Keempat, generasi muslim telah melewati sekian abad lamanya dengan menghirup mata air keutamaan mereka, mengambil pelita dengan cahaya kemuliaan mereka, menjadikan metode pendidikan mereka dan berjalan pada jalan mereka di dalam membina kemuliaan.
Hal tersebut dilakukan sampai tiba masanya di mana hukum Islam terlepas dari masyarakat Islam, rambu-rambu kekhilafahan Islam lenyap dari permukaan bumi dan musuh-musuh Islam dapat mencapai tujuan mereka yang keji dan busuk dalam mengubah dunia Islam menjadi umat yang saling bertengkar, menjadi negara-negara yang saling berperang dan bersaing, yang didorong oleh hawa nafsu dan ketamakan serta dicerai-beraikan oleh konsep-konsep (non-Islami).
Sehingga mereka mengekor di belakang hawa nafsu dan berbagai kelezatan, tergila-gila di dalam lumpur penghalalan segala cara. Mereka berjalan tanpa arah tujuan. Mereka hidup tanpa ada usaha untuk mencapai kemuliaan, kemandirian, dan eksistensi diri. Mereka tampak bersatu, padahal hati mereka terpecah-belah. Mereka tampak bagai suatu kekuatan, padahal sebenarnya hanyalah buih yang dibawa arus, sehingga banyak di antara para pembaharu dan dai diserang penyakit pesimistis dan kronis keputusasaan, disebabkan timbulnya keyakinan bahwa mereka tidak mempunyai jalan lagi untuk dapat memperbaiki umat, tidak ada lagi harapan untuk dapat mengembalikan kemuliaan, kejayaan, dan eksistensi umat ini.
Bahkan ada di antara para dai yang hanya berdakwah dengan mengisolasi diri di rumah-rumah kosong berdasar anggapan bahwa masa sekarang ini adalah akhir masa, dan sudah waktunya bagi seorang muslim untuk keluar dengan kesadaran sendiri dengan membawa sebagian hartanya menuju gunung-gunung dan belahan-belahan bumi, lari dengan membawa agamanya dari berbagai malapetaka (fitnah) hingga ia meninggal dunia[1].
Fenomena keputusasaan di dalam mengupayakan perbaikan ini lahir dari tiga sebab:
- Ketidaktahuan terhadap tabiat agama.
- Cinta dunia dan takut mati.
- Ketidaktahuan terhadap tujuan dari pemberlakuan akhlak muslim.
Perincian ketiga item tersebut adalah sebagai berikut:
- Ketika kaum muslimim meyakini bahwa Islam adalah dinnul quwwah (agama yang kuat). Sebagai isyarat Al Quran dalam hal ini adalah:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS. Al Anfaal: 60)
Ketika mereka menyadari bahwa Islam adalah dinnul ilmi (agama ilmu): tanpa membedakan ilmu syarak dan ilmu alam. Sebagai isyarat Al Quran dalam hal ini adalah:
“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114)
Ketika mereka memahami bahwa Islam memandang manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi untuk memegang tampuk kekuasaannya, mengekspresi kandungan-kandungannya, mengeluarkan simpanan-simpanannya, dan memperhatikan setiap rahasia yang tersimpan di dalamnya. Sebagai isyarat Al Quran dalam hal ini adalah:
“Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.” (QS. Al An’am: 165)
Ketika mereka mengerti, bahwa Islam telah memuliakan dan mengutamakan manusia atas semua makhluk Allah untuk memikul tanggung jawab dan melaksanakan kepentingan yang dimandatkan kepadanya. Isyarat Al Quran dalam hal ini adalah:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al Isra’: 70)
Ketika mereka menyadari, bahwa Islam memandang manusia harus bertanggung jawab terhadap akal dan inderanya apabila ia menyia-nyiakannya dan menelantarkannya, sebagaimana isyarat Al Quran:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” (QS. Al Isra’: 36)
Ketika mereka memperhatikan, bahwa Islam memandang alam ini dengan segala isinya telah ditundukkan untuk manusia, agar dipergunakan sebagai sarana mengabdi kepada ilmu dan kemanusiaan. Sebagai isyarat Al Quran dalam hal ini adalah:
“Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya…” (QS. Al Jatsiyah: 23)
Ketika mereka sampai pada kesimpulan, bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan untuk berpikir dan merenung tentang penciptaan langit dan bumi untuk mencapai kebenaran yang pasti. Sebagai isyarat Al Quran dalam hal ini adalah:
“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi..’”(QS. Yunus: 102)
