bersifat baku dan sempurna, selamanya dalam hidup ini.[1]