I
Mosi tentang pembagian waris sebagaimana yang telah dimajukan oleh satu perkumpulan yang besar di Minangkabau, yaitu “Persatuan Tarbiyah Islamiyah” itu, pada hakikatnya adalah suatu kejadian penting dalam evolusi kemajuan masyarakat kita; baik dalam lingkungan Minangkabau khususnya, maupun dalam daerah-daerah lain yang mempunyai hukum-adat pada umumnya. Kelihatannya mosi itu timbul antara lain, dari percaturan antara dua kekuasaan hukum yang sudah begitu lama berjalan bersanding-dua dalam pergaulan hidup di Minangkabau, yakni Adat dan Agama.
Bukan maksud kita hendak memperbicangkan tarif dan istilah adat dengan panjang lebar. Yang dimakusd dengan perkataan adat dibawah ini ialah Undang-undang adat yang berlaku untuk mengatur masyarakat dalam pergaulan hidup, seperti kehidupan berumah-tangga, urusan pembagian warisan dan lain-lain yang semacam itu, yang mempunyai kekuatan sanksi sebagai hukum-adat.
Sudah terang, bahwa apabila negeri mempunyai adat, itulah tandanya negeri tua, negeri yang berkecerdasan tinggi. Dan Minangkabau adalah suatu daerah yang beradat, mempunyai satu peradaban yang tumbuh dalam masyarakat itu sendiri dan terus hidup dari zaman bertukar masa, dari dahulu sampai sekarang. Adatnya itu ada mengandung berapa bagian yang tak mungkin rusak selama-lamanya. “Tak lakang dek paneh, tak lapua diujan!”[1] Bukan lantaran larangan manusi yang memeluk adat itu, melainkan adat itu sendiri sesuai dengan Undang-undang kehidupan pada zaman-zaman yang dilalui.
Tetapi selain dari pada itu, tentu ada pula bagian-bagian adat itu yang mungkin berubah dan jatuh, lantaran keadaan masyarakat telah berubah, sudah amat berlainan dengan keadaan-keadaan yang menyebabkan timbulnya adat itu pada masa dahulu. Dan ada pula diantaranya yang baru-baru saja timbul, yang disebabkan oleh keadaan-keadaan yang baru pula.
Tiap-tiap masyarakat tidak sunyi dari perubahan dan pergerakan (evolusi). Yang satu lebih lekas dari pada yang lain, tetapi walau bagaimanapun, masyarakat tetap berubah dan bergerak dari selangkah keselangkah. Dan bersama-sama dengan perubahan masyarakat itu, maka susunan peraturan-peraturan dan Undang-undang-nya yang semata-mata terbit dari masyarakat itu sendiri, tak dapat tiada tentu turut bergerak dan berubah pula. Tapi, lantaran evolusi itu berjalan perlahan-lahan dan berangsur-angsur, maka tidak begitu terang perubahan dalam masa seumur hidup satu turunan (generasi) misalnya.
Ia seringkah baru kelihatan, kalau sudah diperbandingkan dua macam ketetapan-adat dalam masa yang telah berjauhan. Itulah sebabnya maka acap kali terdengar orang tua-tua kita berkata dengan mengeluh, “bahwa orang-orang muda sekarang tidak tahu lagi akan arti adat yang sebenarnya”, yakni seperti yang mereka artikan menurut kehendak zaman, masa mereka dahulu. Dan apabila “orang-orang muda sekarang” itu kelak sudah tua pula, merekapun akan mengeluh seperti bapak-bapaknya itu pula, kalau mereka tidak menginsafi sedalam-dalamnya evolusi masyarakat manusia itu. Padahal dalam hakikatnya antara zaman-muda dan zaman-tua dari satu-satu generasi itu, adalah telah berlaku sebagai maksud peribahasa: “air sudah kerap kali besar, tepian sudah acap kali berkisar.”
Dan begitulah seterusnya!
