Setelah Raja Hasanuddin wafat di tahun 1570, maka gelar baginda setelah wafat ialah Almarhum Sabakingking. Sabakingking artinya ialah tanah dukacita. Baginda digantikan oleh Puteranya Maulana Yusuf. Kebesaran Yusuf tidak kurang daripada kebesaran ayahnya. Sangatlah maju negeri Bantam dalam masa pemerintahan beliau. Pertahanan, pengairan dan pelayaran sangat dimajukan. Guruguru Agama Islam didatangkan dari luar negeri, untuk mengajar rakyat akan hakikat Iman dan kepercayaan. Tetapi hati beliau belum senang, selama Kerajaan Hindu Budha di Pakuan belum dapat ditaklukkan. Maka setelah 9 tahun baginda memerintah diaturnyalah sebuah pasukan besar di bawah pimpinan baginda sendiri buat menaklukkan Pakuan. Kerajaan Hindu Budha yang terakhir di Jawa Barat itupun tidaklah mau menyerah kalah demikian saja. Prabu Sedah, Raja Pajajaran yang akhir, dengan gagah perkasa mempertahankan kekuasaan dan kerajaannya. Maka terjadilah pertempuran yang dahsyat antara dua raja. Maulana Yusuf dengan kepercayaan Tauhidnya, dan Prabu Sedah dengan ke-Hindu Budha -annya.
Kedua belah pihak sama-sama tidak takut mati. Prabu Sedah mengharapkan mencapai “Nirvana”, dan Maulana Yusuf mengharapkan mencapai “Jannah”. Maka akan berlakulah kehendak Ilahi, candi dan biara tidak akan ada di Jawa Barat lagi, tetapi menara mesjid akan menjulang langit dan azan akan lantang suaranya, Kerajaan Bantam akan terus menanamkan Islam turunan demi turunan di Jawa Barat, dalam pertempuran yang dahsyat itu, Prabu Sedah tewas sebagai pahlawan dan kemenangan yang gilang gemilang dicapai oleh Maulana Yusuf.
Tetapi kepayahan di dalam peperangan dan pekerjaan berat yang dikerjakan siang dan malam, membina negara, mengalahkan musuh, memajukan perniagaan, pertanian, pelajaran dan menanamkan pengaruh Islam, melemah-lunglaikan tubuh kecil yang menyimpan jiwa besar itu.
Setelah masuk tahun 1580 baginda pun gering. Karena keras sakitnya, tidaklah sempat beliau menyelesaikan perselisihan antara dua golongan dalam Kerajaan Bantam. Satu golongan yang membela saudaranya Pangeran Jepara, yang ingin hendak menjadi raja menggantikannya. Dan golongan kedua, ialah pembela putera baginda sendiri Maulana Muhammad, puteranya dari permaisuri.
Mendengar sakitnya telah keras dan penggantinya belum ada, maka Pangeran Jepara datanglah ke Bantam; hendak meminta atau merebut kekuasaan. Terjadilah huru-hara dalam negeri Bantam, hendak meminta atau merebut kekuasaan, nyaris menumpahkan darah, padahal Penembahan Yusuf masih terbaring di tempat tidur. Apa yang terjadi selanjutnya, baginda tidak tahu lagi, beginda mangkat, dan siapa yang akan menjadi raja, penggantinya belum putus. Padahal Mangkubumi berpihak kepada Pangeran Jepara. Demikian juga punggawa-punggawa tinggi, sebab Pangeran Jepara memang seorang yang pandai menarik hati dan pandai pula bertabur uang! Lantaran itu maka putera mahkota, yang baru berusia 9 tahun, boleh dikatakan tidak ada pembela.
Tetapi ada satu orang yang tidak terpengaruh oleh bujuk rayu Pangeran Jepara yang mendapat sokongan dari Sunan Kali Nyamat artinya pengaruh Jawa Timur. Orang itu ialah Kadhi kerajaan Bantam! Kalau Pangeran Jepara berpengaruh dalam kalangan orang tinggi, Mangkubumi atau orang besar-besar yang lain, namun Tuan Kadhi berpengaruh besar dalam kalangan rakyat jelata.
