Pencerahan

Pencerahan sebagai terminologi yang beredar dalam kehidupan pemikiran adalah sebuah terminologi yang lahir di Barat dan mempunyai pengertian serta isyarat makna yang sesuai dengan latar belakang peradaban Barat, bahkan istilah ini merupakan satu tema pemikiran yang mendominasi fase tertentu dalam sejarah pemikiran Barat modern, hingga dikatakan tentang pembagian periode pemikiran ini: abad pencerahan; pemikir ini dari abad pencerahan; pemikir ini salah satu dari pemikir abad pencerahan dan begitu seterusnya.

Dalam definisi yang dibuat oleh Majma’ Al Lughah Al ‘Arabiyyah tentang istilah tanwir (enlightenment) atau pencerahan, dikatakan bahwa ia adalah satu gerakan filsafat pada abad delapan belas, yang menyerukan penggunaan akal dan kebebasan pendapat, meyakini pengaruh moralitas dan berdiri di atas pemikiran progressif dan bebas dari kekuasaan dan tradisi.

Karena kekuasaan dan tradisi yang mendominasi dan mewarnai kehidupan Eropa sebelum abad ini adalah kekuasaan agama dan hirarki Gereja serta tradisinya yang mengekang realitas kehidupan dan pandangan-pandangan ilmiah, maka kebebasan berpendapat yang ditampilkan oleh pencerahan Eropa adalah kebebasan dari cengkraman pemikiran gereja dan rasionalisme yang menolak dogma-dogma yang diajarkan oleh para tokoh gereja kepada masyarakat Eropa sebelum era pencerahan. Dalam menghadapi “aksi perbuatan” yang diwakili oleh aliansi Gereja dengan kaum borjuis, reaksi yang muncul dari gerakan pencerahan, yang menolak otoritas agama dan dominasi Gereja, adalah motto yang mengatakan: “Tidak ada otoritas atas akal kecuali akal itu sendiri.”

Jika akar-akar pencerahan dalam pengertian ini dapat ditelusuri dari Francis Bacon (1561-1626) yang menolak intervensi agama dalam ilmu pengetahuan, maka akar-akar ini telah memiliki perbedaan semenjak awal kemunculannya dengan menggantungkan harapan pada akal, ilmu pengetahuan dan filsafat, yang dijadikan sebagai pengganti agama dan keberagamaan, bahkan pengganti “Tuhan”, yaitu tuhan pencerahan.

Pada abad delapan belas, gelombang pencerahan mengalami pasang dan muncul tokoh-tokoh besar pencerahan seperti: Voltaire (1734-1778), Rousseau (1712-1778), Montesquieu (1689-1755), Herder dan Lessing (1729-1781), Goethe (1749-1832), Emunanuel Kant (1724-1804), dan lain-lainnya, sehingga abad ini dinamakan abad pencerahan.

Jika abad delapan belas adalah abad pencerahan Eropa, Voltaire adalah filosuf dan pemikir yang paling menonjol abad itu. Ia menyerukan agar mengagungkan akal, sebagai ganti mengagungkan agama dengan melakukan serangan keras terhadap agama dan Gereja; mengingkari alam gaib, hari kebangkitan dan balasan di akhirat; ia juga meyakini bahwa jiwa tidak lain adalah kehidupan tubuh yang musnah dengan kemusnahan tubuh. Di sana tidak ada wahyu suci selain alam itu sendiri. Ia banyak melancarkan kritik dalam tulisan-tulisannya. Sebab agama dijadikan oleh tokoh-tokoh gereja sebagai alat untuk membungkam penalaran akal manusia dan dijadikan oleh para raja serta kaum bangsawan sebagai alat merampas harta benda mereka. Voltaire mengemukakan pemikiran bahwa ukuran kebaikan terletak pada sejauh mana kesejahteraan sosial dapat dicapai, tanpa mengaitkan antara kebaikan itu dengan kepatuhan kepada Tuhan, atau pahala dan sangsi setelah kematian manusia. Hingga dalam masalah keberadaan Tuhan di alam ini getaran gelombang pemikiran Voltaire yang menggoncang fase-fase perkembangan pemikiran terhadap kepercayaan kepada Tuhan terus mengacu ke arah penolakan terhadap agama dan menyuburkan ateisme, atau mengakui keberadaannya hanya untuk mengendalikan perilaku masyarakat umum. Agama dipandang hanya sekedar untuk kemaslahatan umum: jika disana ada sebuah kampung maka diperlukan adanya agama dan jika Tuhan tidak ada, maka ada keharusan untuk menciptakan tuhan itu. Disana boleh jadi terdapat beberapa manfaat dalam agama, akan tetapi orang yang ragu tidak membutuhkan agama untuk memperkokoh kebaikan.

Ketika Voltaire, pada masa-masa akhir hidupnya, cenderung mengakui keberadaan Tuhan, ia memandang-Nya berbeda sama sekali dengan pandangan tentang Tuhan dalam agama Kristen. Ia pun menyerukan kepada satu agama: Tuhan dan toleransi, karena alam seluruhnya menunjukkan secara pasti akan adanya Tuhan. Sedangkan tentang Tuhan Anak (Jesus the Christ) dan Bunda Maria (the Virgin) menurutnya adalah masalah lain.