Sifat seperti yang dikemukakan diatas senantiasa akan bertemu dalam salah satu susunan-adat yang hidup. Dan Tiap-tiap usaha manusia, yang hendak menahan evolusi tersebut dan memaksa rakyat banyak supaya hanya tunduk kepada salah satu ketetapan-adat yang sengaja dijaga supaya jangan ber-ubah menurutkan perubahan pergaulan hidup, — adalah usaha yang demikian, pada hakikatnya bukanlah berarti memperlindungi adat, tetapi membongkar salah satu sifat yang terpenting bagi Tiap-tiap adat, yakni kesanggupannya menyesuaikan diri dengan masyarakat. yang senantiasa berubah dan bergerak senantiasa.[2]
Apabila sifat yang demikian ini telah dibongkar, maka putuslah perhubungan Adat itu dengan masyarakat. Masyarakat akan berjalan terus, kalau tdak dengan kencang, dengan lambat tapi tetap bergerak. Dan peraturan yang bersangkutan tadi akan tinggallah hanya semata-mata dalam pepatah dan petitih, sebagai kenang-kenangan kepada masa yang telah silam meskipun mungkin juga ia ditafsir dan dita’wilkan, tapi telah menurut semau yang memakainya saja. Keadaan ini terus akan berlaku, baik kita setuju maupun tidak!
Lisanul Hal
Kita sudah sama-sama maklum bagaimana akibatnya bilamana satu ketetapan-adat, tetapi hendak dipegang keras, ketika keadaan tidak mengizinkan lagi. Ini cukup diketahui, dan tak usah kita jelaskan lagi.
Dan, kalau sekiranya diadakan satu pemeriksaan-umum (anket) dan ditanya kepada segenap anak Minangkabau: Apakah sebabnya mereka itu pergi ke negeri orang, dan kalau sudah lama di rantau kelihatannya seolah-olah tidak rindu hendak pulang lagi, maka yang muda-muda, akan menjawab: “Kami sedang menuntut ilmu!”
Baiki kalau sudah tamat sekolah?!
Mereka akan berkata: “Biarlah dicoba-coba pula hidup di negeri orang dahulu, kalau sekarang pulang kekampung, susah pula nanti mengorak langkah dari rumah.”
Dan setelah beberapa tahun bekerja dirantau, mereka akan berkata: “Ya, susah pulang sekarang, susah meninggalkan pekerjaan,ongkos pulang tak cukup pula,… dan sudah beranak-isteri…, dan sebagainya.”
Akan tetapi tidak kurang pula yang berani berterus-terang dan berkata dengan kontan, sebagaimana pernah kita dengar dari seorang
orang-tua kita dirantau yang menjadi kayu besar tempat bernaung bagi yang muda-muda, jawabnya, “Kalau saya pulang kekampung, sudah tentu saya akan dilihat sebagai seorang yang telah bertukar itikad, sebagaimana orang Katolik melihat orang Protestan.”
Pada hal beliau yang berkata ini ialah seorang yang beragama, berpengetahuan dan berpengalaman luas, baik tentang ilmu umum, ataupun tentang ilmu Agama dan adat-istiadat.
Mungkin jawaban yang seperti ini dianggap sedikit berlebih-lebihan, akan tetapi kalau dikurangkan separoh dari kekuatannya, sudah cukup untuk jadi buah pertimbangan kita. Apalagi yang berkata kira-kira begitu bukan seorang dua saja, bahkan boleh disebut umum dikalangan anak-anakMinangkabau yang ada di rantau.
Apakah kesalahan dalam hal ini seratus persen harus dipikulkan kepada mereka yang merantau itu dengan mengatakan bahwa mereka semua memang sudah „salah-asuhan” sama sekali, atau apakah patut pula diperiksa pada pihak yang sebelah lagi…?
Pertanyaan yang begini pernah juga dikemukakan oleh Yth. H. A. Salim dalam salah satu rapat umum Komite Minangkabau:
“Kita orang Minangkabau yang bernegeri begitu subur, penduduknya belum begitu rapat dibandingkan dengan tanah Jawa ini, apakah gerangan yang menjadi sebab maka kita berduyun-duyun pergi meninggalkan kampung dan halaman, pergi menyempitkan negeri yang memang sudah sempit ini!”
