Pendusta

“Mereka bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah bersaksi sesungguhnya mereka adalah pendusta.” (QS. At Taubah : 107)

Apa ruginya bila Abdullah bin Ubay legowo menerima kepemimpinan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam lahir batin? Tidak sedzarah-pun! Lihatlah, tak satupun tokoh Madinah yang ikut bersama Rasulullah jatuh dalam kehinaan. Kalaulah ia bersabar jabatan lapis kedua sangat mungkin diperolehnya. Lagipula, pastikah nominator pemimpin Madinah ini mampu melaju ke posisi tersebut dan krisis multidimensi terselesaikan? Konflik 12 dekade antara kabilah ‘Aus dan Khazraj di satu sisi dan dominasi ekonomi serta opini kaum Yahudi yang bermigrasi tahun 70 M ke Madinah menyusul gempuran raja Babilon, adalah persoalan yang tidak cukup diselesaikan dengan sifat melankolik dan aksi agitasi gaya Ibnu Salul ini.

Sejarah tidak berlebihan bila mengklaim, bahwa hanya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian disusul oleh Abu Bakar dan Umar yang mampu survive di medan yang serba keras itu. Bahkan ketegasan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam membakar masjid dhirar (teror) tak lain dari akurasi kearifan dan visinya yang jauh ke depan, hal yang sulit kita lakukan. Mungkin karena pemeliharaan citra atau karna bobot wibawa yang diperhitungkan tidak sebesar efek kehebohan menghukum seorang Ibnu Ubay lain di zaman lain, maka tak mudah mengeksekusi munafikin dan proyek-proyek dhirar-nya.

Lidah Nifaq yang Menjulur

Seseorang dari mereka berkata dalam perang Tabuk : “Tak pernah kulihat orang yang lebih rakus perutnya, lebih dusta lidahnya dan lebih pengecut dalam menghadapi lawan seperti para qari’ (Ahli Qur’an kita).” Joke murahan ini dimaksudkan sebagai sindiran bagi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para qari (ulama) sahabatnya. Auf bin Malik, seorang sahabat yang loyal mengancam. “Akan kulaporkan ini kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam!” Dan  betul, Auf berangkat melapor, namun Al Qur’an telah lebih dahulu mmemberitahu Rasulullah. Munafik pengkritik tadi pun datang kepada Rasulullah yang telah siap beraangkat dan menaiki untanya. “Ya Rasulullah, sungguh kami hanya bergurau dan berbincang seperti umumnya obrolan musafir untuk membunuh waktu.” Sang munafik itu-seperti dikisahkan Ibnu Umar- bergelayut di tali kekang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sementara batu-batu membentur-bentur kedua kakinya. Maka Rasulullah menjawabnya “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu berolok-olok?! Jangan membuat-buat alasan, kamu sudah kafir sesudah beriman.” (QS. At Taubah :65) Rasulullah tidak menoleh dan tidak menambah kalimat itu.

Sok Pintar

Sebagai bukti betapa tipis atau lenyapnya iman di hati munafikin, mereka tak pernah mengembalikan masalah kepada faktor takdir, kecuali mungkin dalam hal maksiat dan pelanggaran mereka sendiri. Perencanaan  yang matang, mayoritas mujahid yang taat dan disiplin yang kemudian menjadi naif lantaran sikap indisipliner sebagian kecil prajurit, sebagai akibat pesona dunia atau hasutan kaum munafikin sendiri, selalu mereka jadikan alasan untuk menuduh pimpinan dakwah ini sebagai  salah urus, bodoh dan tidak tanggap.

“..Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, sedangkan segolongan lain telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan ) dalam urusan ini?’ Katakanlah: Sesungguhnya urusan itu seluruhnya ditangan Allah.’ Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. Mereka berkata:  ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini,  niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ Katakanlah: Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh’ Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (QS Ali Imran:153).

Nampak jelas, akar semua kemunafikan berpangkal kepada dha’ful iman (lemah iman). Adalah perasaan iri, dengki, takut kibr (takabur), yang menghantui hati mereka. Iri terhadap kekuatan dakwah yang terus melaju, walaupun dihadang berbagai rintangan. Dengki karena orang-orang yang mereka lecehkan selama ini; Muhammad pemimpin ‘pengungsian’  yang ‘menggeser posisi mereka’  dan kaum ‘loyalis dungu’ yang begitu setia mendukungnya, ternyata semakin memperlihatkan kemajuan yang spektakuler. Takut untuk berterus terang, memusuhi dakwah dan atau menyerah sepenuh hati kepada Allah dan kepemimpinan dakwah Rasul. Takabur, karena mereka melihat para pengikut nabi adalah rakyat jelata.