Pemikiran pencerahan dengan pengertian ini beredar luas: mengagungkan akal bahkan mendekati pemujaan di Inggris dan Perancis, bersamaan dengan meluasnya paham ateisme dan materialisme sehingga Thomas Hobbes (1588-1679) mengumumkan: “Di alam wujud ini hanya ada atom dalam kehampaan.” Era paska tokoh ini mencapai puncaknya pada awal revolusi Perancis (1789), ketika penduduk Paris membuat tempat peribadatan elok yang mereka sebut dengan Dewa Ahal dan mengatakan: mereka menurunkan Tuhan dari kerajaan-Nya bersamaan dengan penurunan keluarga Bourbon dari mahkotanya.

Untuk dapat memahami makna pencerahan Eropa ini, perlu kiranya memahami realitas pemikiran yang ditentang oleh semangat pencerahan ini. Gereja pada masa itu telah sedemikian rupa tenggelam dalam kebejadan dan kesewenang-wenangan. Kehidupan dunia dan ilmu pengetahuan menjadi statis karena diletakkan pada kerangka pemahaman Gereja dan hirarkinya. Penindasan tidak hanya dialami oleh para penentang tokoh Gereja saja melainkan juga dialami oleh para ilmuwan, bahkan pendeta Protestan di tengah masyarakat Katolik mendapat perlakuan kejam. Undang-undang Gereja (Canon) yang dibuat oleh para tokoh agama membolehkan sangsi terhadap wanita berupa hukuman seumur hidup dan hukuman mati bagi laki-laki dan para pemuka agama yang tidak sepaham dengan tokoh Gereja. Pada era Revolusi Perancis, diadakan prosesi berjalan sepanjang jalan-jalan protokoler untuk memperingati peristiwa pembantaian atas nama agama, sebagai rasa “syukur” kepada “tuhan” pencerahan. Undang-undang gereja (Canon) membolehkan bagi orang tua membunuh anaknya yang durhaka, dengan mengaku kepada Injil Matius 15: 4-6.

Demikianlah perkembangan dunia Eropa yang melatarbelakangi munculnya era pencerahan sehingga istilah ini (pencerahan) mempunyai pengertian khusus di Eropa. Sedangkan istilah pencerahan dalam bahasa Arab (at-tanwir) berarti saat menjelang terbit cahaya matahari di pagi hari yang menandai fajar telah menyingsing. Al Qur’an juga disebut dengan nur (cahaya):

“Maka berimanlah kepada Allah dan Rasulnya dan kepada cahaya (Al Qur’an) yang telah Kami turunkan.” (At Taghaabun: 8)

Istilah nur juga dipakai untuk:

“Allah pelindung bagi orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (Islam).” (Al Baqarah: 257)

Istilah nur juga dipakai untuk Rasul:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Rasul) dari Allah, dan kitab yang menerangkan.” (Al Maa’idah: 15)

Di samping itu nur dipakai untuk shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits: (“Shalat adalah cahaya orang mukmin.” (Muslim))

Begitu pula kata tanwir berarti waktu shalat subuh. Dikatakan dalam hadits: (“Terangilah (waktu subuh) dengan shalat fajar.” (Ad Darami))

Dan nur dipakai untuk hikmah. Dikatakan dalam hadits: “Sesungguhnya Allah menghidupkan hati dengan cahaya hikmah.” (Imam Malik)

Jadi semua orang mukmin adalah manusia yang bercahaya dan ia memiliki pencerahan Islam yang khas.

Jika pencerahan Islam ini adalah pencerahan dengan cahaya Islam, yaitu pandangan dengan intelektualitas Islam terhadap sumber-sumber suci Islam, fiqih dan hukum-hukum syari’ah, serta memberi jawaban atas tuntutan realitas modern, maka di pihak lain pencerahan Barat sekuler telah melakukan pemutusan hubungan dengan tradisi agama dengan menolak agama sebagai sumber acuan dan pijakan berpikir. Dengan kata lain pencerahan Barat membebaskan akal dari agama yaitu dengan membangun kontradiksi antara akal dan naql (teks-teks agama).

Penganut Kristen yang lahir dari gerakan reformasi Protestan pada mulanya menginginkan –pada tingkat agama– pengabdian hanya kepada Allah dan kitab suci-Nya; tidak kepada tokoh gereja dan tidak pula kepada “wakil Tuhan”, Paus. Sedangkan diwaktu sekarang, yaitu dengan pencerahan, telah melewati tahap berikutnya, dimana manusia Barat tidak lagi tunduk kecuali kepada akalnya yang dapat menundukkan segala sesuatu: ideologi induk ini yang dihasilkan oleh abad pencerahan bagi dunia dan yang melawan agama Kristen dengan cara keluar dari agama ini membawa nama semaran yang dibawa dari abad yang lalu: liberalisme. Paham ini memerangi agama katolik dengan segala kekuatannya. Warisan berikutnya adalah pertikaian internal yang melahirkan sosialisme.