Pertanyaan ini tidak beliau jawab. Diserahkannya menjawabnya kepada pendengar-pendengar, kepada orang Minang yang ada di rantau dan kepada yang ada di kampung. Walau bagaimana, amat patut pula rasanya hal ini jadi buah pemeriksaan yang saksama bagi pemuka-pemuka dan penghulu-penghulu kita nan “gadang basa batuah”[3] yang jadi sendi pergaulan hidup masyarakat di Minangkabau.
II
Dari beberapa keadaan yang telah kita kemukakan diatas, nyatalah, bahwa sebenarnya masalah ini bukanlah semata-mata masalah Adat dan Agama Islam saja. Adat Minanangkabau chususnya dan Adat di-lain-lain daerah diseluruh Indonesia pada umumnya, bukanlah berhadapan dengan Agama Islam saja, akan tetapi tidak kurang pula dengan kecerdasan “luar” yang masuk dengan jalan pendidikan dan pergaulan dengan lain-lain kaum dan bangsa, atau oleh peraturan-peraturan Pemerintah yang masuk berangsur-angsur, dan tak kurang pula oleh bermacam-macam paham dan ideologi “modern” yang masuk dengan perantaraan lisan dan tulisan kedalam masyarakat kita dalam abad ke 20 ini. Semua ini bukan sedikit memancarkan pengaruhnya atas pergaulan hidup suku-suku bangsa di Indonesia ini.
Pernah beberapa pembesar Hindia Belanda mengusulkan kepada Pemerintah Tinggi, supaya diadakan perlindungan atas Adat dari pada “serangan” Agama Islam, lantaran mereka menganggap bahwa Islamlah satu-satu-nya yang mungkin merusakkan Adat. Tapi berhubung dengan dorongan semacam ini, kira-kira 50 tahun yang lalu, Prof. Snouck Hurgronye memperingatkan kepada Direktur Kehakiman:
“Sekalipun tidak ada pengaruh propaganda Agama Islam, matriachaat orang Minangkabau sudah tentu akan jatuh juga, disebabkan oleh pengaruh pemerintahan dan hukum pengadilan kita, pengaruh pengajaran kita, pengaruh perhubungan lalu-lintas, yang sudah kita perbaiki, walaupun jatuhnya itu sesudah ia (matriarchaat) mempertahankan diri dengan cara pasif dalam masa yang lama.[4]
Sampai kemana terbuktinya ramalan setengah abad yang silam itu dapat kita lihat keadaannya sekeliling kita sekarang ini. Berapakah dari kaum kita di Minangkabau yang masih menyerahkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya kepada mamak [5] anak-anak itu? Berapakah lagi yang masih menganggap “rumah isteri” sebagai tempat singgah, dan “rumah ibu” sebagai tempat pulang?
Berapakah lagi yang masih mungkin dilarang kawin di luar kampung, dan berapakah lagi yang masih mengutamakan mamak sebagai “wali adat”, lebih dari bapak sebagai “wali-syara”
Kalau 50 tahun yang lalu, di masa pengajaran belum begitu mendalam, Agama Islam belum begitu luas dan populer siarannya, perhubungan lalu-lintas belum begitu teratur, bermacam-macam Undang-undang, hukum dan cara pemerintahan belum begitu umum dipakai, — kalau di masa itu telah banyak putera Minangkabau yang kehidupannya tidak lagi seratus-prosen menurut Undang-undang “adat yang kawi”, maka kini jumlah itu akan bertambah besar, dan di hari-hari depan akan terus bertambah besar lagi.
Dengan sebenarnya percaturan ini adalah percaturan antara “dunia tua” dan “dunia baru”, yang berpangkal kepada percaturan antara “gemeenschap” dengan “individu”, antara kehidupan secara berkaum, dengan hak kehidupan setiara diri merdeka. Proses semacam ini senantiasa akan bertemu dalam masyarakat mana saja diseluruh Indonesia sekarang ini, ya bahkan diseluruh dunia Timur dewasa ini.