Ketika mereka mengerti, bahwa Islam adalah agama yang mendorong untuk bekerja, berprestasi, dan dinamis sebagaimana isyarat Al Quran:
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjuru dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 15)
Ketika mereka meyakini, bahwa Islam melarang berputus asa. Isyarat Al Quran dalam hal ini adalah:
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan orang-orang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Ketika mereka memutuskan, bahwa Islam adalah agama kehormatan dan kemuliaan, sehingga mereka harus memperhatikan dan mengangkat panjinya di seluruh dunia yang diisyaratkan Al Quran:
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS Al Munafiqun: 8)
Ketika kaum muslimin memahami agama mereka dalam semua aspek tersebut, dan umat manusia mengetahui tabiat agama dan hakikat Islam, maka mereka tidak akan dihinggapi oleh keputusasaan, dan rasa putus harapan pun tidak akan mempengaruhi jiwa mereka. Bahkan mereka akan pergi ke medan dakwah, perdamaian, dan pembinaan, agar mereka kembali –sebagaimana para pendahulunya- pulang menjadi guru bagi dunia, pembimbing umat dan menara-menara yang berkilauan di kehidupan yang gelap sehingga umat manusia dapat menghirup ilmu dan menyerap sumber pengetahuan dan kebudayaan mereka sepanjang masa sampai Allah mewariskan bumi dengan segala isinya.
- Ketika kaum muslimin –termasuk para ulama dan dai yang menyerukan ke jalan Allah- telah terlepas dari kecenderungan cinta dunia dan berlebih-lebihan dalam bersenang-senang dengan kelezatan dan kemewahan; ketika mereka menjadikan bimbingan bagi manusia, perbaikan masyarakat dan usaha menegakkan hukum Allah di muka bumi sebagai cita-cita mereka yang paling besar, tujuan ilmu mereka dan bahkan merupakan pokok dari segala tujuan, landasan berpijak dan niat.
Ketika mereka bebas dari rasa takut, cemas dan benci terhadap kematian; ketika mereka merasa yakin bahwa rezeki itu berada di tangan Allah; yang memberikan marabahaya ataupun manfaat itu hanyalah Allah; apa yang ditimpakan oleh Allah kepada mereka itu pasti (terjadi), tidak akan pernah luput, dan apa yang dihindarkan oleh Allah dari mereka itu pasti tidak akan (terjadi) mengena terhadap mereka; sekiranya seluruh umat itu bersatu untuk memberikan sesuatu manfaat kepada mereka, tentu tidak akan dapat terealisasi kecuali berdasarkan ketentuan (sebelumnya) yang telah ditetapkan oleh Allah buat mereka; dan bahwa sekiranya mereka itu bersatu pula untuk menimpakan sesuatu marabahaya terhadap mereka, tentu tidak akan terlaksana kecuali sesuai dengan ketentuan (sebelumnya) yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap mereka.
Ketika kaum muslimin meyakini semua ini dan terbebas dari sebab-sebab kelemahan dan rasa takut, maka ketika itu pula mereka akan bertolak menuju medan-medan dakwah kepada Allah dan arena pendidikan, pembinaan, dan perbaikan umat. Mereka menyampaikan risalah Tuhan dengan tanpa rasa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah semata-mata. Bahkan mereka benar-benar merasa yakin bahwa Allah pasti memberikan pertolongan, memantapkan mereka di muka bumi, menggantikan rasa takut dengan rasa aman, rasa hina dengan rasa mulia dan bercerai berai dengan persatuan. Semua itu tidaklah sulit bagi Allah jika saja mereka telah meluruskan niat, membulatkan tekad dan bebas dari putus asa, cemas, dan cinta dunia.
- Ketika kaum muslimin menyadari, bahwa mereka diciptakan di dalam kehidupan (dunia) untuk suatu tujuan yang luhur dan mulia, yakni tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah dengan firman-Nya:
“Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Akan tetapi, pengertian “ibadah” apakah yang diinginkan Allah dari kita atau yang diperintahkan dan diperingatkan kepada kita ini?
Ibadah, adalah ketundukan dan kepatuhan terhadap jalan-Nya yang tetap dan lurus.
Ibadah adalah beban amanah yang ditawarkan oleh Allah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung kemudian mereka tidak sanggup menerima dan tidak mampu memikulnya.
