Sebelum Penutup
- Apabila musuh memasuki bumi kaum Muslimin maka jihad hukumnya menjadi fardhu ‘ain menurut pendapat seluruh ahli fikih, ahli tafsir dan ahli hadits.
- Apabila jihad menjadi fardhu ‘ain maka tidak ada bedanya antara jihad dengan shalat dan puasa menurut pendapat tiga imam madzhab (Hanafi, Maliki dan Syafi’i), adapun menurut madzhab Hambali shalat lebih didahulukan daripada jihad.
Dalam kitab Bulghatus Salik Li Aqrabil Masalik, kitab fikih madzhab Imam Malik, dikatakan, “Jihad fisabilillah untuk meninggikan kalimatulloh setiap tahun itu hukumnya adalah fardhu kifayah, jika sebagian orang telah melaksanakannya maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lain – dan jihad itu menjadi fardhu ‘ain seperti shalat dan puasa – jika imam menunjuk atau jika musuh menyerang suatu daerah.”
Sedangkan dalam kitab Majma’ul Anhar, kitab fikih madzhab Hanafi, “Apabila fardhu kifayah itu tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh seluruh manusia, maka ketika itu hukumnya menjadi fardhu ‘ain seperti shalat.”
Dan di dalam kitab Hasyiyyatu Ibni ‘Abidin (II/238), kitab fikih madzhab Hanafi dikatakan:
“Dan Jihad hukumnya fardhu ‘ain jika musuh menyerang sebuah perbatasan dari perbatasan-perbatasan Islam, sehingga hukumnya menjadi fardhu ‘ain sebagaimana shalat dan puasa, mereka tidak diperkenankan untuk meninggalkannya.”
- Apabila jihad itu menjadi fardhu ‘ain maka tidak ada lagi kewajiban izin kepada kedua orang tua, sebagaimana kedua orang tua tidak perlu untuk dimintai izin untuk melaksanakan shalat shubuh dan puasa ramadhan.
- Apabila jihad fardhu ‘ain, tidak ada bedanya antara orang yang tidak berjihad tanpa udzur dengan orang yang tidak berpuasa ramadhan tanpa udzur.
- Berjihad dengan harta tidak dapat menggantikan kewajiban jihad dengan jiwa (secara fisik) meski sebesar apapun harta yang dikeluarkan, dan kewajiban jihad tidak itu tidaklah gugur dari pundaknya, sebagaimana tidak bolehnya seseorang membayar orang miskin untuk melaksanakan kewajiban puasanya atau shalatnya, begitu pula jihad dengan jiwa (secara fisik).
- Jihad itu adalah kewajiban sepanjang hidup sebagaimana shalat dan puasa. Sebagaimana orang tidak boleh tahun ini puasa tahun depan tidak, atau hari ini shalat dan besok tidak, begitu pula jihad, seseorang tidak boleh berjihad satu tahun kemudian beberapa tahun lagi tidak berjihad, sesuai dengan kemampuannya.
- Sesungguhnya jihad pada hari ini hukumnya adalah fardhu ‘ain baik dengan jiwa (secara fisik) maupun dengan harta, di setiap tempat yang dikuasai oleh orang-orang kafir. Dan jihad hukumnya akan tetap fardhu ‘ain sampai seluruh wilayah yang pernah menjadi wilayah Islam terbebaskan.
- Sesungguhnya kata “jihad” itu apabila diungkapkan secara lepas maka yang dimaksud bukan lain adalah perang dengan senjata, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rusydi, dan ini disepakati oleh empat imam madzhab. 9- Sesungguhnya makna yang paling nyata dari kata “fi sabillillah” adalah jihad sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (VI/22).
- Sesungguhnya perkataan yang berbunyi: Kami telah kembali dari jihad kecil – yakni perang – menuju jihad besar – yakni jihad melawan hawa nafsu -, yang senantiasa mereka dengungkan, jika hal itu mereka anggap hadits, adalah hadits batil dan maudhu’ (palsu) yang tidak ada asalnya. Akan tetapi ini adalah perkataan Ibrahim bin Abi ‘Ablah, salah seorang tabi’in, dan perkataannya itu bertentangan dengan nash-nash Al Qur’an dan Sunnah, serta bertentangan dengan kenyataan.
- Sesungguhnya jihad adalah dzirwatu sanamil Islam (puncak ketinggian Islam), yang diawali dengan beberapa tahapan. Sebelum jihad ada hijrah, kemudian i‘dad (tadrib), kemudian ribath, kemudian perang. Dan hijrah itu senantiasa mengiringi jihad. Karena di dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Junadah secara marfu’, disebutkan:
“Sesungguhnya hijrah itu tidak akan berhenti selama masih ada jihad.” (Shahih Al Jami’, 1987)
Adapun ribath adalah tinggal di daerah perbatasan musuh untuk menjaga kaum Muslimin, ini merupakan unsur yang sangat penting dalam perang, karena peperangan itu tidak terjadi setiap hari. Terkadang seseorang melakukan ribath dalam waktu yang lama sedangkan selama itu ia hanya terjun dalam peperangan satu atau dua kali.
