Penulisan Hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Penulisan dan Pembukuan Hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam

Turunnya wahyu kepada rasulullah berkaitan dengan perintah membaca dan belajar sebagaimana firman Allah,

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al Alaq:1-5)

Al Quran menganjurkan untuk menuntut ilmu dan mengangkat derajat para ulama, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadilah:11)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk mencari ilmu dan memperdalam agama. Beliau bersabda, “Barang siapa yang Allah kehendaki suatu kebaikan padanya maka Allah akan membuatnya faqih dalam agama.” (HR Bukhari)

Dan harta yang dibelanjakan pada jalan yang benar, dan ilmu yang diajarkan dan diamalkan, dijadikan sebagai salah satu bentuk persaingan yang benar. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, seseorang yang diberikan oleh Allah harta benda kemudian digunakan untuk kebaikan, dan seseorang yang diberikan Allah Al Hikmah (ilmu) maka dia menggunakan dan mengajarkannya.”[1]

Dan beliau juga menganjurkan untuk mempelajari bahasa orang lain agar kaum muslimin dapat memahami ilmu dan mengetahui apa yang ada pada mereka, sehingga merasa aman dari kejahatan mereka. Zaid bin Tsabit diperintahkan oleh Rasulullah untuk belajar bahasa orang Yahudi. Beliau bersabda kepadanya,

“Wahai Zaid, pelajarilah tulisan Yahudi untukku, karena sesungguhnya aku –demi Allah- tidak amana dari orang-orang Yahudi atas kitabku (Al Quran).”

Riwayat lain mengatakan, “Aku menulis kepada suatu kaum dan aku khawatir mereka akan menambahi atau mengurangi (surat)ku, maka belajarlah bahasa Suryani!”

Zaid berkata, “Maka aku mempelajarinya selama 17 hari.”[2]

Rasulullah menganjurkan untuk menyampaikan ilmu, mengarahkan pada metode penyampaian, dan berwasiat agar menyebarkan pengetahuan. Beliau adalah seorang pengajar, pendidik, hakim, qadhi, mufti, dan pemimpin. Menjadikan rumah Arqom sebagai tempat baginya dan para sahabat pada masa awal dakwah sirri. Sedangkan masjid dijadikan sebagai tempat ibadah, mengajar para sahabat, dan tempat menimba ilmu dan fatwa.

Rasulullah telah mengkhususkan waktunya untuk majelis kaum wanita. Beliau mengajar dan memberi fatwa kepada mereka. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita kaum Anshar, mereka tidak merasa malu untuk memperdalam ilmu agama.”[3]

Sementara itu, setiap wahyu turun beliau bersegera menghafalnya, dan para sahabat juga ikut menghafalnyasehingga banyak di antara mereka yang hafal. Setiap turun ayat dihafal dalam hati. Bangsa Arab, meskipun mereka buta huruf atau ummi, namun mempunyai kelebihan dalam kekuatan ingatan. Mereka mampu menghafal syair-syair, silsilah nasab dan lain sebagainya.

Rasulullah mengangkat beberapa orang dari sahabat yang terbaik sebagai penulis wahyu, seperti Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Setiap kali turun ayat, beliau menyuruh untuk menulisnya dan menunjukkan kepada mereka agar menempatkan ayat pada suratnya, sehingga dapat tertulis dalam buku dan dihafal dalam hati. Sebagian di antara sahabat juga menulis Al Quran atas inisiatif mereka sendiri tanpa diperintah Nabi.

Adapun As Sunnah, para sahabat sangat tamak untuk menghadiri majelis Rasulullah, menimba ilmu darinya, dan meneladani beliau. Bila berhalangan hadir karena sibuk dengan pekerjaan dan mata pencaharian, mereka saling bergantian, maka yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir dalam majelis tersebut.

