Pemboikotan Ekonomi

Disebutkan dalam beberapa sanad dari Musa bin ‘uqbah dan dari Ibnu Ishaq, juga dari yang lainnya, bahwa orang-orang kafir Quraisy telah bersepakat untuk membunuh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kesepakatan dan keputusan ini disampaikan kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib. Tetapi Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib tidak mau menyerahkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka.

Setelah kaum Quraisy tidak berhasil membunuh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka sepakat untuk mengucilkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kaum Muslimin yang mengikutinya, serta Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib yang melindunginya. Untuk tujuan ini mereka telah menulis suatu perjanjian, bahwa mereka tidak akan mengawini dan berjual beli dengan mereka yang dikucilkan. Tidak akan menerima perdamaian dan tidak akan berbelas kasihan kepada mereka sampai Bani Muththalib menyerahkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka untuk dibunuh. Naskah perjanjian ini mereka gantungkan di dalam Ka’bah.

Kaum kafir Quraisy berpegang teguh dengan perjanjian ini selam tiga tahun, sejak bulan Muharram tahun ketujuh kenabian hingga tahun kesepuluh. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa pemboikotan tersebut berlangsung selama dua tahun saja.

Riwayat Musa bin ‘Uqbah menunjukkan bahwa pemboikotan terjadi sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabatnya berhijrah ke Habasyiah. Bahkan perintah untuk berhijrah ke Habasyiah dikeluarkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada saat berlangsungnya pemboikotan ini. Tetapi riwayat Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa penulisan perjanjian pemboikotan dilakukan setelah para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berhijrah ke Habasyiah dan sesudah Umar masuk Islam.

Bani Hasyim, Bani Muththalib dan kaum Muslimin termasuk di dalamnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dikepung dan dikucilkan di syi’ib (pemukiman) Bani Muththalib (di Mekkah terdapat beberapa syi’ib).

Di pemukiman inilah kaum Muslimin dan kaum kafir dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib berkumpul. Kecuali Abu Lahab (Abdul ‘Izzi bin Abdul Muththalib) karena dia telah bergabung dengan Quraisy dan menetang Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Kaum Muslim menghadapi pemboikotan ini dengan dorongan agama (Islam), sementara kaum kafir mengahadapi karena dorongan fanatisme kabilah (hamiyyah).

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama kaum Muslim berjuang menghadapi pemboikotan yang amat ketat ini selama tiga tahun. Di dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa mereka menderita kekurangan bahan makanan hingga mereka terpaksa harus makan dedauanan. ‘Alaihis Salam Suhail menceritakan: “Tiap ada kafilah datang ke Mekkah dari luar daerah, para sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berada di luar kepungan datang ke pasar untuk membeli bahan makanan bagi keluarganya. Akan tetapi tidak dapat membeli apapun juga karena dirintangi oleh Abu Lahab yang selalu berteriak menghasut, “Hai para pedagang, naikkanlah harga setinggi-tingginya agar para pengikut Muhammad tidak mampu membeli apa-apa. Kalian mengetahui betapa banyak harta kekayaanku dan aku pun sanggup menjamin kalian tidak akan merugi.” Teriakan Abu Lahab itu dituruti oleh para pedagang, dan mereka menaikkan harga barangnya berlipat ganda, sehingga kaum Muslim terpaksa pulang ke rumah dengan tangan kosong, tidak membawa apa-apa untuk makan anak-anaknya, yang kelaparan.

Pada awal tahun ketiga dari pemboikotan dan pengepungan ini, Bani Qushayyi mengecam pemboikotan tersebut. Mereka mmutuskan bersama untuk membatalkan perjanjian. Dalam pada itu Allah telah mengirim anai-anai (rayap) untuk menghancurkan lembaran perjanjian tersebut, kecuali beberapa kalimat yang menyebutkan nama Allah.

Kejadian ini oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diceritakan kepada pamannya Abu Thalib, sehingga Abu Thalib bertanya kepadanya, “Apakah Tuhanmu yang memberitahukan itu kepadamu?”

Jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,”Ya”, Kemudian Abu Thalib bersama sejumlah orang dari kaumnya berangkat mendatangi kaum Quraisy dan meminta kepada mereka seolah-olah ia telah menerima persyaratan yang pernah mereka ajukan. Akhirnya mereka mengambil naskah perjanjian dalam keadaan masih terlipat rapi. Kemudian Abu Thalib berkata, “Sesungguhnya putra saudaraku telah memberitahukan kepadaku, dan dia belum pernah berdusta kepadaku sama sekali, bahwa Allah telah mengirim anai-anai kepada lembaran yang kamu tulis. Anai-anai itu telah memakan setiap teks perjanjian yang aniaya dan memutuskan hubungan kerabat. Jika perkataannya itu benar, maka sadarlah kamu dan cabutlah pemikiranmu yang buruk itu. Demi Allah, kami tidak akan menyerahkan hingga orang terakhir dari kami mati. Jika apa yang dikatakannya itu tidak benar, kami serahkan anak kami kepadamu untuk kamu perlakukan sesuka hatimu.”

Mereka berkata, “Kami setuju dengan apa yang kamu katakan.” Kemudian mereka membuka naskah dan didapatinya sebagaimana yang diberitahukan oleh orang yang jujur lagi terpercaya (Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam). Tetapi mereka menjawab, “Ini adalah sihir anak saudaramu”. Dan mereka pun semakin bertambah sesat dan memusuhi.

Setelah peristiwa ini lima orang tokoh Quraisy keluar membatalkan perjanjian dan mengakhiri pemboikotan. Mereka adalah Hisyam bin Umar bin Al Harits, Zubair bin Umayah, Muth’am bin ‘Adi, Abu Al Bukhturi bin Hisyam, dan Zam’ah bin Al Aswad.

Orang yang pertama kali bergerak membatalkan perjanjian secara terang-terangan adalah Zuhair bin Umayah. Dia datang kepada orang-orang yang berkerumun di samping Ka’bah dan berkata kepada mereka, “Wahai penduduk Mekkah, apakah kita bersenang-senang makan dan minum, sedangkan orang-orang Bani Hasyim dan Bani Muththalib kita biarkan binasa, tidak bisa menjual dan membeli apa-apa? Demi Allah, aku tidak akan tinggal diam sebelum merobek-robek naskah yang dzalim itu.”

Kemudian empat orang lainnya mengucapkan perkataan yang sama. Lalu Muth’am bin ‘Adi bangkit menuju naskah perjanjian dan merobek-robeknya. Setelah itu kelima orang tersebut bersama sejumlah orang datang kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib serta kaum Muslimin lalu memerintahkan agar mereka kembali ke tampat masing-masing sebagaimana biasa.

Beberapa Ibrah

Pemboikotan yang dzalim ini menggambarkan puncak penderitaan dan penganiayaan yang dialami oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya selama tiga tahun. Dalam pemboikotan ini Anda lihat kaum musyrik dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib ikut serta mengalami dan tidak rela membiarkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kita tidak dapat berbicara panjang tentang kaum musyrik tersebut berikut motivasi sikap dan pendirian mereka. Sesuatu yang mendorong mereka untuk mengambil sikap tersebut ialah semangat membela (hamiyyah) keluarga dan kerabat, di samping keengganan mereka menerima dan merasakan kehinaan seandainya mereke membiarkan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dibunuh dan disiksa oleh kaum musyrik Quraisy dari luar Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tanpa mempertimbangkan lagi faktor aqidah dan agama.

Dengan demikian mereka telah memadukan antara dua keinginan yang tertanam di dalam jiwa mereka:

Pertama, berpegang teguh kepada kemusyrikan dan menolak kebenaran yang di sampaikan oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka.

Kedua, kepatuhan kepada fanatisme yang menimbulkan dorongan untuk membela kerabat dari penganiayaan orang luar, tanpa mempedulikan kebenaran atau kebatilan.

Akan halnya kaum Muslimin, terutama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka mereka bersabar menghadapi penganiayaan tersebut karena mengikuti perintah Allah, mengutamakan kehidupan akherat ketimbang kehidupan dunia, dan karena rendahnya nilai dunia dalam pandangan mereka dibanding dengan ridha Allah. Inilah yang menarik untuk dibahas.

Mungkin Anda akan mendengar tuduhan dari musuh-musuh Islam, bahwa ‘ashabiyah (fanatisme kesukuan) Bani Hasyim dan Bani Muththalib memiliki peranan penting bagi dakwah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Semangat inilah yang mengawal, menjaga dan melindungi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bukti yang paling nyata ialah sikap mereka terhadap kaum musyrik Quraisy dalam pemboikotan ini.

Tuduhan seperti ini tidak berasas sama sekali. Sangatlah wajar jika fanatisme jahiliyah      Bani Hasyim dan Bani Muththalib mendorong mereka untuk membela kehidupan anak paman mereka yang sedang menghadapi ancaman dari orang luar.

