Semua orang yang mengaku muslim pasti wajib mengerjakan shalat sesuai dengan tata cara shalat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab beliau telah memerintahkan kita melakukan shalat sesuai dengan tata cara yang beliau ajarkan.
Rasanya tidak ada seorang ulama pun yang membuatbuat sendiri tata cara shalat di luar dari apa yang telah beliau tentukan, karena hukumnya haram.
Gerakan Shalat Adalah Ritual
Gerakan shalat dan juga bacaannya merupakan tata cara peribadatan yang bersifat ritual, turun dari langit dibawa oleh Malaikat Jibril ‘alaihissalam, sebagai paket amanat yang harus dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ummatnya.
Kejadiannya setelah malam sebelumnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerima perintah prinsip shalat lima waktu. Ketika mengajarkan gerakan dan bacaan shalat itu, Jibril tidak memberi keterangan apapun tentang makna atau rahasia di balik gerakan dan ucapan di dalam shalat. Jibril hanya memberi contoh kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbagai gerakan itu seperti berdiri, bersedekap, ruku’, i’tidal, sujud, duduk di antara dua sujud atau duduk tahiyat.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penerima paket ritual ibadah shalat, juga tidak bertanya tentang makna gerakan-gerakan itu. Namun beliau hanya melakukan apa adanya saja, tanpa ada satu pun penjelasan. Hingga beliau wafat, tidak pernah terlontar dari mulut beliau tentang makna gerakan dan posisi tubuh saat shalat.
Para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim kemudian mengerjakan gerakan shalat sebagaimana mereka melihat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengerjakannya. Namun dari 124.000 orang shahabat, tidak satu pun dari mereka yang kemudian berupaya secara serius atau sekedar mencoba-coba sambil iseng untuk memaknai gerakan dan posisi shalat itu.
Bahkan sampai 14 abad kemudian umat Islam di seluruh permukaan bumi ini mengerjakan shalat, tidak ada satu pun yang mencari-cari atau mengarang-ngarang sendiri tentang makna dan posisi tubuh dalam shalat.
Karena pada hakikatnya gerakan shalat itu tidak boleh dicarikan makna atau rahasia, karena memang tidak pernah ada penjelasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk itu. Karena gerakan itu semata-mata merupakan gerakan ritual yang merupakan ketetapan dari Allah, dimana Dia hanya mau disembah hanya dengan cara itu. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala justru sama sekali tidak memberikan penjelasan atau pun alasan tentang makna-maknanya.
Perbedaan paling nyata antara agama Islam dengan agama lain adalah masalah originalitas. Alasan kita untuk tetap memeluk Islam adalah karena hanya Islam saja agama yang masih utuh terjaga orisinalitasnya, tidak tercampur dengan unsur kreasi dan rekayasa manusia.
Agama samawi yang pernah Allah turunkan sudah cukup banyak, bahkan tidak kurang 124.000 nabi dan rasul telah diutus. Tapi nyaris tak satu pun yang selamat dari penodaan tangan-tangan manusia, termasuk penyelewengan dan pemutar-balikan.
Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, semua agama yang pernah diturunkan sebelumnya dibatalkan dan tidak berlaku lagi. Cukup satu agama saja yang berlaku dan cukup satu nabi saja yang dijadikan rujukan, yatiu agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Apa yang diajarkan oleh beliau, maka itulah agama Islam. Sebaliknya, apa yang tidak beliau ajarkan, berarti hal itu bukan bagian dari agama Islam.
Gerakan shalat yang kita lakukan setiap hari tidak lain adalah gerakan yang beliau ajarkan. Asal gerakan-gerakan itu bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang disampaikan melalui malaikat Jibril alaihissalam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diminta memperhatikan tata cara gerakan shalat yang didemonstrasikan oleh malaikat yang paling mulia itu, kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengikuti gerakan-gerakan itu dengan seksama.
Setelah itu, barulah di depan para shahabat, beliau mempraktekkan gerakan-gerakan shalat yang baru saja beliau saksikan langsung dengan kedua bola mata beliau dari gerakan malaikat Jirbil. Para shahabat diminta untuk memperhatikan dengan seksama, seraya beliau bersabda,
“Shalatlah kalian seperti apa yang telah kalian lihat aku shalat.” (HR. Ibnu Hibban: 1658)
Maka seluruh shahabat menjalankan gerakan shalat persis sebagaimana mereka melihat dan menyaksikan langsung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya.