- Sesungguhnya jihad dengan jiwa (secara fisik) dan harta pada hari ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap Muslim. Dan umat Islam akan terus menanggung dosa sampai seluruh wilayah Islam dapat diambil kembali dari tangan orang-orang kafir, dan tidak ada yang terbebas dari dosa kecuali para mujahidin.
- Sesungguhnya jihad pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu bermacam-macam. Adapun perang Badar hukumnya adalah sunnah, sedangkan perang Khandaq dan perang Tabuk hukumnya adalah fardhu ‘ain bagi semua orang Islam karena Rasulullah memobilisasi seluruh umat Islam, adapun perang Khandaq sebabnya adalah karena orang-orang kafir menyerang Madinah yang merupakan bumi Islam. Sedangkan perang Khaibar (7 H) hukumnya adalah fardhu kifayah dan Rasulullah tidak mengizinkan untuk ikut di dalamnya kecuali orang-orang yang ikut dalam perang Hudhaibiyah (6 H).
- Adapun jihad pada masa sahabat dan tabi’in, rata-rata hukumnya adalah fardhu kifayah, karena peperangan-peperangan pada masa itu adalah penaklukan-penaklukan baru.
- Adapun jihad dengan jiwa (secara fisik) pada hari ini seluruhnya hukumnya adalah fardhu ‘ain.
- Allah tidak menerima alasan seorangpun yang tidak berjihad kecuali karena sakit pincang, buta, anak-anak yang belum baligh, wanita yang tidak mengetahui jalan untuk jihad dan hijrah, orang yang sudah tua renta, bahkan orang yang hanya sakit ringan atau orang yang hanya buta sebelah matanya atau orang buta yang mampu datang ke kamp-kamp latihan untuk bergabung dengan para mujahidin, kemudian supaya dapat mengajarkan Al Qur’an dan hadits kepada mereka serta memberikan motivasi kepada mereka, maka lebih baik bagi mereka untuk datang sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin Ummi Maktum dalam perang Uhud dan Qadisiyah.
- Selain mereka, tidak ada udzur bagi mereka di sisi Allah, baik seorang pegawai atau pemilik perusahaan atau pengusaha atau pedagang besar, mereka itu bukanlah orang-orang yang mendapat udzur untuk meninggalkan jihad dengan jiwa (fisik) dan untuk membayarkan harta mereka.
- Sesungguhnya jihad itu adalah ibadah jama’iyyah, dan setiap jama’ah itu harus ada pemimpinnya, dan taat kepada pemimpin itu merupakan unsur yang sangat penting dalam jihad. Oleh karena itu jiwa ini harus dibiasakan untuk taat kepada pemimpin.
“Hendaknya engkau mendengar dan taat baik ketika susah maupun ketika senang, baik dengan sukarela maupun terpaksa, dan baik ketika pemimpin itu lebih mementingkan dirinya daripada dirimu.” (HR. Muslim)
Penutup
Oleh karena itu … jujurlah kalian kepada diri kalian sendiri, kepada agama kalian dan kepada rabb kalian. Hukum syar’inya jelas, dan kita tidak akan mempermainkannya. Hukum ini telah disepakati oleh seluruh ahli tafsir, ahli hadits, ahli fikih dan ahli ushul fikih. Demi Allah, saya tidak pernah melihat ada sebuah kitab fikih atau kitab tafsir atau kitab hadits yang membahas jihad kecuali pasti menyatakan kaidah berikut ini, “Apabila orang-orang kafir menginjak sejengkal tanah dari wilayah kaum Muslimin, jihad hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi setiap Muslim yang tinggal di daerah tersebut, sampai-sampai seorang wanita harus pergi berjihad tanpa harus izin kepada suaminya, seorang budak harus pergi berjihad tanpa harus izin kepada tuannya, orang yang memiliki tanggungan hutang harus pergi berjihad tanpa harus izin kepada orang yang menghutanginya, seorang anak harus pergi berjihad tanpa harus izin kepada orang tuanya. Dan jika mereka tidak mencukupi, atau mereka melalaikannya atau mereka enggan untuk berjihad maka fardhu ‘ain jihad meluas kepada orang-orang yang disekitar mereka dan begitu seterusnya, sampai fardhu ‘ain jihad itu meliputi seluruh penduduk bumi ini, sehingga mereka semua tidak diperbolehkan untuk meninggalkannya sebagaimana shalat.”
Ingatlah, bukanlah telah aku sampaikan, ya Allah saksikanlan. Dan saya akan meminta kesaksian kalian pada hari qiyamat. Saya akhiri sampai di sini perkataanku, dan saya memohon ampun kepada Allah, untuk diriku dan untuk diri kalian.
Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.