Telah disebutkan terdahulu bahwa tujuan kajian ini adalah untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang baku dari Al Qur’an, Sunah Nabi, dan ijma’, menyangkut berbagai persoalan yang diperselisihkan oleh banyak kelompok gerakan Islam, agar ia menjadi pemersatu dan agenda bersama.
Selain itu, menjelaskan juga sejumlah hal tsawabit nisbiyah (hal baku yang relatif) yang telah menjadi pilihan kuat secara ilmiah yang seyogianya seluruh gerakan Islam sepakat atasnya. Hal-hal inilah yang hendaklah dapat menyatukan kelompok-kelompok gerakan Islam kontemporer dan memeliharanya dari fitnah, perpecahan, dan pertikaian.
Kemudian juga menjelaskan tentang perbedaan berikut segala yang tercakup di dalamnya dengan semua hal yang bersifat zhanni (dugaan) dan ijtihadi yang tidak boleh menjadi faktor penyebab terpecahbelahnya barisan atau dikait-kaitkannya wala’ dan bara’ denganya, atau karenanya sekelompok gerakan memberi vonis dengan ungkapan “dosa” atau “keluar dari Jamaatul Muslimin” kepada mereka yang tidak sependapat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah membuat satu pembahasan ihwal satunya agama dan ragamnya syariat, dan ini berlaku atas para pemeluk satu syariat dengan persepsi yang beragam. Hal ini –sebagaimana ia sebutkan- merupakan masalah pokok yang mencakup, bermanfaat dan agung nilainya. Kami membangun pandangan dengannya untuk memahami persoalan di atas, dan kami jadikan titik tolak untuk menertibkan kembali lembaran-lembaran perjalanan gerakan Islam kontemporer yang sarat dengan fitnah dan perpecahan hingga ia terancam kegagalan. Selain itu, Kami menambahkan apa yang kami beri nama tsawabit nisbiyah –sebagaimana disebutkan di depan- yang berarti pilihan-pilihan ilmiah dalam sebagian persoalan ijtihadiah, di mana menyepakatinya merupakan suatu keharusan demi bersatunya gerakan.
Karena itulah, dalam melakukan kajian ini kami bertitik tolak dari prinsip bahwa hal-hal pokok dari Al Qur’an, Sunah, Ijma’ ulama berbagai jamaah ini, ibarat agama bersama yang dianut oleh para nabi. Tidak boleh seorang pun keluar darinya atau menentangnya. Barangsiapa masuk, maka ia adalah pemeluk Islam murni, yakni ahlusunah wal jamaah, dan barangsiapa keluar darinya atau menentang sebagiannya, maka ia termasuk ahli bid’ah dan pemecah belah.
Adapun yang mereka perselisihkan, ada dua macam berikut ini.
Pertama, ikhtilaf tanawu’ (perselisihan dalam keragaman). Yaitu segala perkataan dan perbuatan syar’i yang memiliki keragaman hukum. Ia bukanlah hal yang saling kontradiksi, karena adanya dalil yang menjadi dalil kebenarannya. Ini seperti keragaman yang dibawa oleh para nabi, sebagaimana difirmankan Allah Swt.,
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. (Al Ankabut:69)
Ada orang yang berkiprah dalam jihad, ada yang berkiprah dalam amar ma’ruf nahi mungkar, ada yang berkiprah dalam mencari ilmu, dan ada yang berkiprah dalam infak dan jihad dengan hartanya. Demikianlah seterusnya. Antara berbagai amal itu tidak ada kontradiksi dalam keragamannya tidak mencerminkan cacat atau penyelewengan. Demikian itu karena secara keseluruhan, semua amal tersebut menghidupkan berbagai kewajiban dan pembaharuan Islam yang saling menyempurnakan.
