Apa yang telah penulis sampaikan merupakan gambaran umum mengenai kondisi sosial Arab pra Islam. Ketika Islam datang, ia membawa perubahan radikal dalam masyarakat Arab, menegakkannya di atas asas baru, menghilangkan kerusakan yang ada padanya, dan melestarikan kebaikannya.
Islam menyerukan dengan tegas dan jelas untuk menghilangkan fanatisme kesukuan, mencabut akar-akarnya, dan menghilangkan keburukan-keburukannya. Islam mengatakan kepada mereka, “Tinggalkan Fanatisme kesukuan karena ia busuk.”[19] Islam menjelaskan kepada masyarakat Arab bahwa manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku hanya untuk saling mengenal, bukan untuk saling berbangga dan fanatik terhadap ras tau suku, dan bahwa nilai manusia ada pada ketakwaan. Sebuah kata yang mencakup seluruh amal shalih dan selaras dengan semua perintah dan larangan Allah, Allah berfirman,
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat [49]:13)”
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wassallam menegaskan makna ini dalam banyak khutbah dan nasehatnya, dan memberitahukan kepada umat Islam bahwa ajakan kepada fanatisme dan perang dami membela fanatisme merupakan perbuatan yang jauh dari Islam dan keluar dari jamaah umat Islam. Rasullullah shalallahu ’alayhi wassallam bersabda,
“Bukan termasuk kami orang yang menyeru kepada fanatisme, bukan termasuk dari kami orang yang berperang atas dasar fanatisme, dan tidak termasuk kami orang yang mati karena fanatisme.”[20]
Nabi shalallahu ’alayhi wassallam memberitahu kaum Muslimin bahwa Allah telah menghilangkan dari mereka penyakit-penyakit Jahiliyah. Menilai keutamaan seseorang hendaknya didasarkan pada ketakwaan, bukan berdasarkan harta dan nasab. Setiap manusia berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Di dalam khutbah Haji Wada’ Nabi Shalallahu ’alayhi wassallam bersabda,
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menanggalkan dari kalian kecongkakan jahiliyah dan kebanggaan mereka akan nenek moyang. Setiap dari kalian adalah anak Adam , dan Adam berasal dari debu. Seorang Arab tidak memiliki keutamaan atas non-Arab kecuali karena takwa.”[21]
Sebenarnya, fanatisme kesukuan dan ras serta menegakkan masyarakat atas dasar tersebut tidak selaras dengan Islam, karena Islam pada dasarnya merupakan dakwah universal kepada seluruh umat manusia. Karena itu, masyarakat harus dibangun atas dasar yang selaras dengan prinsip umum tersebut. Sedangkan aqidah Islam merupakan dasar yang logis yang sesuai dengan prinsip umum agama Islam karena ia mencakup seluruh umat manusia, dan tidak membenci seseorang karena perbedaan ras. Pada dasarnya rasisme merupakan asas sempit yang tidak menjangkau seluruh umat manusia. Manusia tidak dapat memilih ras yang diinginkannya setelah ia dilahirkan dari suatu ras lain. Karenanya, syari’at Islam menjadikan Islam sebagai asas bagi masyarakat dan menilai umat Islam itu bersaudara:
“Sesungguhnya orang-orang Muslim adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat [49] :10)
Dalam sebuah hadist disebutkan
“Sesungguhnya setiap Muslim haram atas Muslim lain. Dan kaum Muslimin tidak lain adalah saudara.”[22]
Menjadikan Islam sebagai asas bermasyarakat merupakan tindakan logis dan dapat diterima, karena Islam merupakan asas yang fleksibel dan menjangkau seluruh manusia. Setiap manusia bisa memeluk agama Islam sehingga menjadi bagian dari masyarakat. Siapa yang menolak, maka ia tetap menjadi anggota dalam masyarakat Islam dan hidup di dalam negara Islam, membawa rasnya, menikmati keadilan Islam dan kepemimpinan umat Islam, memiliki hak dan kewajiban seperti umat Islam, kecuali hal-hal yang didasarkan pada aqidah atau tuntunan akidah Islam.[23]
Sebagai dampak dari lenyapnya fanatisme kesukuan adalah hilangnya sikap saling tolong-menolong dalam kebatilan di antara anggota kabilah, karena Islam mengharamkan tolong-menolong atas dasar kebatilan dan kejahatan. Allah berfirman,