Mereka tak punya semangat berkompetisi positif  (ruh tahaddiyat) yang seharusnya dapat membuka mata mereka, betapa gerakan akar rumput bisa menumbangkan para kisra dan kaesar, hal yang tak pernah dikenal sejarah sebelum ini. Sebaliknya, obsesi-obsesi kemenangan  Yahudi yang mereka khayalkan akan mengayomi mereka dan membagi kue kemenangan ini, menambah carut marutnya sikap laku nifaq mereka. Penyakit elit kaum Nabi Nuh as yang berkilah dengan paradigma kesetaraan mereka dengan Nabi Nuh dan perasaan mereka lebih tinggi daripada pengikutnya yang hina dina  di antara kami yang lekas percaya saja (QS. Hud:27), telah menjauhkan mereka sejauh-jauhnya dari kebenaran.

Karya Hipokrit

Klaim tujuan baik yang mereka gencarkan tak menutup niat tersembunyi mereka untuk memecah belah kaum Muslimin dan mengajak kekuatan dakwah untuk berseberangan dengan para pemimpinnya. Bahkan pun bila mereka membangun masjid-juga berbagai institusi lainnya- selalu bermotif demikian. Masjid tentu bukan karena menara atau kubahnya disebut masjid, melainkan karena pengikutnya. Demikianlah, ‘Adamut tajarrud (kehilangan totalitas kesetiaan) telah mendorong mereka merasa perlu mengakses umat. Tak henti-hentinya mereka mengajak umat dan bahkan mengundang Rasulullaah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk sudilah kiranya shalat disana. Jadilah masjid dhirar (teror). Karenanya Allah melarang Rasulullah ke sana, karena akan diikuti umat dan akhirnya kekuatan nifaq berhasil menggantikan posisi iman, kejujuran, keadilan dan persaudaraan.

Apa jadinya bila kaum munafikin yang di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah minoritas pengintai, bergerak menjadi jumlah besar jamahiri yang arogan. Apabila mereka berpaling, mereka bekerja untuk merusak di bumi dan menghancurkan lading dan keturunan.” (QS. Al Baqarah :205). Dua elemen berharga masyarakat, yaitu kaum perempuan dan anak-anak telah dihancurkan dan nilai-nilai mulia ditinggalkan. Apabila di era pascakolonialisme mereka menjadi kekuatan dominan maka bala’ dengan cepat akan menimpa, setidaknya dalam bentuk dominasi kafirin dan munafikin dalam pemerintahan di tengah mayoritas bangsa Muslim. Kufur dan nifaq menjadi suatu sistem penuh keajaiban; penjajahan baru sesama bangsa dengan umat Islam sebagai tertuduh utama proses kehancuran, hanya karena status mereka.

Umat yang kuat perkasa laksana singa ini telah mendapat kepala yang lain, hasil trasplantasi: kepala tikus, dengan progam, ambisi, obsesi, cita-cita, keberanian dan moral tikus! Para pengganggu dakwah dapat muncul dalam wujud kepala cangkokan atau elemen yang menyempal dari tubuh dakwah dan tak henti-hentinya melancarkan provokasi, tuduhan dan pelecehan terhadap dakwah saat dakwah mendapatkan cobaan dan pukulan. Tapi ia merengek-rengek meminta pengakuan dan dukungan dakwah saat ia terancam. Ia yakin dakwah tak akan mendendam, apalagi membalas. Karenanya tanpa malu-malu ia mempolitiki dakwah dan berpura-pura lupa pada kekejian dan kekotoran kata-katanya selama ini.

Imunisasi

Sangat menyakitkan menanggung persoalan yang bersumber dari dalam shaf umat sendiri. Sakit, karena serangan musuh tidak sepedih itu. Karenanya harus ada reserve sikap agar dakwah tetap survive. Sikap itu ialah, jangan sekali-kali menganggap kekuatan munafik bagian dari umat, walaupun secara syar’i ia berhak atas beberapa perlakuan seperti umat Islam lainnya. Jangan beri peluang untuk merayu, karena semua niat baik  yang kita niatkan bagi maslahat umat  hanyalah akan menjadi keuntungan yang mereka panen untuk keuntungan mereka.

Kepada Fir’aun, Nabi Musa ‘alaihissalam diperintahkan untuk mengucapkan qaulan layyina (ucapan yang lembut). Kepada kedua orang tua kita diperintahkan berkata santun (qaulan karima). Tetapi kepada kaum munafikin dan yang berbakat nifaq, Al-Qur’an menyuruh kita berkata tegas (qaulan baligha).

About Redaktur

https://slotjitu.id/ https://adslotgacor.com https://adslotgacor.com/bandar-togel-online-4d-hadiah-10-juta https://linkslotjitu.com/ https://slotgacor77.id https://slotjudi4d.org/slot-gacor-gampang-menang https://slotjudi4d.org/ https://togelsgp2023.com https://s017.top https://slotjitugacor.com/