Hakikat ini telah diisyaratkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah setelah berbicara tentang kesatuan agama dan keragaman syariat diantara para nabi dan tentang keharusan bersatu dalam agama. Beliau berkata, “hal prinsip dan tetap dalam Kitab, Sunah, dan Ijma’ adalah ibarat agama bersama yang dianut para nabi. Seseorang tidak boleh keluar darinya , dan barang siapa masuk, maka ia termasuk pemeluk Islam murni dan termasuk golongan ahlusunah wal jamaah. Sedangkan keragaman mereka dalam perbuatan dan perkataan yang disyariatkan, seperti halnya keragaman yang dibawa oleh para nabi, Alloh Swt. berfirman,
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. (Al Ankabut:69)
Allah juga berfirman,
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaannya ke jalan-jalan keselamatan. (Al Maidah:16)
Allah juga berfirman,
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya (Al Baqarah:208). Keragaman terkadang dalam hal-hal yang bersifat wajib, namun terkadang juga dalam hal yang sunah.”[1]
Setelah memberikan beberapa contoh dalam keragaman, selanjutnya beliau berkata, “Hal ini dan yang semisalnya menyerupai keragaman syariat para nabi, sebab mereka sepakat bahwa Allah memerintahkan kepada tiap-tiap mereka dengan agama yang universal dan beribadah kepada Allah dengan syariat dan manhaj tersebut. Sebagaimana umat Islam juga sepakat bahwa Allah memerintahkan tiap-tiap Muslim dengan sesuatu yang diperintahkan berdasarkan Al Qur’an, baik perintah wajib maupun sunah. Walaupun beragam jenis perbuatan diberbagai kalangan umat, namun keyakinan dan objek pengabdian mereka tidaklah berbeda, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang salah. Mereka semua sepakat tentang itu, dan sebagian dari mereka membenarkan sebagian yang lain.”[2]
Kedua, perselisihan yang tidak menyalahi Ijma’ dan tidak tergolong menggelincirkan ulama. Ini kedudukannya juga seperti keragaman syariat para nabi di satu sisi, namun berbeda dari sisi lain.
Adapun sisi persamaanya adalah masing-masing dari orang yang berselisih diperintahkan untuk mengamalkan hasil ijtihadnya. Kalau mereka mengamalkan yang tidak sesuai dengannya, maka ia dianggap salah dan berdosa. Ini semisal dengan realitas bahwa setiap nabi diperintahkan untuk mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya dari Tuhannya. Seseorang tidak boleh mewajibkan orang lain untuk mengikutinya, sebagaimana seorang nabi tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada nabi yang lain.
Jika suatu dalil yang semula tersembunyi bagi seseorang lalu menjadi jelas, kemudian orang itu berpindah kepadanya, maka yang demikian itu ibarat kasus nasakh bagi nabi. Hanya saja, ijtihad itu mengganti keyakinan, sedangkan nasakh pada hakikatnya mengganti hukum.
Para mujtahid mengikuti para ulama atau umara yang memimpin mereka dalam hal yang boleh diikuti dan diperintahkan untuk mengikuti hasil ijtihadnya, sebagaimana pengikut-pengikut para nabi terhadap nabinya masing-masing, walaupun syariatnya berbeda dengan syariat nabi sebelumnya. Hanya saja, keragaman syariat bagi pengikut-pengikut para mujtahid bukan karena keragaman perintah itu sendiri yang turun kepada rasul, melainkan karena keragaman kondisi mereka, di mana ada sebagian mendapati persepsi tertentu yang tidak ditemukan oleh yang lain.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun hal yang menyerupai di satu sisi dan berbeda di sisi yang lain adalah perselisihan mereka dalam hal yang dibenarkan terjadi dan boleh diamalkan, yaitu ijtihadnya para ulama, para syaikh, umara, dan raja-raja. Seperti ijtihad para sahabat dalam hal menebang atau membiarkan pohon kurma (dalam perang, penerj.). demikian juga perselisihan mereka tentang shalat Asar ketika Rasul mengutus mereka ke Bani Quraidhah, di mana Rasul memerintahkan agar mereka tidak shalat Asar kecuali di Bani Quraidhah. Sebagian kaum melaksanakan shalat Asar di tengah perjalanan pada waktunya seraya berkata bahwa yang dikehendaki Rasul adalah mendorong perjalanan lebih cepat dan bukan melewatkan shalat dari waktunya, sedangkan sebagian yang lain menunda shalat hingga mereka tiba di Bani Quraidhah dan melaksanakan shalat Asar setelah habis waktunya karena berpegang teguh pada teks ucapan Rasul yang bersifat umum. Dalam hal ini Nabi tidak mencela salah satu dari dua kelompok ini.