Gerakan-gerakan itu adalah ritual ibadah yang asli dan original, datang langsung dari Sang Pencipta alam semesta, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diturunkan sebagai tata cara ritual bagaimana cara menyembah-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya ridha kalau disembah dengan cara demikian.
Seandainya gerakan-gerakan itu diganti, atau dimodifikasi, atau dikarang-karang sendiri oleh otak manusia, sudah bisa dipastikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan ridha. Bahkan meski seseorang berniat untuk mempersembahkan sebuah koreografi gerakan peribadatan yang dahsyat, tetap saja Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerimanya sebagai bentuk peribadatan.
Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah menetapkan kehendak-Nya. Dia tidak mau disembah kecuali dengan gerakan-gerakan ritual khusus yang Dia sendiri menentukannya.
Walhasil, gerakan-gerakan itu memang semata-mata gerakan ‘magis’, yang kita tidak pernah tahu kenapa harus demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika memerintahkan gerakan-gerakan itu kepada Nabi-Nya lewat Jibril, tidak menyertakan rahasia atau makna, apalagi manfaat dari semua itu. Maka siapa pun yang mencoba untuk mencari makna, apalagi mengaku-ngaku mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik semua gerakan itu, kita sepakat bahwa pastilah semua itu hanya dusta penuh hayal yang Cuma sekedar hasil imajinasi otak manusia. Wajar bila tidak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan sebaliknya, malah mendatangkan murka dari-Nya, karena telah mencampuri apa yang menjadi hak dan wewenang Allah.
Itulah perbedaan paling prinsipil antara ritual ibadah dalam Islam dengan ritual ibadah dalam agama paganis para penyembah berhala. Tata cara ibadah ritual dalam Islam telah diatur sedemikian rupa langsung oleh Allah, dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tanpa sedikit pun campur tangan kretifitas manusia.
Sedangkan ritual ibadah agama selain Islam, baik yang dilakukan oleh kalangan penyembah berhala, atau pun agama samawi lain yang sudah tidak berlaku lagi, mereka dengan sepenuh kreatifitas imajinatif, serta dengan luapan hayal yang tinggi, berlomba-lomba menciptakan berbagai macam bentuk ritual peribadatan.
Tentu saja sembari berusaha memaknai setiap gerakan ritual itu, tentu sesuai dengan nafsu, rasa, cara pandang, dan selera masing-masing. Agama-agama itu hanyalah sesuatu yang diciptakan oleh tangan-tangan kreatif manusia, persis seperti seni budaya yang merupakan hasil akal budi. Ibarat pencak silat, dimana sang suhu menciptakan berbagai macam kreasi jurus, semua adalah hasil pemikiran akal. Tiap jurus memang mengandung makna tertentu.
Semua itu tidak berlaku pada ritual ibadah shalat dalam Islam. Tidak ada satu pun yang berhak menjelaskan rahasia dan makna di balik tiap gerakan shalat, karena gerakan-gerakan itu memang bukan untuk diterjemahkan maknanya.
Gerakan itu untuk dijalankan sebagai bentuk perintah dalam beribadah.
Perbedaan Bacaan dan Gerakan Shalat
Kalau memang semua gerakan itu datang dari Rasulllah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan sumbernya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui malaikat Jibril, lalu muncul pertanyaan, kenapa masing-masing berbeda dalam tata cara shalat?
Mana yang benar, apakah yang telunjuknya goyang-goyang tatkala tasyahhud, atau yang lurus saja? Mana yang sesuai sunnah Nabi, apakah yang tangannya di dada ataukah di atas perut? Apakah yang basmalah-nya jahr ataukah yang tidak terdengar, atau malah tidak membaca basmalah sama sekali?
Ternyata ketika harus menetapkan shalat yang seusai dengan tata cara shalat nabi, para ulama dan fuqaha berbeda pendapat. Ada yang membaca doa qunut dalam shalat shubuh dan ada yang tidak. Ada yang tarawihnya 11 rakaat, ada yang 23 rakaat, bahkan Umar bin Abdul Aziz bertarawih dengan 36 rakaat.
Ada kalangan yang berpendapat bahwa kalau sujud, lututnya harus menyentuh tanah terlebih dahulu baru kemudian tangannya. Tetapi ada juga yang sebaliknya, tangannya terlebih dahulu menyentuh tanah baru lututnya.