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Mai’dah [5]: 20)
Sebelum itu, slogan jahiliyah adalah: “Tolonglah saudaramu, dalam keadaan menganiaya dan teraniaya.” Yakni setiap suku berpihak kepada setiap individunya dalam keadaan benar atau salah. Meski ia bertindak zhalim, tetapi mereka tetap membela dan berperang bersamanya. Setelah itu, slogan Islam adalah seperti yang diriwayatkan dari nabi bahwa beliau bersabda,
“Tolonglah saudaramu, baik sebagai penganiaya atau teraniaya.” Ditanyakan, “Aku menolongnya dalam keadaan teraniaya, bagaimana aku menolongnya dalam keadaan menganiaya?” Beliau menjawab, “Engkau mencegahnya dari berbuat aniaya, karena hal itu berarti menolongnya.”[24]
Setelah sebelumnya ada kebanggan pada nasab, Islam menggantikannnya dengan kebanggaan terhadap amal perbuatan. Allah mengisyaratkan amal kebajikan dan balasannya di akhirat dalam firman-Nya,
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (QS. Al-Muthaffifin [83]: 26)
Meski demikian, Islam melestarikan sikap saling tolong-menolong sesama individu suku dalam kebajikan. Di antara manifestasi sikap saling tolong menolong ini adalah di bebankan-nya kewajiban diyat karena membunuh secara tidak sengaja atas keluarga pelaku dari anggota-anggota sukunya. Sebagaimana Islam melestarikan persekutuan yang berlangsung diantara suku-suku untuk menolong pihak yang teraniaya, dan menentang persekutuan untuk membantu pihak yang menganiaya. Karenanya, Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam memuji hilful fudhul (koalisi kebajikan) yang terjadi di masa jahiliyah dan dihadiri nabi sebelum masa kenabian. Dalam koalisi ini hadir para pemimpin Quraisy seperti Tamim, Hasyim, dan Zahrah di rumah Abdullah bin Jad’an. Mereka bersepakat untuk mengusir para pelaku kejahatan dari Mekkah, mengenai koalisi kebajikan ini Nabi bersabda,
“Aku tidak suka memiliki binatang terbaik tetapi meninggalkan perjanjian yang kuhadiri di rumah Ibnu Jad’an. Mereka saling berjanji untuk berpihak kepada orang yang dizhalimi sekecil apapun. Seandainya aku diajak melakukan perjanjian seperti itu di masa Islam, aku pasti memenuhi ajakan itu.”[25]
Islam membatalkan kebiasaan menjarah, merampas, menyerbu, dan menganiaya pihak lain. Dalam al-Quran disebutkan, “Dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Baqarah [2]: 190). Sehingga pihak yang lemah merasa aman dari kejahatan pihak yang kuat. Islam juga membatalkan adopsi, seperti yang akan penulis jelaskan.
Islam menentang dan mengharamkan penguburan anak perempuan hidup-hidup, dan menilainya sebagai tradisi buruk. Perempuan, sebagaimana laki-laki, merupakan jenis manusia yang dapat melakukan perbuatan baik, sehingga perlu dihargai dan diperhatikan. Perempuan, sebagaimana laki-laki, sama-sama mukallaf (dibebani kewajiban melaksanakan hukum). Syari’at Islam memerintahkan perempuan untuk beriman, berilmu, beramal, beribadah, dan bermuamalah, sebagaimana syari’at memerintahkan kepada laki-laki. Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam membai’at perempuan-perempuan mukminah sebagaimana beliau memba’iat laki-laki mukmin. Demikianlah Islam mengangkat kodrat wanita sehingga mereka tidak dipandang sebelah mata dan diremehkan di dalam masyarakat. Perempuan diberikan hak-hak seperti laki-laki, kecuali satu hak, yaitu memimpin keluarga. Dalam Al-Qur’an disebutkan,
“Dan para wanita memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban secara ma’ruf. Akan tetapi para suami memilki satu tingkatan kelebihan dari istrinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228)
Jadi hak- hak antara suami dan istri itu saling timbal balik, tidak ada satu kewajiban pun atas istri yang tidak diimbangi dengan kewajiban sejenis atas suami.[26]