Ideologi ini, yaitu pencerahan, adalah induk, dalam arti bahwa semua apa yang menjadi cabang dari padanya lahir dari perkembangan dan kontradiksi yang terjadi tanpa merusak kesenjangan epistemologis yang mimisahkan antara dua masa: masa pendek Saint Thomas Aquinas dan masa ensiklopedi bagi para filosuf pencerahan. Sejak itu harapan pada kerajaan Tuhan bergeser untuk ditempati era akal dan dominasi rasionalisme. Demikianlah sistem anugerah ilahiah surut lalu menghilang di hadapan sistem alam, dan manusia sendiri telah menjadi ukuran bagi manusia.[1]

Terdapat perbedaan mencolok antara tanwir (pencerahan) Islam yang bertolak dari agama dan pencerahan Barat hasil upaya manusia sekuler yang membangun kesenjangan antara epistemologi dan agama dan menghapus sistem anugrah ilahiah untuk diganti dengan sistem alam. Dari pencerahan Barat ini lahirlah di Barat liberalisme dan sosialisme.

Kiranya perlu dikemukakan di sini catatan ringkas tentang pencerahan Barat yang ditulis oleh salah satu pengagumnya dalam realitas pemikiran modern, yaitu Dr. Murad Wahbah dalam bukunya Al Maqulat Al ‘Asyr (Sepuluh Catatan) tentang pencerahan ini dengan mengatakan bahwa:

  1. Manusia adalah makhluq sosial dan menjadi bagian dari alam. Allah-lah yang memberinya bekal dan lebih dekat dengan binatang dari pada dengan Tuhan, bukan khalifah Allah yang diciptakan, dimuliakan dengan dihembuskan padanya ruh Tuhan atas semua makhluk. Kebahagiaan manusia ini bersifat duniawiah belaka, yang diperoleh pada cita rasa dan hasratnya.
  2. Perhatian manusia terbatas pada persoalan-persoalan dunia, kekinian dan alam indrawi, bukan alam lain atau apa yang ada dibalik alam ini.
  3. Agama yang patut dipegang adalah agama alam yang diciptakan oleh manusia dengan akalnya, bukan agama langit (samawi) yang datang dari balik alam indrawi dan citarasa agama dipandang sebagai perpaduan antara rasa takut yang menghantui manusia dan hasrat untuk mengubah kondisi menyedihkan yang dihadapi.
  4. Membebaskan agama dari kekuasaan agama dan memberdayakan potensi akal tanpa bantuan dari yang lain serta menempatkan akal pada otoritas mutlak bagi manusia dalam meraih dan mengatur hidupnya.
  5. Menempatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan pengalaman empirik menggantikan metafisika serta tidak memasukkan
  6. Memandang buah pikiran adalah fungsi akal, sebab otak mengeluarkan pikiran seperti halnya dengan hati mengeluarkan cita rasa. Disana tidak ada yang namanya ruh dalam diri manusia.
  7. Menebar keraguan dan distorsi terhadap otoritas Tuhan Yang Maha mutlak, sebab manusialah ukuran kemutlakan itu.
  8. Nilai-nilai moralitas diambil dari perkembangan alamiah manusia, sehingga yang berlaku adalah relativisme moral dan membatasi hubungannya dengan konsep tentang kebahagiaan dan kenikmatan tidak dengan nilai-nilai baku yang bersumber dari agama dan kebutuhan-kebutuhan rohaniah, dengan menjadikan prioritas utama pada aspekaspek fisiologis terhadap konsep-konsep moralitas dan intelektualitas. Jadi moral adalah ciptaan dan hasil upaya pengalaman manusia dan diambil dari kondisi fisiologis.
  9. Menempatkan asas sosiologis masyarakat di tempat agama sebagai jalan mencapai kebahagiaan duniawiah dengan citarasa dan hasrat alamiah. Sebab alamlah yang mengadakan manusia dan masyarakat bertanggung jawab atas kebahagiaannya.
  10. Undang-undang dikembalikan pada dasar-dasar fisiologis dan historis, dan membebaskan sejarah dari campur tangan sunnatullah serta memberi interpretasi sejarah dengan konsep-konsep alam, atau konsep-konsep moral diambil dari tabiat manusia.[2]

Ini semua adalah pencerahan materialistik yang menjadikan manusia sebagai binatang alam dan memutus semua hubungan antara dirinya dengan Tuhan dan juga dengan agama.



[1] Lihat Hisyam Shaleh dan Majalah Al Wihdah, ed Februari-Maret 1993, hal: 20-21, Maroko. Perolehan dari observasi dan eksperimen kedalam wilayah di balik akal dan empirisme sebagai pengetahuan naqliah dan wujdaniyyah (teks agama dan intuisi).

[2] Murad Wahbah, Mazhab ila At Tanwir, hal: 25-70, Kairo dan Kuwait.