Dari Umar Radihyallahu Anhu berkata, “Aku dan seorang tetanggaku dari kaum anshar di Bani Umayyah bin Zaid, saling bergantian datang kepada Rasulullah. Sehari dia datang dan sehari aku yang datang. Bila aku yang datang, aku menceritakan kepadanya tentang wahyu dan lainnya pada hari itu. Demikian juga ketika dia yang datang akan melakukan hal yang sama.”[4]

Al Bara’ bin Azib Radhiyallahu Anhu berkata, “Tidaklah setiap hadits kami mendengarnya dari Rasulullah, emlainkan kami dapatkan dari sahabat yang menceritakannya kepada kami, karena kami sibuk menggembala onta. Bagi mereka yang ketinggalan, segera mencari tahu dari orang lllain yang mendengar langsung dari Rasulullah, atau dari orang yang lebih baik hafalannya dari mereka.”[5] Riwayat lain dari Al Bara’ bin Azib mengatakan,” Tidaklah semua di antara kami mendengar hadits Rasululllah karena faktor kesibukan, akan tetapi saat itu orang-orang belum lagi pernah berdusta, sehingga yang hadir bercerita kepada orang yang tidak menghadiri majelis Rasulullah.”[6]

Para sahabat dan tabi’in pergi mencari hadits, dan menganjurkan untuk meriwayatkan dan mengajarkannya kepada orang lain karena ingin mendapatkan keutamaannya. Dari Ibnu Abbas berkata, “Aku pernah mendengar Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasulullah datang kepada kami dan mendoakan, ‘Ya Allah, berilah rahmat untuk para khalifahku.’ Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah khalifahmu?’ Jawab beliau, ‘Orang-orang yang meriwayatkan hadits dan sunnahku dan mengajarkannya kepada orang lain’.”

Penulisan Hadits

Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian ini tidak berarti bahwa bahwa di antara mereka tidak seorang pumn yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang di antara mereka ada yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al Abbady (wafat 35 tahun sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama orang yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan anak-anak Madinah menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mampu membaca. Sebagian informasi menyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di Kota Mekkah hanya sekitar sepuluh orang saja. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.

Para orientalis dan para penulis yang mengikut jejaknya menafsirkan kata “ummi” pada bangsa Arab sebagai awam terhadap agama. Mereka menafsirkan firman Allah, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi (buta huruf) seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka dan mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al Jumuah:2) , bahwa ini bukan awam terhadap agama, atau buta terhadap syariat dimana mereka tidak mempunyai kitab agama sebelum diturunkan Al Quran.

Hal ini bertentangan dengan sifat Rasulullah dalam firman Allah, “Orang-orang yang mengikuti Rasul Nabi yang buta huruf” (QS Al A’raf:157).

Maksud awam atau buta huruf ini dijelaskan ole Rasulullah dalam sabdanya,”Kami adalah umat yang buta huruf tidak dapat menulis dan menghitung, satu bulan adalah begini, dan begini…”. Yakni kadang 29 hari dan terkadang 30 hari.”[7]

Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak di Mekkah daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan bahwa Rasulullah mengizinkan para tawanan dari Mekkah dalam perang Badar yang mampu menuis untuk mengajarkan menulis dan membaca kepada sepuluh anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.

Kemudian pada masa Nabi tulis-menulis sudah tersebar luas, dimana Al Quran sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca, dan Rasulullah sendiri mengangkat para penulis wahyu jumlahnya mencapai empat puluh orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab “At Taratib Al Idariyah”. Bahkan Baladzuri dalam kitab “Futuhul Buldan” menyebutkan adanya sejumlah penulis wanita, di antara mereka: Ummul Mukminin Hafshah, Ummu Kulsum binti Uqbah, Asy Syifa’ binti Abdullah Ak Qurasyiyah, ‘Aisyah binti Sa’ad, Karimah binti Al Miqdad. Dari Asy Syifa’ berkata, “Ketika aku sedang bersama Hafshah, Rasulullah masuk dan bersabda kepadaku, “Tidakkah engkau mengajarkan padanya cara meruqyah akibat gigitan semut sebagaimana engkau telah mengajarkannya menulis.”[8]

Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah, setelah perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah bin Sa’id bin Ash –seorang penulis yang baik- agar mengajarkan menulis di Madinah., sebagaimana disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli Abdullah bin Said bin Al Ash adalah Al Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama dengan Abdullah, dan menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.[9]

Ada beberapa nash yang bertentangan dalam penulisan hadits , sebagian menunjukan adanya larangan penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya penulisan hadits.

  1. Riwayat yang Melarang Penulisan Hadits
    1. Dari Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah menulis daripadaku, barang siapa menulis daripadaku selain Al Quran maka lenyapkanlah, dan ambillah hadits dariku dan tidak mengapa, barang siapa yang berbohong dengan sengaja atas namaku maka akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka.”[10]
    2. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kamidan sedangkan kami menulis hadits, lalu beliau bersabda, “Apa yang sedang kalian tulis?” Kami menjawab,”Hadits-hadits yang kami dengar dari engkau.” Beliau berkata, “Apakah kalian menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.”[11]
    3. Riwayat yang Membolehkan Penulisan Hadits
      1. Dari Abdullah bin Amru bin Al Ash Radhiyallahu Anhuma berkata, “Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah, dengan maksud ingin menghafalnya, lalu kaum Quraisy melarangku, dan mereka mengatakan, ‘Apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah, sedangkan Rasulullah manusia biasa yang bicara di saat marah dan gembira? Lalu aku sampaikan pada Rasulullah, kemudian beliau menunjuk pada mulut dengan jarinya dan bersabda,” Tulislah, demi jiwaku di tangan-Nya tiada sesuatu apa pun yang keluar darinya melainkan yang hak dan benar.”[12]
      2. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, “Tiada seorang pun dari sahabat Rasulullah yang lebih banyak haditsnya dariku kecuali Abdullah bin Amru (Al Ash) karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis.”[13]
      3. Dalam Ash Shahihain disebutkan bahwa ketika Allah membukakan kota Makkah untuk Rasul-Nya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah, lalu berdirilah Abu Syah –penduduk Yaman- dan berkata, “Wahai Rasullah tulislah untukku,” maka beliau bersabda, “Tulislah untuk Abu Syah.”
      4. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ikatlah ilmu dengan buku.”[14]

Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits.

Ibnu Ash-Shalah berkata, “Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits, sebagian di antara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu dan menyuruh untuk menghafalnya, dan sebagian yang lain membolehkannya.

Mereka yang melarang penulisan hadits adalah Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Abu Said Al Khudri, dan sekelompok lainnya dari sahabat dan tabi’in Radhiyallahu ‘anhum.

Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits atau yang melakukannya adalah: Ali, Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin Amru bin Al Ash, dan sekelompok lainnya dari sahabat dan tabi’in Radhiyallahu ‘anhum.”[15]

Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih, antara mereka yang melarang dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut:

  1. Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam dikhawatirkan terjadi pencampuran dan penggabungan antara hadits Nabi dan Al Quran. Ketika keadaan sudah aman dan kondusif dan banyak para penghafal Al Quran, Rasulullah mengizinkan untuk menulis hadist, dan larangan sebelumnya menjadi mansukh (terhapus).
  2. Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan Al Quran dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir terjadi kemiripan atau persamaan.
  3. Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya seperti Abu Syah.

Maka dengan demikian, hilanglah kesan pertentangan antara nash-nash yang ada.

Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma’ kaum muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut.

Ibnu Ash-Shalah berkata, “Lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan tentu hadits itu akan lenyap pada masa-masa berikutnya.”

Pada sebagian atsar dapat diambil sebagai pelajaran bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan penulisan hadits secara umum pada masa akhir hayatnya.

Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Sa’ad bin Ubadah Al Anshari memiliki sebuah shahifah yang berisi kumpulan hadits dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan anak sahabat ini meriwayatkan dari shahifah tersebut

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa shahifah tersebut adalah bagian dari shahifah Abdullah bin Abi Aufa yang ditulisnya sendiri dengan tangannya, dan orang-orang yang membacanya dari apa yang telah dia kumpulkan dengan tulisannya.

Di antara shahifah-shahifah yang terkenal pada masa Nabi adalah adalah shahifah “As Shadiqah” yang ditulis oleh Abdullah bin Amru bin Al Ash dari Rasulullah. Para ahli sirah menyebutkan bahwa shahifah tersebut berisi 1000 hadits.

Abdullah bin Amru sangat mengagungkan shahifah ini. Dia mengatakan, “Tidak ada membuatku senang kecuali dua hal: Ash Shadiqah dan Al Wahath. Adapun As Shadiqah adalah sebuah shahihaf yang aku tulis dar Rasulullah, sedangkan Al Wahath adalah sebuah tanah pemberian yang disedekahkan oleh ‘Amri bin Ash.”[16]

Shahifah ini dapat kita temukan di musnad Imam Ahad dengan sanad dari Abdullah bin Umaru.

Abu Hurairah mengumpulkan beberapa shahifah yang ditulis oleh para sahabat. Salah satu shahifah diriwayatkan daripadanya oleh muridnya Hammah bin Minabbuh, lalu dinisbatkan kepadanya, sehingga orang menyebutnya: Shahifah Hammam. Namun pada kenyataannya, ia merupakan shahifah Abu Hurairah, shahifah ini mempunyai peran yang sangat besar dalam pembukuan hadits, karena sampai ke tangan kita dalam kondisi lengkap dan benar seperti yang diriwayatkan dan dibukukan oleh Hammam dari Abu Hurairan. Penulis buku “Kasyfu Azh Zhunun” menyebutnya sebagai shahifah yang shahih. Keberadaannya secara utuh pada Musnad Ahmad, sedangkan dalam shahih Bukhari dan lainnya secara terpisah dengan beberapa bab.

 



[1] HR Bukhari dan Muslim

[2] Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat, dan Ibnu ‘asakir dalam Tarikh Dimasyq

[3] HR Bukhari dan Muslim

[4] HR Bukhari

[5] Ma’rifatu Ulumil Hadits, Al Hafizh An Naisaburi, hal 14

[6] Al Muhaddits Al Fashil, Ar Ramahurmuzi, hal 235, Dar Al Fikr

[7] HR Bukhari dan Muslim dan Ashabus sunan

[8] HR Abu Dawud

[9] Al Ishabah fi Tamyizi Ash Shahabah, Ibnu Hajar, dan Al Isti’ab karya Ibnu Abil Barr 1/343 cet. Maktabah Tijariyah, Mesir:2/366

[10] HR Muslim

[11] Diriwayatkan Al Khatib Al Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi, ditahqiq Yusuf Al Isy hal 33, Dar Ihya ‘Sunnah Nabawiyah

[12] Diriwayatkan Ad Darimi dalam Sunannya, Al Khatib dalam Taqyidul Ilmi, dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadlihi

[13] HR Bukhari

[14] Al Khatib Al Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi hal 74 dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadlihi 1/85

[15] Ulum Al Hadits, Ibnu Ash-Shalah, Tahqiq: Nuruddun ‘Itr, hal 160-161

[16] Ibid, hal 62

 

About Redaktur

https://slotjitu.id/ https://adslotgacor.com https://adslotgacor.com/bandar-togel-online-4d-hadiah-10-juta https://linkslotjitu.com/ https://slotgacor77.id https://slotjudi4d.org/slot-gacor-gampang-menang https://slotjudi4d.org/ https://togelsgp2023.com https://s017.top https://slotjitugacor.com/