Rakyat yang selama ini menyokong Penembahan Yusuf meluaskan kuasa Bantam. Rakyat yang merasa berhutang budi kepada yang mangkat, karena jasanya memajukan negeri Bantam. Mereka mempunyai sawah-sawah yang luas, mempunyai bandar galian yang mengalirkan air membawa kesuburan, dan kemajuan perniagaan dengan luar negeri. Semuanya atas jasa baginda. Sedang orang-orang besar kerajaan hanya tahu menerima hasil dan kemegahan saja. Setelah Bantam dikepung oleh Pangeran Jepara, disokong oleh Mangkubumi, sehingga nyarislah berhasil maksudnya.
Maulana Muhammad bertahan dalam istana di bawah penjagaan yang keras dari Tuan Kadhi! Ketika utusan-utusan Pangeran Jepara datang mengepung istana dan hendak menangkap Maulana Muhammad, terhalanglah maksud mereka melihat kegagahperkasaan Tuan Kadhi mempertahankan budak kecil itu. Beliau bertegang mengatakan bahwa Pangeran Jepara tidak berhak menjadi Sultan Bantam, sebab putera yang mangkat masih ada. Tuan Kadhi tidak mengharapkan apa-apa untuk dirinya dalam perkara ini. Yang diharapkannya hanyalah keadilan berdiri, kebenaran tegak dan jangan ada kecurangan dan perampasan hak daripada yang tidak berhak.
“Saya sendiri adalah Kadhi! Saya diangkat oleh raja-raja yang telah terdahulu, bukanlah sematamata hendak memberikan keputusan dalam perkara nikah, thalak, rujuk, tetapi juga dalam perkara waris dan faraidh! Bukan saja faraidh harta, bahkan faraidh kekuasaan pun.”
Setelah datang utusan Mangkubumi, yang rupanya telah berpihak kepada Pangeran Jepara meminta penjelasan daripada Kadhi, maka Kadhi menjawab:
“Saya akan bertahan sampai mati, menegakkan keadilan dan kebenaran. Maulana Muhammadlah yang empunya hak!”
Mangkubumi menjawab: “Dia masih kecil, bagaimana akan memegang kuasa.”
Kadhi menjawab: “Sudah terdapat di mana-mana dalam Negeri Islam, apabila Wali’ul ‘Ahd (Putera Mahkota) masih kecil, maka Mangkubumi yang memegang kuasa sampai dia besar.”
Mangkubumi terkejut mendengar jawab yang setegas itu. Setelah diukur dan diajuk apa isi jiwa Mangkubumi itu, maka Tuan Kadhi meneruskan pembicaraannya.
“Saya tidak mengharapkan apa-apa untuk diri saya dalam perkara ini. Bukan saja hak Maulana Muhammad yang saya pertahankan, tetapi juga hak engkau, hai Mangkubumi. Dengan menyokong Pangeran Jepara, nasibmu sendiri juga belum berketentuan! Tetapi kalau engkau berpihak kepadaku, mempertahankan hak Maulana Muhammad, siapa tah lagi yang akan memangku kekuasaannya sampai dia baligh dewasa, kalau bukan engk u! Adapun saya sendiri, bilamana hak telah pulang kepada yang empunya, saat itu juga saya pulang ke tempat saya yang sebenarnya, mengatur keadaan dan menjalankan hukum Qur’an di tanah Bantam ini, sampai nyawa saya bercerai dengan badan saya.”
Setelah mendapat kepastian itu, berubahlah pendirian Mangkubumi. Dalam beberapa saat saja keadaan telah berubah. Orang-orang besar Bantam berpihaklah kepada Tuan Kadhi, mempertahankan hak Maulana Muhammad. Lantaran itu, maka Pangeran Jepara tidak ada kukunya lagi di Bantam sehingga terpaksa mengundurkan diri kembali lagi ke tempatnya semula di Jepara, membawa mimpi yang gagal.
Maka amanlah Bantam kembali, dan diangkatlah Maulana Muhammad bin Penembahan Yusuf bin Maulana Hasanuddin, bin Maulana Hidayatullah, Fatahillah, Sunan Gunung Jati menjadi Raja Bantam dengan lantik gelaran Kanjeng Ratu Bantam (1580-1605). Usaha dan perjuangan Kadhi Bantam berhasil dengan jaya, sebab nyata bahwa beliau sendiri, sebagai seorang Ulama yang kuat beragama tidak mengharapkan apa-apa untuk dirinya dalam persengketaan yang hebat itu.