Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya, meminta pertolongan, memohon ampunan, dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal kita. Barangsiapa diberi petunjuk Allah, niscaya tidak ada yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa yang disesatkan, niscaya tidak ada yang bisa menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah. Dia Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Tatkala Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi dan rasul di muka bumi, beliau seorang diri. Beliau terasing di tengah-tengah kaumnya yang penuh kesyirikan, penolakan atas keberadaan Ilahi serta merajalelanya kerusakan. Beliau diutus untuk mengubah keadaan tersebut, mengembalikan manusia pada penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mendudukkan mereka di atas manhaj yang benar, serta menyampaikan dan mengajarkan ajaran Allah kepada mereka.
Pada mulanya yang mengimani Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah beberapa orang yang masih memiliki hati nurani yang bersih, kelurusan fitrah, serta jiwa yang mulia. Lalu mereka senantiasa berada di sekitar beliau dan membelanya dalam berdakwah. Kebanyakan mereka berasal dari Makkah, sedangkan yang berasal dari kabilah-kabilah lain yang di luar Makkah jumlahnya sedikit sekali. Seluruh pengikut yang beriman itu menjadi “orang asing” di negeri sendiri dan di tengah komunitasnya.
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta pengikutnya yang beriman senantiasa berjuang menegakkan dan menolong agama ini. Mereka memperbanyak pengikutnya, mendirikan daulah Islam, hingga keterasingan inipun sirna. Mulailah kabilah-kabilah di sekitarnya berbondong-bondong memeluk Islam.
Pada mulanya berdirilah daulah Islam di Madinah. Selanjutnya, kekuasaannya terus meluas hingga mencapai sebagian besar Semenanjung Arabia. Kota Makkah pun ditaklukkan. Utusan-utusan berbagai kabilah mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, berbaiat kepada beliau untuk masuk Islam. Sampai akhirnya Allah ‘aza wa jalla menyempurnakan agama ini, melengkapi nikmat dan anugerah-Nya kepada orang-orang beriman yang ridha terhadap Islam sebagai agama mereka.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak diwafatkan Allah ‘aza wa jalla melainkan setelah Dia perlihatkan kemenangan agama-Nya pada beliau. Para pengikutnya memperoleh kedudukan dan kekuasaan di muka bumi dan meluluhlantakkan berhala dan patung-patung, mengalahkan Yahudi dan virus-virus lainnya, serta menundukkan seluruh Semenanjung Arabia kepada Islam.
Setelah Rasulullah wafat, untuk kali pertamanya keretakan terjadi dalam realitas kaum muslimin. Perselisihan tersebut dikenal dengan Yaumus Saqifah[1], yakni perbedaan pendapat mengenai pemilihan sang pemimpin.
Berakhirnya masa kekhalifahan dua khalifah Rasyidin, Abu BAkar Ash-Shiddiq radhliyallahu ‘anhu dan Umar bin Khaththab ra, untuk kedua kalinya keretakan terjadi. Sebenarnya, Umar bin Khaththab ra adalah pelindung yang memelihara kamum muslimin dari gejolak fitnah. Maka ketika sang khalifah ini terbunuh (syahid), pelindung inipun hancur. Berbagai jenis finah mulai menghinggapi kehidupan kaum muslimin.[2]
Setelah berakhir masa kekhalifahan Khulafa’ Rasyidin (selama 30 tahun) sebagaimana yang diberitahukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam terjadilah keretakan kali ketiganya[3]. Sepeninggal masa kekhalifahan khalifah kedua belas terjadilah perpecahan kali keempatnya[4]. Dengan berakhirnya masa generasi mulia (shahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in) terjadilah perpecahan untuk yang kelima kalinya[5]. Dan beginilah seterusnya.
Namun, meski didera perpecahan silih berganti, kaum muslimin dapat memperluas wilayahnya dengan membuka berbagai kota hingga banyaknya orang-orang yang memeluk Islam di masa itu dan sesudahnya.
Islam akan Kembali Menjadi Asing
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang asingnya ajaran Islam di masa awalnya dan mengisyaratkan keterasingan pada masa selanjutnya serta bagaimana keadaan orang-orang yang dianggap asing ini dengan sabdanya:
“Agama Islam datang dalam keadaan terasing, dan kelak ia akan kembali dianggap asing sebagaimana awal mula dulu. Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing”[6]
Pengertian hadist ini:
Kalimat ‘Kelak ia akan kembali terasing’ bisa bermakna: ghurbah (keterasingan)-nya hanya terjadi pada tempat-tempat atau waktu tertentu saja. Sebab, bisa jadi Islam kembali dipandang aneh dan terasing di beberapa tempat, yang kemudian ia bangkit serta berkuasa di tempat lain, dan akhirnya lenyaplah keterasingan itu sebagaimana yang telah terjadi pada masa awalnya.