Beliau bersabda,
Jika seorang hakim berijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Sedangkan bila ia berijtihad dan salah, maka ia mendapatkan satu pahala.”[3]
Dalam masalah-masalah yang mereka perselisihkan, para sahabat sepakat untuk saling mengakui dalam mengamalkan ijtihad masing-masing, seperti beberapa masalah dalam ibadah, pernikahan, hukum waris, hibah, politik, dan sebagainya. Ibnu Taimiah melanjutkan, “Adapun sisi perbedaanya, para nabi ‘alaihis salam itu ma’shum (terjaga) dari sikap bertahan dalam kesalahan, berbeda dengan seorang ulama dan umara. Oleh karenanya, kita boleh bahkan wajib menerangkan kebenaran yang harus diikuti, walaupun di dalamnya terdapat penjelasan tentang kesalahan dari ulama dan umara tersebut. Sedangkan para nabi, salah seorang dari mereka tidak menjelaskan kesalahan nabi yang lain. Akan halnya sisi persamaannya, masing-masing diperintahkan untuk mengikuti kebenaran yang tampak olehnya berdasarkan dalil yang syar’i, tidak boleh salah seorang dari mereka mewajibkan yang lain untuk mengikuti. Sebagaimana nabi diperintahkan mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya, tidak boleh seorang nabi mewajibkan agar nabi yang lain mengikutinya. Boleh jadi dalil yang semula samar telah menjadi jelas bagi seorang mujtahid, maka perpindahannya dari suatu hasil ijtihad ke hasil ijtihad yang lain adalah melalui ijtihad pula. Ini menyerupai nasakh pada seorang nabi, hanya saja kalau perpindahan hasil ijtihad itu mengubah keyakinan, sedangkan nasakh mengubah hakikat hukum. Para pengikut diperintahkan untuk mengikuti pemimpinnya, baik dari kalangan ulama maupun umara dalam hal yang boleh diikuti dan ada perintah untuk mengikuti ijtihadnya, sebagaimana umat diperintahkan untuk mengikuti nabi yang diutus kepada mereka walaupun syariatnya berbeda dengan syariat nabi sebelumnya. Keragaman syariat bagi mereka bukan lantaran keragaman suatu perintah yang turun kepada seorang rasul, melainkan lantaran keragaman keadaan mereka. Sedangkan dalam ijtihad, ada seorang mujtahid yang wahyu tersampaikan kepadanya dan dapat memahaminya, dan ada mujtahid lain yang tidak menerima penyampaian itu, atau sampai kepadanya tetapi tidak dipahaminya sebagaimana yang dipahami mujtahid yang lain.[4]
Jadi perbedaannya terdapat pada kemaksuman para nabi di satu sisi, dan kemungkinan salahnya para imam mujtahid di sisi yang lain. Karena itulah, menjelaskan kebenaran kepada ulama atau umara menjadi kewajiban, siapa pun mereka. Berbeda halnya dengan para nabi. Salah seorang dari mereka tidak perlu menjelaskan kesalahan yang lain, sebab masing-masing mereka diluruskan oleh wahyu yang maksum.
Allah memerintahkan para nabi berpegang teguh kepada ajaran-Nya secara lahir dan batin, sedangkan para imam mujtahid tidak demikian. Akan halnya untuk mereka dikatakan, bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan setiap mereka untuk mencari kebenaran sesuai dengan kadar peluang dan kemampuannya. Jika dapat mencapai kebenaran, itulah yang diharapkan. Sedangkan bila salah, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.
Dalam segala keadannya, mujtahid dimaafkan dan mendapatkan pahala. Karena itu, barangsiapa mencelanya atas sesuatu yang Allah sendiri tidak menghukumnya, berarti ia telah melampaui batas. Sebagaimana pula orang yang menjadikan perkataan dan perbuatan mujtahid seperti kedudukan nabi yang maksum, berarti ia juga telah melampaui batas dan memperturutkan hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah Swt.
Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun berbagai mazhab, pola pemahaman, dan siasat para ulama, para syaikh, dan umara, jika dengan itu mereka mengharapkan ridha Allah bukan memperturutkan hawa nafsu, dan karena mereka ingin berpegang teguh kepada agama yang universal yaitu beribadah hanya kepada Allah di mana tiada sekutu bagi-Nya, dan mengikuti Kitab dan Sunah sesuai kemampuannya setelah melakukan ijtihad, maka hal ini laksana kedudukan ajaran dan manhaj para nabi. Mereka mendapatkan pahala atas tujuan mereka mencari ridha Allah dan beribadah kepada-Nya tanpa menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, sebagaimana para nabi mendapatkan pahala atas ibadah mereka kepada Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya. Mereka memperoleh pahala atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dalam berpegang teguh kepada syariat jalan nabinya. Setiap nabi juga mendapatkan pahala atas ketaatannya kepada Allah.