Ibadah adalah tugas yang terus-menerus dalam membebaskan manusia dari beribadah kepada sesama hamba untuk beralih beribadah hanya kepada Allah, membebaskan mereka dari kesempitan dunia kepada kelapangannya dan dari kejahatan agama-agama kepada keadilan Islam.
Ibadah adalah memberikan loyalitas kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.
Ibadah adalah penolakan terhadap prinsip-prinsip yang tidak bersumber dari syariat Islam.
Inilah fungsi dan tugas kaum muslimin di muka bumi dan inilah tujuan hidupnya. Karenanya, ketika seorang muslim memberikan loyalitasnya kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin maka pada saat itulah ia menjadi seorang hamba Allah; ketika ia mengemban amanat dengan jiwa penuh iman dan tekad yang benar maka ia telah menjadi seorang hamba Allah. Ketika ia tidak menerima selain hidayah Allah dan syariat agama-Nya maka ia telah menjadi seorang hamba Allah. Ketika ia terus menerus berada dalam pergerakan dan jihad untuk membebaskan manusia dari beribadah kepada sesama hamba menuju beribadah kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada kelapangannya, dan dari kejahatan agama-agama kepada keadilan Islam, maka pada saat itu pula ia telah menjadi seorang hamba Allah.
Kalau tidak demikian, maka sungguh ia telah menjadi hamba kesenangan, hamba hawa nafsu, hamba taghut, hamba keputusasaan dan kejumudan (statis) yang berjalan tanpa arah dan tujuan, tanpa penerangan dan petunjuk. Firman Allah Subhanahu Ta’ala:
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah kami jadikan orang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 122)
Dengan demikian, hendaklah kaum muslimin betul-betul mengetahui tabiat mereka; hendaknya mereka itu membebaskan diri dari cinta dunia dan takut mati; hendaknya mereka tahu atas tujuan apa mereka diciptakan, dan atas dasar apa mereka dilahirkan, sehingga mereka dapat bangkit kembali dengan Islam, mengembalikan kemuliaan mereka yang telah hilang, membangkitkan tekad mereka yang kuat, kekuatan mereka yang besar dan persatuan mereka yang universal. Bagi Allah semua itu tidak sulit sama sekali.
Kelima, akan tetapi, jalan apa yang perlu ditempuh untuk menuju perbaikan itu? Bagaimana langkah permulaan yang tepat dalam membina masyarakat ideal itu? Tugas apa yang dibebankan di atas pundak orang tua, pendidik, dan pembaharu pada masa sekarang ini? Semua pertanyaan ini, pada dasarnya berada pada satu pijakan dasar dan mengarah pada satu tujuan.
Persoalan-persoalan di atas berpijak pada satu dasar pijakan, yaitu bahwa setiap orang yang merasa berkepentingan dengan perdamaian dan merasa bertanggung jawab dengan persoalan pendidikan, akan berusaha untuk mengubah kenyataan pahit yang banyak dialami umat manusia dan menyumbangkan apa saja yang dimilikinya, berupa fasilitas-fasilitas, supaya ia dapat melihat masyarakat ini berada pada taraf yang layak, kehidupan yang sejahtera dan mulia.
Kemudian persoalan-persoalan tersebut mengarah kepada satu tujuan, yaitu bahwa setiap orang yang bekerja di bidang pendidikan, pembinaan dan perbaikan, akan mengerahkan kekuatan dan tekadnya untuk mendirikan masyarakat ideal dan menciptakan umat yang kuat iman, moral, jasmani, ilmu dan mental, supaya dapat mencapai kemenangan yang gemilang, kesatuan dan kemuliaan yang besar dan luas.
Akan tetapi, apa daya untuk melakukan semuanya ini? Apakah sarana yang digunakan dan bagaimana langkah-langkah pelaksanaannya?
Jawabannya mungkin dalam bentuk kata singkat, yaitu kata “pendidikan”. Tetapi kata ini mengandung indikasi yang banyak, lingkup yang luas dan pengertian-pengertian yang universal.
Di antara indikasi dan pengertiannya adalah: pendidikan individu, keluarga, masyarakat, dan pendidikan umat manusia. Masing-masing dari pendidikan tersebut memiliki banyak aspek yang semuanya mengacu kepada pendirian masyarakat yang utama dan menciptakan umat yang ideal.
Pendidikan anak tidak lain hanyalah merupakan bagian dari pendidikan individu, di mana Islam berusaha mempersiapkan dan membinanya supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna dan insan yang saleh di dalam kehidupan ini.