Namun, kata ini juga bisa didefinisikan dengan kejadian di masa-masa menjelang kiamat. Sebab, kaum muslimin yang tersisa saat itu hanya sedikit. Peristiwa ini terjadi tatkala kiamat semakin mendekat, setelah kemunculan Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj. Kala itu Allah ‘aza wa jalla mengirimkan angin sejuk yang mencabut nyawa setiap hamba-Nya yang beriman. Kemudian terjadilah hari kiamat yang sesungguhnya[7].
Di samping adanya ancaman bahwa umat ini akan menjadi kaum yang terasing di tengah kehidupan manusia, ada pula janji adanya firqah najiyah (golongan yang selamat). Janji adanya tha’ifah manshurah (golongan yang senantiasa diberikan kemenangan), janji akan adanya pembaruan/kebangkitan agama terhadap umat ini, janji akan terwujudnya kebaikan yang sangat banyak dan melimpah terhadap orang-orang yang dianggap terasing tersebut.
Orang-orang terasing inilah yang termasuk firqah najiyah atau tha’ifah manshurah. Inilah sebagian kandungan yang tersirat dari hadist, “Beruntunglah orang-orang yang dianggap aneh dan terasing…”
Semua yang diraih oleh orang-orang beriman pada saat itu, berupa pertolongan dan pengokohan maupun kekuasaan terhadap manusia. Seluruhnya bertujuan menjaga dan menjamin orang-orang asing yang berada di Makkah, kemudian di Habasyah, dan selanjutnya di Madinah. Sehingga mereka benar-benar merasakan kemuliaan dan kehormatan. Semua itu adalah bagian dari janji tersebut.
Segala siksaan dan kepedihan duniawi yang diterima, telah mereka gantikan dengan merasakan manisnya iman, sehingga pahitnya siksa dapat terlupakan. Sementara musuh-musuh hanya memperoleh nista yang berlipat-lipat[8]. Begitu pula dengan para ghuraba setelah mereka, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan bahwa mereka akan meraih keselamatan.
Sedangkan orang selain mereka akan binasa[9]. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga menjanjikan kepada mereka kemenangan dan pertolongan dalam menghadapi orang-orang yang menentang mereka[10].
Beliau juga memberikan janji yang lebih besar serta lebih universal dari semua itu, yang terkandung dalam kata ‘beruntunglah’ pada hadist di atas, yakni kebaikan yang mencakup dunia dan akhirat.
Pembahasan tentang ghurbah, orang-orang dan hukum-hukumnya termasuk hal penting yang perlu dipelajari dan dikupas tuntas oleh setiap muslim yang saat ini atau kapanpun sedang merasa terasing, hingga mereka betul-betul faham akan seluk beluk dan hukum-hukumnya. Dengan demikian, mereka bisa beribadah kepada Rabb mereka dengan benar.
Hati saya terbersit untuk menulis tema seperti ini beserta segala sesuatu yang berkaitan dengannya atau bagian-bagiannya tidak lain disebabkan oleh beberapa faktor pendorong. Diantaranya:
1. Autentik dan baru
Judul semacam ini belum pernah ditulis secara sempurna sebelumnya. Biasanya karangan yang mengkaji masalah ini berupa risalah singkat saja. Seperti risalah Imam Al-Jurri[11], Al Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali[12], dan buku-buku yang temanya berkaitan dengan Al-Ghurbah akan tetapi materinya berhubungan dengan karakteristik realitas tertentu, negeri (tempat) tertentu, dan waktu tertentu[13].
Adapun dalam penelitian-penelitian tematik kontemporer, saya belum menemukann adanya orang yang menulis mengenai pokok pembahasan ghurbah. Meskipun ada, itu pun hanya sebatas beberapa permasalahannya saja.[14]
2. Arti penting tema ini dalam tataran realitas
Dikarenakan umat Islam saat ini mulai merasa dirinya asing dan banyaknya ajaran Islam yang dianggap aneh. Jihad dipandang aneh, amar ma’ruf nahi munkar dipandang aneh, serta mengambil hukum dari syariat Islam dipandang aneh pula.
Orang-orang yang dianggap aneh dan asing itu perlu memahami makna keterasingan mereka, tuntutan dan keharusan, karakteristik dan hukum-hukumnya dalam tinjauan syariat. Sehingga mereka dapat meneladani generasi pertama dan tidak menyimpang dari jalan yang mereka tempuh.
Selain itu, orang yang dianggap aneh dan terasing ini perlu memahami makna dan fenomena keterasingan generasi pertama, sebab, gambaran, dan tata cara membelanya. Sehingga, seorang muslim memiliki wawasan yang benar untuk membelanya pada tiap kondisi dan waktu. Dalam hal ini, keteladanan terbaik adalah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Di tangan merekalah agama Islam dianggap asing. Mereka senantiasa berjuang di jalan Allah, hingga berhasil membela Islam dan membebaskannya dari belenggu keterasingan.