Tuntunan dan manhaj para mujtahid bisa beragam, seperti sampainya hadits kepada mereka dengan redaksi yang tidak sama dengan yang diterima oleh yang lain, yang ini mengakibatkan ragam penafsiran Al Qur’an karenanya. Dengan itu, cara yang dipakai seorang mujtahid untuk mengambil kesimpulan hukum dari suatu teks dalil juga berbeda dengan cara yag ditempuh oleh yang lain. Ini semua berdampak pada ibadah dan pengarahan-pengarahannya. Yang satu berpegang pada satu ayat atau hadits tertentu, sedangkan yang lain dengan ayat atau hadits yang lain lagi.
Demikian juga berlaku dalam hal ilmu. Ada ulama yang membawa para pengikutnya menempuh jalannya, sehingga thariqah-nya itulah syariat mereka. Hingga ketika mereka mendengar pendapat ulama yang lain pun tetap menganggap bahwa pendapat syaikhnya yang lebih kuat. Dengan begitu, ucapan dan perbuatan mereka pun menjadi beragam. Mereka diperintahkan untuk menegakkan agama dan tidak bercerai-berai sebagaimana para rasul diperintahkan. Mereka diperintahkan untuk tidak memecah belah umat, melainkan menjadi umat yang satu sebagaimana para rasul diperintahkan demikian. Bahkan mereka seharusnya lebih dari itu, karena mereka dipadukan oleh satu syariat dan satu kitab.
Dalam hal yang mereka perselisihkan, tidak kemudian dikatakan bahwa Allah memerintahkan mereka agar berpegang teguh dengan hasil ijtihadnya lahir dan batin layaknya para nabi –walaupun ini juga menjadi pandangan sekelompok ahlulkalam- akan tetapi yang dikatakan adalah, bahwa Allah Swt. memerintahkan mereka untuk mencari kebenaran sesuai dengan kesanggupannya. Jika mendapatkannya, maka itulah yang diharapkan, namun jika tidak, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai batas kemampuannya.
Orang-orang beriman berkata, “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau siksa kami jika kami lupa atau salah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab, “Aku telah lakukan.”
Allah kemudian berfirman,
“Tidak ada dosa atasmu karena kesalahan yang kamu perbuat.”
Karena itu, barang siapa mencela mereka atas suatu yang Allah tidak memberikan sanksi atasnya, maka berarti ia telah melampaui batas, dan barangsiapa ingin menjadikan perkataan dan perbuatan mereka seperti kedudukan perkataan dan perbuatan nabi yang maksum, lalu membelanya tanpa petunjuk dari Allah, maka berarti ia juga telah melampaui batas dan memperturutkan hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Adapun orang yang mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya sesuai dengan kondisinya, yakni berupa ijtihad yang ia sanggupi atau taklid jika ia tidak mampu berijtihad, dan dalam taklidnya ia mengikuti jalan yang adil, maka ia adalah orang yang proporsional. Sebab perintah itu dikerjakan bersyaratkan kemampuan. Allah tidak membebani seseorang, kecuali dalam batas kemampuannya.
Setiap Muslim di mana saja wajib menundukkan dirinya kepada Allah dengan ihsan dan bertahan dalam ketundukan ini. Ketundukan diri adalah keikhlasannya kepada Allah, sedangkan ihsan adalah melakukan yang baik. Renungkanlah ini, sesungguhnya ia adalah pokok persoalan yang mencakup, bermanfaat dan agung nilainya.”[5]
Telah kami kemukakan di depan bahwa dari berbagai hal ini ada yang menjadi keharusan untuk disepakati oleh berbagai kelompok Islam kontemporer demi terwujudnya kesatuan yang didambakan, karena erat kaitannya dengan titik tolak dan pilar pokok dalam perjalanan gerakan Islam itu sendiri, namun ada pula yang tidak harus disepakati karena tidak terkait dengan agenda-agenda umum dan wilayah pengaruhnya yang tidak melampaui batas-batas sikap individual.