Perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyah adalah realitas yang tidak mungkin dihindari. Bahkan bisa kita katakan bahwadalam batas tertentu, perbedaan pendapat itu dikehendaki dari awalnya oleh Pembuat syariat (Allah Subhanahu wa Ta’ala ). Sebab, jika Allah menghendaki untuk menurunkan Al Qur’an dengan ungkapan yang hanya bisa dipahami dengan satu pemahaman, niscaya Allah sanggup melakukannya. Demikian juga jika Allah menghendaki agar Sunnah Rasul hanya mengandung satu pemahaman, niscaya Allah juga sanggup untuk melakukannya. Akan tetapi, Allah menjadikan banyak dari nash Al Qur’an dan Sunnah bisa dipahami dengan berbagai pengertian untuk menunjukan bahwa perbedaan pendapat itu diantaranya ada yang dari semula memang disengaja oleh Pembuat Syariat, dalam rangka memberi kelapangan pada hamba-Nya dan rahmat bagi umat.
Ada seseorang menyusun sebuah kitab tentang perbedaan pendapat dan diberi judul “Perbedaan Pendapat”. Melihat ini Imam Ahmad berkata kepadanya, “Jangan kamu beri judul buku ‘Perbedaan Pendapat’ namun berilah judul ‘Keluasan Pendapat’. Dikalangan ulama ada ungkapan yang popular berbunyi, ‘Ijmak mereka adalah argumentasi yang pasti, sedangkan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas.’”
Imam Syatibi berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya menetapkan agar cabang-cabang agama ini bisa dipahami dengan berbagai pandangan dan pemahaman. Para peneliti berkesimpulan bahwa pandangan-pandangan itu bisaanya tidak mungkin disatukan. Nash-nash yang bersifat zhanniy (dugaan) itu sangat mungkin untuk melahirkan perbedaan, akan tetapi dalam cabang dan bukan dalam pokok, dalam hal yang parsial bukan yang bersifat global. Karena itu, perbedaan seperti ini tidaklah membahayakan.”[1]
Imam Zarkasyi berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak menetapkan dalil qath’i (pasti) untuk semua hukum syariat, akan tetapi menetapkan dalil yang bersifat zhanniy dengan maksud member keluasan kepada orang-orang mukallaf agar tidak terkungkung dalam satu mazhab karena adanya dalil yang pasti itu.”[2]
Karenanya, keinginan salafusaleh tidak hendak memberangus berbagai ragam pendapat, akan tetapi perhatian mereka adalah bagaimana menghidupkan fiqh ikhtilaf (pengetahuan tentang perbedaan pendapat) dan etika-etikanya, agar orang belajar berlapang dada menerima sesuatu yang secara lapang dada diterima oleh sahabat Rasulullah dan generasi sesudahnya, yang terdiri dari para imam dalam agama. Barang siapa tidak bisa menerima sesuatu yang mereka bisa terima, maka dia tidak mendapat kelapangan dada dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun perbedaan pendapat dalam hukum, maka hal ini tidak terhitung jumlahnya. Dengan demikian, sekiranya setiap kali ada dua orang Muslim berbeda pendapat lalu diikuti dengan saling bermusuhan, niscaya tidak akan tersisa lagi perlindungan dan persaudaraan.”[3]
Dalam hal ini, tiga orang Khalifah Bani Abbas pernah meminta izin kepada Imam Malik –rahimahullah– untuk mewajibkan umat mempedomani kitab Al Muwaththa’-nya dan bersatu kata dengannya. Akan tetapi, beliau tidak mengabulkannya. Sikapnya itu –seperti yang dikatan Ibnu Katsir- adalah lantaran kematangan ilmu dan sifat adilnya. Mereka bertiga adalah Khalifah Abu Ja’far Al Manshur, putranya yaitu Khalifa Al Mahdi, dan cucunya yaitu Khalifah Harun Ar Rasyid.
Diantara yang dikatakan Imam Malik kepada Khalifah Al Manshur –sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu ‘Asakir- adalah, “Jangan engkau lakukan ini, sebab umat memiliki beragam pendapat, mereka mendengar banyak hadits dan riwayat, dan masing-masing kaum dari mereka mengambil pemahaman yang telah lebih dulu mereka terima daripada munculnya perbedaan pendapat dan semisalnya, lalu mereka mengamalkannya dan sudah terbisaa dengannya. Sesungguhnya, mengubah sesuatu yang telah mereka yakini itu persoalan besar. Karenanya biarkanlah umat dengan apa yang telah mereka amalkan, dan biarkanlah mengamalkan sesuatu yang sudah menjadi pilihan penduduk tiap daerah untuk diri mereka sendiri .”
Khalifah Al Manshur berkata, “Sungguh, kalau saja beliau memperkenankan, pasti akan aku berlakukan.”[4]
[1] Syatibi, Al I’tisham. 2/168
[2] Dr. Abul Fath Al Bayanuni, Al Ikhtilafat Al Fiqhiyah, h.23
[3] Majmu’ Al Fatawa. 24/172
[4] Ibnu Asakir. Kasyf Al Ghita. H.47