3. Pembahasan ini merupakan bagian dari kajian hadist, dan upaya mencarikan padanan hukum yang benar.
Setiap permasalahan yang ada dengan berlandaskan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang menjadi kebutuhan mendesak di akhir zaman ini. Karena kita banyak menemukan fenomena di lapangan, adanya orang-orang yang bersemangat namun tidak berlandaskan dengan pijakan yang benar, tidak juga berkomitmen terhadap dalil-dalil syar’i yang ada, bahkan sebagian mereka justru mendudukkan teks-teks kepada keinginan hawa nafsu mereka –tanpa kesadaran-.
Orang yang mendalami nash hendaknya melepaskan pendapat-pendapat khususnya dan persepsi pribadinya dengan menyikapi nash secara obyektif. Serta menjadikannya pemandu dalam setiap gerak dan langkahnya. Kemanapun nash mengarah, dari situlah ia mengambil haluan.
Adapun orang yang mempelajari nash-nash guna menopang keyakinan dan pendapat mereka yang sesat, biasanya tidak akan mampu mengambil manfaat dari nash-nash tersebut. Sebab, keikhlasan mencari kebenaran merupakan syarat pokok untuk menemukan dan mendapatkan hidayah.
Di zaman ini berbagai permasalahan pada setiap aspek kehidupan telah menghinggapi kaum muslimin. Baik dari sisi dakwah, politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan yang lainnya. Semua orang mensikapinya dengan pendapat mereka masing-masing –yang sangat mungkin dipengaruhi oleh situasi yang ada di sekitar mereka- tanpa mendudukkan permasalahan ini untuk dikaji dengan sudut pandang yang syar’i dan mengontrolnya dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Saya tidak memastikan bahwa risalah ini telah mencakup sebagian besar permasalahan ghurbah ini, akan tetapi ia hanyalah usaha dan upaya dalam mengarahkan pandangan, memberikan sumbangsih, menjelaskan kekayaan dan keluasan nash, serta memungkinkan melakukan penelitian terhadap masalah kontemporer yang bermunculan sesuai dengan persepsi nash-nash tersebut. Serta sebagai upaya untuk menyandarkan dakwah dan jihad di jalan-Nya dengan sumber dasar Islam yang sudah baku serta berpijak padanya.
[1] Sebagaimana yang terdapat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ditakhrij Imam Bukhari dalam Ash-Shahih (IV/194) Kitab Fadha’ilush Shahabah, bab ‘Perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam: Kalau Sekiranya Aku Menjadikan Pemimpin…’
[2] Sebagaimana yang terdapat pada hadist yang diriwayatkan oleh Hudzaifah ditakhrij oleh:
- Al-Bukhari dalam Ash-Shahih. Lihat: Kitab Al-Mawaqit bab Ash Shalatu Kaffarah, Kitab Az-Zakat bab Ash-Shadaqatu Tukaffirul Khathi’ah, Kitab Shaum bab Ash-Shaum Kaffarah, Kitab Manaqib bab Alamat An-Nubuwwah fi Al-Islam, Kitab al-Fitan bab Al-Fitnah allati Tamuju Kamaujil Bahr.
- Muslim dalam Ash-Shahih. Lihat: Kitab Al-Iman bab Innal Islama bada’a Ghariban nomor: 231 (Ash-Shahih I/128), Kitab Al-Fitan bab Al-Fitnah allati Tamuju Kamaujil Bahr nomor: 62 (Ash-Shahih IV/128)
- At-Tirmidzi dalam As-Sunan (IV/523) Kitab Al-Fitan 17 nomor:2258
- Ibnu Majah dalam As-Sunan (II/1305) Kitab al-Fitan bab Ma Yakunu minal Fitan nomor: 3955
- Imam Ahmad dalam Al-Musnad (V/386: 401 dan 405)
[3] Sebagaimana yang terdapat pada hadist yang diriwayatkan oleh Safinah ditakhrij oleh:
- Abu Dawud dalam As-Sunan (IV/503) Kitab As-Sunnah, bab Ma Ja’a fil Khilafah;
- Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/220-221).
[4] Sebagaimana yang terdapat pada hadist yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah yang diriwayatkan dengan berbagai jalur periwayatan. Di dalamnya terdapat lafal, ‘Agama Islam senantiasa akan tetap jaya hingga pergantian dua belas khalifah, mereka semua berasal dari Suku Quraisy’. Ditakhrij oleh:
- Muslim dalam Ash-Shahih (III/1452) Kitab Al-Imarah, bab 1 ‘An-Nasu Tabi’un li-Quraisy’ nomor: 5-10;
- Abu Dawud dalam As-Sunan. Lihat Kitab Al- Mahdi nomor: 4279-4281 (4/471);
- At-Tarmidzi dalam As-Sunan (IV/501) Kitab Al-Fitan bab ‘Ma Ja’a fil Khulafa’ nomor: 2223. Ia mengatakan, “Hadist ini hasan shahih.”;
- Ahmad dalam Musnadnya (V/86-90, 92-93, 96-101, 106-107).