Bahkan pendidikan anak, jika telah dilaksanakan dengan baik dan terarah, maka ia tidak lain adalah fondasi yang kuat untuk mempersiapkan pribadi yang saleh dan yang bertanggung jawab atas segala persoalan dan tugas hidupya.
Keenam, buku yang ada di hadapan pembaca ini, tidak lain merupakan uraian suatu metode yang sempurna dan tepat tentang Pendidikan Anak dalam Islam. Ketika Allah memberikan taufik kepada pembaca untuk membaca buku ini, maka akan pembaca ketahui bahwa di antara keistimewaan At Tasyri’ Al Islami (Perundang-undangan Islam) ini adalah keistimewaan universalitasnya. Keuniversalan yang sempurna bagi apa saja yang dapat membahagiakan umat manusia di dalam agama dunia dan akhiratnya. Akan jelas pula bagi Anda bahwa Islam itu mempunyai sistem pendidikan dan metode pembinaan. Ketika para pendidik mempergunakan sistem dan metode ini, maka kemantapan, kesentosaan, dan kebahagiaan akan menggantikan kekacauan, kecemasan, dan kesengsaraan. Dan akan tampak jelas pula bagi kedua mata Anda bahwa Islam adalah agama kehidupan, agama kemanusiaan, agama kesadaran, pendidikan dan pembinaan. Ketika umat manusia menggunakan petunjuk Islam, menghirup mata airnya dan negara-negara mengambil dasar dan undang-undangnya, maka kedamaian akan menguasai dunia ini, rambu-rambu keutamaan masyarakat akan terlihat jelas oleh mata, dan manusia akan hidup di bawah naungan Islam dengan aman dan bahagia.
Mengapa demikian? Sebab, Islam adalah agama Allah, Tuhan semesta alam, risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam dan syariat yang universal dan sempurna yang diridai Allah Subhanahu Ta’ala bagi umat manusia untuk menjadi undang-undang, peraturan, dan sistem.
Ketujuh, sebagaimana telah diketahui, bahwa perpustakaan Islam sangat miskin akan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan masalah pendidikan anak. Hingga sekarang –dari hasil penelitian kami- belum terdapat sebuah buku yang komplit, menyeluruh dan secara khusus membahas pendidikan anak sejak lahir sampai usia taklif (wajib memikul kewajiban-kewajiban), kecuali buku Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud karya Ibnul Qayim Al Jauziyah. Hanya saja buku tersebut sekadar membahas tentang anak-anak yang dilahirkan dan hukum-hukum yang berkenaan dengannya. Namun demikian, kami banyak mengambil pengertian dari bagian pertama buku ini untuk penulisan pasal ketiga dan selanjutnya. Semoga Allah memberikan pahala kepada pengarang buku tersebut, dan menempatkannya pada tempat yang tinggi di akhirat.
Allah mengetahui berapa banyak tenaga yang telah kami kerahkan dan referensi yang telah kami jadikan rujukan untuk menyajikan kepada para pembaca sebuah buku yang komplit, sempurna dan mandiri, yang memuat pendidikan anak sejak dari masa kelahiran, sampai masa balita, masa remaja dan selanjutnya masa dewasa.
Bahasan dalam buku ini juga mencakup metode yang sempurna yang wajib dijembatani oleh para orang tua, pendidik dan setiap orang yang bertugas sebagai pembina dan pendidik. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, buku tersebut telah hadir di hadapan Anda dengan memenuhi arah dan tujuan serta menguraikan berbagai cara dan tujuannya. Namun demikian, kami tidak beranggapan, bahwa buku ini sudah sempurna, lengkap atau terjamin bebas dari suatu kesalahan. Tetapi, kami berharap kepada Allah, semoga langkah pertama ini menjadi sugesti bagi para pemikir Islam untuk mengasah pena mereka, dan menggerakkan tekad mereka untuk menulis tentang pendidikan anak, memperbanyak pembahasan dan karangan untuk menerangkan cara-cara dan tujuan-tujuannya, agar dengan segera kita dapat melihat perpustakaan Islam telah dipenuhi oleh buku-buku dan pembahasan-pembahasan paedagogis. Di samping itu, agar setiap orang yang berkepentingan dalam masalah pendidikan memiliki referensi yang cukup untuk mengikuti metode yang paling utama dalam mempersiapkan anak secara Islami, membina secara rohani, moral dan rasional. Apabila karya dan usaha setiap individu dalam penulisan tentang pendidikan Islam sudah mencapai kuantitas yang memadai dan mereka telah melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya di bidang ini, berarti mereka telah menerangkan jalan menuju kemuliaan dan kekuatan kepada generasi masa kini, dan telah menjelaskan kepada setiap manusia cara-cara praktis yang membawa kepada berdirinya masyarakat mulia dan terbentuknya generasi ideal.