Dan begitulah, kita setiap hari melihat perbedaanperbedaan itu di tengah umat Islam. Perbedaan itu ada sejak mulai takbir hingga salam, dengan sekian banyak variasi pendapat para ulama.
Seri Fiqih dan Kehidupan
Buku ini ditulis sesuai dengan manhaj yang telah digunakan umat Islam sepanjang 14 abad ini, yaitu di atas hasil ijtihad mulia para mujtahidin dan para fuqaha, khususnya dalam ilmu fiqih yang muktamad, yang merujuk kepada kitab-kitab induk ilmu fiqih dari -setidaknya- 4 mazhab yang diakui validitas dan originalitasnya di dunia Islam.
Namun buku ini tidak lain hanya sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas. Para ulama ahli fiqih pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di muka bumi.
Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah tidak dapat menikmati warisan itu, salah satunya karena kendala bahasa.
Padahal tak satu pun ayat Al-Quran yang turun dari langit kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil pun huruf keluar dari lidah nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali dalam bahasa Arab.
Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa Indonesia ini menjadi upaya seadanya untuk mendekatkan umat ini dengan warisan agamanya. Tentu saja buku ini juga diupayakan agar masih dilengkapi dengan teks berbahasa Arab, agar masih tersisa mana yang merupakan nash asli dari agama ini.
Buku ini merupakan buku ketiga dari Seri Fiqih Kehidupan yang Penulis susun. Insya Allah setelah buku ini sudah siap cetakan berikutnya yaitu bab-bab tentang puasa, zakat, haji, ekonomi atau muamalah, nikah, waris, hudud dan bab lainnya.
Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih, manhaj yang kami gunakan adalah manhaj muqaranah dan wasathiyah.
Kami tidak menyampaikan satu pendapat ulama saja, tapi beberapa pendapat sekaligus, tentu bila memang ada khilaf di antara para ulama tentang hukum-hukum tertentu, dengan menampilkan juga hujjah masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami serahkan kepada para pembaca.
Barangkali ada sebagian saudara kita yang agak kurang setuju dengan pola penulisan atau dengan isi dari buku ini, Penulis hanya bisa memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Niatnya tentu sama sekali bukan untuk merendahkan atau melecehkan pendapat yang barangkali tidak sama. Niat utama hanya ingin menyampaikan amanat ilmu yang telah dipelajari dari para ulama salaf, baik yang dikenal lewat tulisan mereka atau pun lewat pertemuan langsung para ulama kontemporer, dimana Penulis dapat menimba ilmu dari mereka.
Tentu saja buku ini sangat jauh dari ideal, karena pasti disana-sini sarat dengan kekurangan dan ketidaksempurnaan.
Tak ada gading yang tak retak, begitu kata pepatah. Kesalahan pengetikan sampai kesalahan yang barangkali pada esensi buku ini mungkin saja terjadi di luar kemampuan penulis.
Namun bukan berarti kekurangan itu mengurangi niat baik saya untuk dapat mempersembahkan tulisan ini kepada para pembaca. Setidaknya, diharapkan ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan baik secara langsung atau tidak langsung.
Terakhir Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para guru yang telah mengajarkan alif-ba-ta ilmu syariah ini. Di antaranya adalah Dr. Salim Segaf Al-Jufri, Dr. ‘Atho Sya’ban, Dr. Umar Ridhwan, Dr. Ahmad Al-Khatam, Dr. Salim Salamah, Dr. Huzaemah T Yanggo, Dr. Anwar Ibrahim Nasution, Dr. Maghfur, Dr. Ali Mustafa Ya’qub, MA dan yang lainnya.
Dan last but not least, terima kasih yang setinggitingginya terutama kepada orang tua saya, Drs. KH. M Machfudz Basir (alm) dan Ibunda H. Chodidjah Djumali, MA (alm). Mereka berdua telah sejak dini menumpahkan ilmu dan kasih sayang kepada saya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa-dosa mereka dan menjadi kubur mereka raudhah min riyadhil jinan, Amein Ya Rabbal ‘Alamin.
Akhirnya, semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat karena bukan sekedar dimengerti isinya, tetapi yang lebih penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Faqir ilallah
Ahmad Sarwat, Lc