Fanatisme jahiliyah dalam membangkitkan fanatisme kekeluargaan, tidak pernah memandang kepada masalah prinsip dan tidak pernah terpengaruhi oleh kebenaran atau kebatilan. Permasalahannya hanyalah menyangkut masalah ‘ashabiyah semata-mata. Karena itu, kedua keinginan yang saling bertentangan tersebut dapat berhimpun pada diri keluarga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yakni menolak dakwah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan membela diri dari ancaman seluruh kaum musyrik Quraisy.

Sungguhpun demikian, manfaat apakah yang diperoleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari sikap solidaritas yang ditunjukkan oleh kerabatnya itu? Mereka telah dianiaya sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Terhadap pemboikotan yang kejam dan biadab ini. Bani Hasyim dan Bani Muththalib tidak dapat berbuat apa pun untuk meringankan penderitaan kaum Muslimin.

Sesungguhnya pembelaan kaum kerabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepadanya itu bukan pembelaan terhadap risalah dakwah yang dibawanya, tetapi pembelaan terhadap diri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari ancaman orang asing. Jika kaum Musliin dapat memanfaatkan pembelaan ini sebagai salah satu sarana jihad melawan kaum kafir dan menghadapi tidu daya mereka, maka itu merupakan upaya yang perlu disyukuri dan jalan yang perlu diperhatikan.

Akan halnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabatnya, maka faktor apakah yang membuat mereka mampu menghadapi kesulitan yang menyesakan dada ini? Apakah yang mereka harapkan di balik ketegaran terhadap pemboikotan yang aniaya ini?

Dengan apakah pertanyaan ini akan dijawab oleh orang-orang yang menuduh risalah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keimanan para sahabat kepadanya sebagai revolusi kiri melawan kanan, atau revolusi kaum tertindas melawan kaum borjuis?

Coba Anda renungkan kembali mata rantai penyiksaan dan penganiayaan yang pernah dialami Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, kemudian jawablah pertanyaan berikut: Apakah benar bahwa dakwah Islamiyah itu merupakan suatu pembrontakan ekonomi yang didorong oleh rasa lapar dan kedengkian terhadp kaum pedagang dan pemegang kendali perekonomian Mekkah?

Kaum musyrik sebelumnya telah menawarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kekuasaan, kekayaan, dan kepemimpinan, dengan syarat beliau bersedia meninggalkan dakwah Islamiyah. Mengapa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mau menerima tawaran tersebut? Mengapa para sahabatnya tidak memprotes dan menekan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam jika memang tujuan perjuangan mereka hanya sekedar mengisi perut agar menerima tawaran Quraisy? Adakah sesuatu yang dicari oleh orang-orang revolusioner kiri selain dari kekuasaan dan harta kekayaan?

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabatnya teah dikucilkan dalam suatu perkampungan yang terputus sama sekali. Segala bentuk kegiatan ekonomi dan soaial dengan mereka dihentikan, sampai mereka terpaksa harus makan dedaunan. Tetapi mereka tetap bersabar menghadapinya. Mereka tetap setia mendampingi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seperti inikah sikap yang akan ditunjukkan oleh orang-orang yang berjuang hanya mencari sesuap nasi?

Ketika hijrah ke Madinah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya telah meninggalkan harta kekayaan, tanah dan segala harta benda menuju Madinah Munawwarah. Mereka telah melepaskan segala harta kekayaan yang menjadi buruan orang-orang tamak dan rakus. Mereka tidak mengharapkan imbalan dari keimanan mereka kepada Allah. Dunia dan kekuasaan telah lenyap sama sekali dari pertimbangan mereka. Adakah ini menjadi bukti bahwa dakwah Islam merupakan revolusi kiri yang hanya bertujuan mencari sesuap nasi?

Untuk memperkuat tuduhan ini, mungkin mereka akan mengemukakan dua hal berikut ini:

Pertama, bahwa jama’ah generasi pertama dari pasa sahabat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di Mekkah mayoritas terdiri dari kaum fakir, budak dan orang-orang tertindas. Ini menunjukkan bahwa dengan mengikuti Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mereka akan bisa menyuarakan penindasan yang mereka alami. Di samping mereka dapat berharap akan terjadinya perbaikan taraf ekonomi di bawah naungan agama baru.

Kedua, bahwa sahabat tersebut tidak laam kemudian menaklukan dunai dan menikmati kekayaan. Ini merupakan bukti bahwa perjuangan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertujuan mencapai ssaran tersebut.