Adapun kepemimpinan yang diberikan kepada laki-laki yang diungkapkan dalam Al-Qur’an: “para suami adalah pemimpin atas istri-istri” dan “akan tetapi para suami memiliki satu tingkatan kelebihan dari istrinya”, sesungguhnya kepemimpinan ini dengan segala konsekuensinya seperti nafkah, perhatian kepada keluarga, dan ketaatan istri kepada suami, menurut penulis merupakan perkara yang lumrah dan tidak aneh, karena kehidupan suami istri adalah kehidupan sosial dan kebersamaan yang merupakan hubungan antar manusia yang paling khusus. Prinsip ini berlaku abadi sepanjang hidup. Setiap persekutuan atau perkumpulan harus memiliki seorang pemimpin sebagai rujukan saat terjadi perselisihan, agar persekutuan itu tidak bubar dan ikatan perkumpulan itu tidak lepas. Di sini laki-laki lebih berhak memimpin daripada wanita karena laki-laki dikaruniai kekuatan fisik dan kemampuan yang diperolehnya dari berbagai interaksi dan pengalamannya. Kekuatan dan pengalaman ini biasanya lebih besar dimiliki laki-laki daripada wanita, terlebih lagi karena laki-laki bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada keluarga, bukan wanita. Lagi pula, kepemimpinan ini dibangun di atas cinta, kasih sayang, dan perlakuan yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
“Di antara tanda-tanda kekuasan Allah adalah menciptakan bagimu dari diri kamu istri-istri untuk kamu cenderungi, dan dijadikan-Nya di antara kamu cinta dan kasih sayang.” (QS. Ar-Rum [30]: 21)
Allah Ta’ala Berfirman,
“Dan pergaulilah istri-istrimu dengan jalan yang ma’ruf.” (QS. An-Nisa’ [4]: 19)
Demikianlah kepemimpinan ini tegak di atas landasan rasa cinta, kasih sayang dan perlakuan yang baik. Bukan kepemimpinan yang kering dari rasa cinta, tidak disukai dan memberatkan jiwa, melainkan kepemimpinan yang dirasakan ringan oleh jiwa, diterima dan disenangi. Oleh karena itu, prinsip kepemimpinan laki-laki atas keluarga itu “berlaku dan ditetapkan sekarang ini di seluruh syari’at agama dan undang-undang sekuler dengan nama otoritas kehidupan keluarga.”
Islam mengakui sifat dan watak luhur yang ada pada bangsa Arab Jahiliyah, seperti menepati janji, jujur, menjaga tetangga, keberanian, dan kehormatan. Di samp ing itu, Islam juga mencela sebagian sifat yang lain. Keberanian menjadi terpuji jika berada di jalan yang benar dan demi menjunjung tinggi kalimat Allah, bukan untuk mencari superioritas dan riya’. Islam mengakui adat menghormati tamu dan menilai penghormatan ini sebagai hak bagi tamu atas tuan rumah. Dalam hadist yang mulia disebutkan,
“Malam pertama tamu merupakan hak atas setiap muslim. Siapa yang pada pagi hari tamu itu berada di halamannya, maka ia berhutang kepada tamu itu, jika mau, ia dapat meminta pemenuhan hak itu, dan jika mau ia mengabaikannya.”[27]
Di dakam hadist lain dari ‘Uqbah bin Amir, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam, ‘Sesungguhnya engkau mengutus kami menemui suatu kaum yang tidak menghormati kami, bagaimana pendapatmu?’ Beliau menjawab,
“Jika kalian singgah pada suatu kaum, lalu mereka memerintahkan sesuatu yang selayaknya bagi tamu, maka terimalah, jika tidak, maka ambillah dari mereka hak tamu yang sebaiknya mereka lakukan.” [28]
Intisari penjelasan di atas adalah sesungguhnya syari’at Islam melestarikan adat kebiasaan Arab Jahiliyah selama selaras dengan prinsip dan tujuan syari’at Islam. Tetapi Islam menghapuskan adat yang rusak dan tidak selaras dengan prinsip dan tujuan syari’at. Syari’at memberikan hak kepada adat kebiasaan yang baik untuk tetap eksis, dan adat kebiasaan yang rusak untuk disingkirkan.
[19] Tafsir ath-Thabari, jilid 28, hlm. 78
[20] Al-Jami al-Shaghir, al-Suyuthi, jilid 2, hlm. 40
[21] Imta’ al-Asma’, al-Muqairizi, hlm.523
[22] Al-Muqhrizi, hlm. 532
[23] Ahkam al-Dzimmiyyin wa al-Musta’minin Fi Daar al-Islam, hlm. 70-200, 634.
[24] Tafsir Al-Wushul, jilid 3, hlm 28
[25] Al-Jashshash, jilid 2, hlm. 293 dan Amta’ al-Asma’, Jilid 1 hlm. 11
[26] Tafsir al-Manar, Muhammad Rasyid Rhida, Jilid 2, hlm 327
[27] Tafsir Al-Wushul, jilid 4, hlm 52
[28] Ibid, hlm. 53