“Ajarkanlah sastera pada anak-anakmu, agar anak pengecut jadi pemberani.”
(Nasihat Umar bin Khattab)
Kerisauan pengarang buku ini ialah bahwa ketika akhir-akhir ini krisis besar melanda negeri, “Kita justru mengalami kelangkaan pahlawan”. Memang itu sama kita rasakan. Lebih risau lagi Anis Matta selanjutnya memperkirakan bahwa dengan demikian telah lampak “isyarat kematian sebuah bangsa”. Tapi jangan, janganlah kiranya malapetaka sakratul maut itu terjadi.
Pahlawan yang didambakan Anis bukan saja pahlawan yung membebaskan bangsa dari krisis besar atau pahlawan di medan peperangan gawat, tapi jauh lebih luas lagi bentangannya-pahlawan dunia pemikiran, pendidikan, keilmuan, pebisnis, kesenian dan kebudayaan. Demikianlah esensi renungannya yang dapat kita tangkap dari himpunan 76 kolom Serial Kepahlawanan majalah Tarbawi ini.
Bacaannya yang luas dalam sejarah kepahlawanan dunia Islam memungkinkan pengarang membentangkan panorama tarikh (sejarah) sejak zaman Rasulullah sampai masa kini secara informatif dalam kemasan kolom ringkas dan padat, sependek 400-500 kata. Tidak mudah menulis ringkas bernas, seperti juga tidak gampang bicara pendek padat makna. Menulis panjang bertele-tele dan berbual berlama-lama, mudah. Kolom-kolom alit Anis ini sedap dibaca, bahasanya terpelihara, puitis di sini-sana, pilihan judul mengena, metaforanya cerdas, pesannya jelas, dan disampaikan dengan rendah hati.
• Menurut Anis, sejarah sesungguhnya “merupakan industri para pahlawan.” Dalam “skala peradaban” setiap bangsa bergiliran “merebut piala kepahlawanan.” Mereka selalu muncul di saat-saat sulit, atau sengaja (Allah) lahir (kan mereka) di tengah situasi yang sulit. Pahlawan sejati senantiasa pemberani sejati. Keberanian itu fitrah tertanam pada diri seseorang, atau diperoleh melalui latihan. Keduanya ini berpijak kuat pada keyakinan dan cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Dengarlah nasihat Umar bin Khattab: “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.”
• Pahlawan dari generasi sahabat punya daya cipta sarana materi di tiga wilayah: di medan perang, dalam percaturan politik dan di dunia bisnis. Abu Bakar dan Utsman bin Affan biasa menginfakkan total hartanya, bukan sekedar marginnya, untuk memulai usaha dari nol kembali, karena mereka yakin pada kemampuan daya cipta sarana materi mereka. Umar bin Khattab dan Abdurrahman bin Auf selalu menyedekahkan 50% hartanya untuk ummat. Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid; keduanya adalah petarung sejali, pemimpin sejati dan juga pebisnis sejati. Berkata Umar: “Tak ada pekerjaan yang paling aku senangi setelah perang di jalan Allah, selain dari bisnis.” Ini menjelaskan mengapa generasi sahabat bukan hanya mampu memenangkan seluruh pertempuran, tapi juga mampu menciptakan kemakmuran setelah mereka berkuasa.
• Pahlawan mukmin sejati tidak membuang energi mereka untuk memikirkan apakah ia akan ditempatkan dalam sejarah manusia, apakah ia akan ditempatkan dalam liang lahat Taman Pahlawan. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana meraih posisi paling terhormat di sisi Allah SWT. Kata kunci mencapai ini adalah keikhlasan. Inilah yang membedakan mereka dengan pahlawan sekuler. Sama menderita masuk penjara, sama terbuai di tiang gantungan, tapi yang satu karena dunia fana, dan yang satu lagi karena Allah semata.
Tiga butir pikiran Anis Matta di tiga paragraf di atas, saya kutipkan untuk cicipan awal para pembaca sebelum menikmati sendiri hidangan kumpulan kolom yang laziz jiddan ini. Tapi Anis tidak selalu serius, dia sesekali bisa juga melucu. Di kolom “Sahabat Sang Pahlawan” dikisahkannya pahlawan ilmu dan sastra kita, Buya Hamka, yang datang bersama isteri beliau ke sebuah majelis, memenuhi undangan ceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, protokol juga mempersilakan isteri beliau untuk berceramah. Ini dilakukan dengan sangkaan baik saja: isteri sang ulama mungkin juga memiliki ilmu yang sama. Dan, isteri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Tapi itu cuma satu menit. Setelah memberi salam, isleri beliau berkata: “Saya bukan penceramah. Saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”
Selamat menikmati buku Mencari Pahlawan Indonesia ini. Semoga, seperti yang disebutkannya dalam kolom paling akhir, yang dicari itu “bahkan sudah ada di sini. Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka.” Mudah-mudahanlah begitu.
Jakarta, 3 Ramadhan 1424 H / 29 Oktober 2003.
Taufiq Ismail