Jika Anda perhatikan kedua dalil yang mereka kemukakan untuk memperkuat tuduhan tersebut, dapat Anda ketahui betapa akal dan pola pikir mereka telah sedemikian rupa dikuasai oleh khayal dan hawa nafsu.

Memang mayoritas sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terdiri dari kaum fakir dan budak. Tetapi hal ini tidak memiliki kaitan sama sekali dengan khayal tersebut. Sesungguhnya syariat yang menegakkan timbangan keadilan di antar manusia dan menghancurkan setiap kedzaliman, pasti akan diperangi dan ditentang oleh orang-orang yang dzalim dan para tiran. Karena syariat ini, bagi mereka lebih banyak menimbulkan ancaman ketimbang kemaslahatan. Sebaliknya akan diterima dengan mudah oleh setiap orang yang tertindas dan teraniaya, bahkan setiap orang yang tidak terlibat dalam praktek kedzaliman dan pemerasan. Karena syariat ini akan lebih banyak memberikan kemaslahatan kepada mereka ketimbang kerugian. Atau karena mereka, sekurang-kurangnya tidak memiliki masalah dengan orang lain yang membuat mereka merasa berat untuk menerimannya.

Semua orang yang berada di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meyakini bahwa beliau berada dalam kebenaran, dan bahwa beliau adalah seorang Nabi dan Rasul Allah. Tetapi para pemimpin dan orang-orang yang haus kekuasaan tidak mau menerima dan berinteraksi dengan kebenaran, karena dihalangi oleh tabiat dan suasana mereka sendiri. Sementara orang-orang selain mereka tidak punya hambatan yang menghalangi mereka untuk menerima sesuatu yang diimani dan diyakininya. Dengan demikian, apakah hubungan antara hakekat yang dapat dipahami oleh setiap pengkaji Sirah ini dengan apa yang mereka tuduhkan? Mengenai tuduhan bahwa perjuangan dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertujuan menguasai sumber-sumber kekayaan dan pemerintahan, dengan dalih bahwa kaum Muslim telah berhasil memperoleh semau itu, maka tak ubahnya seperti orang yang berusaha mempertemukan antara timur dan barat.

Jika kaum Muslimin dlaam waktu singkat telah berhasil menaklukan negeri-negeri Romawi dan Persia setelah mereka secara baik melaksanakan Islam, maka apakah ini kemudian dapat dijadikan bukti bahwa mereka masuk Islam karena ambisi ingin merebut tahta Romawi dan Persia?

Seandainya kaum Muslimin memeluk dan mengikuti Islam karena ingin memperoleh kenikmatan dunia, niscaya mereka tidak akan pernah berhasil sedikitpun memperoleh mukjizat penaklukan tersebut.

Seandainya umar bin Al Khattab, ketika mempersiapkan tentara Al Qadisiyah dan melepas keberangkatan komandan pasukan Sa’d bin Abi Waqqash, bertujuan merebut harta kekayaan Kisra dan menduduki tahta kerajaannya, nisacaya Sa’d bin Abi Waqqash akan kembali kepada Umar dengan membawa kegagalan dan kekecewaan. Tetapi karena mereka benar-benar berjihad semata ingin membela agama Allah, maka mereka berhasil menaklukkannya.

Seandainya mimpi yang menggoda kaum Muslmin pada peperangan Al Qadisiyah adalah keinginan mendapatkan harta kekayaan dan meregukk kenikmatan hidup duniawi, niscaya Rabi’i bin Amir tidak akan pernah memasuki istana Rustum yang berhamparan permadani mewah, seraya menikamkan tombaknya ke atas permadani dan berkata kepada Rustum, “Jika kamu masuk Islam, kami akan tinggalkan kamu, tanahmu dan harta kekayaanmu, “Begitulah ucapan orang yang datang untuk merebut kekuasaan, tanah dan harta kekayaan?

Allah telah mengaruniakan segenap kemudahan dunia kepada mereka, karena mereka tidak pernah berpikir tentang kemegahan dunia. Pemikiran mereka sepenuhnya hanya tercurah pada upaya mewujudkan ridha Allah.

Seandainya jihad mereka bertujuan memperoleh kemegahan dunia, niscaya mereka tidak akan pernah mendapatkannya,walaupun cuman sedikit. Persolaannya tidak lain adlah terlaksananya ketentuan yang mengatakan: “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan merka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS Al Qashash: 5)

Ketentuan Ilahi ini akan mudah dipahami oleh akal siapapun, selama akal tersebut bebas dari segala bentuk perbudakan kepada tujaun atau ambisi apa pun (selain ridha Allah).