[5] Sebagaimana yang terdapat pada hadist yang diriwayatkan oleh Imran bin Hushain bahwasanya Rasulullah bersabda, “sebaik-baik kalian adalah orang (generasi yang berada di masaku, kemudian orang-orang yang datang sesudah itu, dan kemudian orang-orang yang datang sesudah mereka.” Imran berkata, “Saya tidak tahu, apakah Rasulullah menyebutkan dua abad ataukah tiga abad.” Ditakhrij oleh:
- Al-Bukhari dalam Ash-Shahih. Lihat: Kitab Asy-Syahadat bab ‘La Yasyhadu ‘ala Jur’ (III/151), bab (62) ‘Fadhail Ashahabun Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam’ (IV/189,81); Kitab Ar-Raqa’iq bab ‘Ma Yuhdzaru min Zahratud Dunya’ (VII/173); Kitab Al-Aiman wan Nudzur bab ‘Itsmu Man La Yafi Bin Nadzar’ (VII/233).
- Muslim dalam Ash-Shahih (IV/1964) Kitab Fadha’ilush Shahabah bab ‘Fadhlush Shahabah, Tsummalladzina Yalunahum, Tsummalladzina Yalunahum’ nomor: 214, 215
- Abu Dawud dalam As-Sunan (V/44). Lihat Kitab 34 As-Sunnah bab 10 ‘Fi Fadhlu Ashhabi Rasulullah’ nomor: 4657.
- At-Tirmidzi dalam As-Sunan (IV/500) Kitab Al-Fitan bab ‘Ma Ja’a fi Qarnits Tsalist’ nomor: 2221, 2222. Ia mengatakan, “Hadist yang kedua adalah hadist hasan shahih”.
- An-Nasa’i dalam As-Sunan (VII/17). Lihat Kitab (35) An-Nudzur bab 29 ‘Al Wafa’u wa Nadzaru’.
- Ahmad dalam Musnadnya (IV/426, 427, 436, dan 440). Hadist ini mempunyai banyak penguat. Diantaranya dari Abdullah bin Mas’ud, Ummul Mukminin Aisyah, Abu Hurairah, Umar bin Khaththab, Nukman bin Basyir, dan Buraidah Al-Islami radhiyallahu ‘anhum.
[6] Akan ditakhrij kemudian pada halaman-halaman berikutnya setelah Mukadimah ini secara terperinci.
[7] Lihat Kitab Fatawa Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah (XVII/296). Kelak kita akan mencoba memberikan penjelasan secara terperinci mengenai hal tersebut.
[8] Ibid. (XVII/294).
[9] Sebagaimana yang terdapat pada hadist yang berbicara tentang ‘Al Firqah An-Najiyah’ (Golongan yang selamat). Kelak takhrij, kajian, dan studi mengenai makna dan pengertiannya akan dijelaaskan pada risalah yang lain. Dengan izin Allah.
[10] Sebagaimana yang terdapat pada hadist yang berbicara tentang ‘Ath Tha’ifah Al Mansurah’ (Golongan yang mendapat pertolongan). Kelak takhrij, kajian, dan studi mengenai makna dan pengertiannya akan dijelaaskan pada risalah yang lain. Dengan izin Allah.
[11] Nama risalahnya adalah shifatul Ghuraba. Biografinya –semoga Allah merahmatinya- akan kita paparkan nanti.
[12] Nama risalahnya adalah kasyful Ghurbah fi Washfi Ahlil Ghurbah. Biografinya –semoga Allah merahmatinya- akan kita paparkan nanti.
[13] Seperti risalah Bayanu Ghurbatil Islam Biwasithati Shinfayil Mutafaqqihah wal Mutafaqqirah min Ahli Mishra wasy Syams wa Ma Yaliha min Biladil ‘Ajam, karangan Ali bin Maimun al-Idrisi al-Maghribi. Wafat pada tahun (917 H). Dan telah ditahqiq oleh DR. Ubaid bin Abdullah As-Samihi untuk memperoleh gelar Doktoral dari jurusan Dakwah pada Universitas Islamiyah di Madinah, Kerajaan Arab Saudi.
[14] Karena pernah menemukan beberapa studi terpisah mengenai pokok pembahasan –pembaharuan- misalnya, begitu juga dengan tema yang berkenaan dengan ‘Jihad’, ‘Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar’, dan ‘Al-Uzlah’.