Kedelapan, kami berpendapat, sebaiknya dalam menerbitkan buku berjudul Tarbiyatul Aulad fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam) dibagi dalam tiga bagian secara kronologis. Setiap bagian memuat beberapa pasal, dan setiap pasal mengandung beberapa topik bahasan. Judul-judul dan pasal-pasal dalam setiap bagian itu akan tersusun seperti berikut:
Bagian Pertama terdiri dari empat pasal:
- Perkawinan Ideal dan Kaitannya dengan Pendidikan.
- Perasaan Psikologis terhadap Anak-anak.
- Hukum Umum dalam Hubungannya dengan Anak yang Baru Lahir. Dan pasal ini terdiri dari empat bahasan. Pertama: Yang dilakukan pendidik ketika melahirkan. Kedua: Anak dan hukumnya. Ketiga: Akikah anak dan hukumnya. Keempat: Mengkhitankan anak dan hukumnya.
- Sebab-sebab Kelainan (Kenakalan) pada Anak-anak dan Penanggulangannya.
Bagian Kedua, kajian khusus di bawah sebuah tajuk “Tanggung Jawab Terbesar Bagi Para Pendidik”. Bagian ini terdiri dari tujuh pasal:
- Tanggung Jawab Pendidikan Iman.
- Tanggung Jawab Pendidikan Moral.
- Tanggung Jawab Pendidikan Fisik.
- Tanggung Jawab Pendidikan Rasio.
- Tanggung Jawab Pendidikan Psikologis.
- Tanggung Jawab Pendidikan Sosial.
- Tanggung Jawab Pendidikan Seksual.
Bagian Ketiga terdiri dari tiga pasal dan penutup:
- Media-media Pendidikan yang Berpengaruh.
- Prinsip-prinsip Dasar dalam Pendidikan Anak.
- Saran-saran Paedagogis.
- Penutup.
Itulah garis-garis besar, pasal-pasal dari tiap bagian dari buku ini. Pembaca akan mengetahui, bahwa pada setiap pasal ini terdapat pembahasan yang penting dan topik-topik berguna yang semuanya bertujuan untuk menjelaskan metode paling utama dalam pendidikan yang tepat guna bagi anak-anak dan dalam mempersiapkan mereka untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi kehidupan, menjadi pasukan-pasukan yang kuat untuk kepentingan Islam, dan pemuda-pemuda tangguh yang mampu membawa makna-makna kehormatan, pengorbanan, dan patriotisme dalam jiwa mereka.
Akhirnya, kami memohon kepada Allah Subhanahu Ta’ala semoga menjadikan karya kami ini sebagai karya yang ikhlas untuk mendapatkan keridaan-Nya. Semoga Allah menerima amal kami ini pada hari pertemuan dengan-Nya nanti, dan semoga menjadikan rangkaian tulisan ini sebagai sarana mencapai suatu kegunaan bagi hamba-hamba Allah dan cahaya serta petunjuk bagi setiap orang yang ingin berjalan di dalam kehidupan ini pada petunjuk dan jalan yang lurus. Karena hal itu adalah harapan yang paling utama dan layak untuk direalisir.
Abdullah Nashih Ulwan
[1] Imam Bukhari telah meriwayatkan hadits dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Hampir datang suatu masa, di mana harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang diseret ke puncak gunung dan ke tempat tetesan air, dia melarikan agamanya dari berbagai fitnah.”
Hadits ini ditujukan kepada orang yang terkena fitnah dengan agamanya dan dipaksa untuk murtad. Namun apabila selagi kaum muslimin masih ramai menyiarkan Islam, melaksanakan hukum-hukum Islam untuk kepentingan diri mereka, masih ada jalan untuk menuju kepada saling tolong-menolong di antara mereka dan terealisasinya kemuliaan Islam, maka haram bagi kaum muslimin untuk memilih uzlah dan bersembunyi, karena –menurut kaidah ushul- “Kewajiban tidak akan terlaksana kecuali harus dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”. Oleh karenanya, wajib bagi kaum muslimin sekarang juga untuk melaksanakan hukum-hukum Allah, menegakkan pemerintahan Islam. Jika tidak, maka seluruh kaum muslimin berdosa.