Dan pada hakikatnya hal ini tak usah “mengecewakan” amat bagi mereka yang “cinta” kepada Adat kita itu. Sebab, dalam satu adacang-hidup, bilamana pada suatu masa, kejadian yang mengecuali dari aturan biasa itu jadi bertambah banyak juga, sehingga lebih banyak dari pada ukuran peraturan yang sudah ada, maka disana terbukalah pintu untuk musyawarat dan mencari kata-sepakat untuk menjadikan hal yang tadinya,” kecuali” itu jadi “aturan” atau ketetapan-adat, buat masa itu dan masa kedepannya.[6]
Dan sekali-kali bukanlah menjadi aib bagi kepala-kepala adat yang bertanggung-jawab, yang menjadi sendi dari pergaulan hidup kita, mengadakan perubahan demikian, tetapi itu adalah membuktikan kebijaksanaan dan kearifan mereka, yakni tanda mereka memang ada senantiasa berawas-mata dan bernyaring-telinga terhadap Tiap-tiap keadaan yang telah berubah dan terhadap suara-suara rakyat yang meminta perubahan. Dan mereka harus bersedia pada saatnya melakukan perubahan itu, manakala perlu!
Dan dengan begitu adat tidak akan berarti “jatuh.” Perhubungan antara ninik-mamak dan anak kemenakan tidak akan bertambah jarang, akan tetapi akan bertambah rapat, lebih rapat dari apa yang bisa kita alami sekarang ini. Sekiart dilihat dari lisanul-hal sebagaimana yang ada.
Pengaruh Kehakiman Barat
Tuan Dt. Sanggunodirajo telah mengemukakan dalam kitabnya “Peraturan Hukum Adat” beberapa contoh kejadian-kejadian, yang mungkin berlaku dalam percaturan antara individu dan gemeenschap dalam masyarakat Minangkabau; semua kejadian itu beliau pandang semata-mata sebagai kekeliruan-kekeliruan yang tidak sah menurut adat.[7]
Prof. Mr. B. Ter Haar merasa perlu mengurung perkataan tidak sah itu dengan koma-dua, ditulisnya “onwettig.” Kalau tidak terhadap semuanya, sudah tentu terhadap sebagian contoh yang dikemukakan Dt. Sanggunodirajo itu, adalah disetujuinya. Ter Haar berkata: “Kegentingan yang ada dalam semuanya itu menimbulkan bermacam perbuatan yang “tidak-sah”, lagi pula menyebabkan terjadinya berbagai macam penipuan. Alangkah baik kiranya, bilamana dalam familierecht terhadap harta pusaka mungkin dipilih satu kalimah (diadakan satu peraturan), supaya terbukalah pintu untuk timbulnya hak-hak anggota pamili atau jurai pamili yang kecil-kecil (diperhubungkan dengan caranya pembagian harta waris pencaharian), sehingga pamililah yang memegang hak itu; sedangkan sebaliknya, hakim pengadilan dibolehkan pula memandang suatu pelanggaran atas tersinggungnya familierecht yang lambat-laun sudah dibiarkan itu, dan yang sudah seringkah pula kejadian itu, sebagai beberapa tanda bagi kelahirannya dunia baru; dan ia tidak usah merasa mempunyai kewajiban harus mengalangi perubahan yang demikian sebagai satu hal yang “tidak sah.””[8]
Dalam pidatonya itu juga Prof. B. Ter Haar mengemukakan lagi suatu funksi, satu kedudukan yang chusus bagi hakim-hakim pengadilan yang seringkah berhadapan dengan hukum-adat yang tidak tertulis itu. Ia menganggap, bahwa seorang hakim pengadilan itu bukanlah sebagai pegawai yang hanya bekerja dengan pasif menurut hukum-adat yang berlaku sekarang itu saja, akan tetapi sebagai seorang pembantu dan pemimpin dalam perubahan (evolusi) yang harus berlaku dalam hukum-adat umumnya.
Bantuannya ialah berupa vonis-vonis yang ia jatuhkan untuk pendasarkan hukum-hukum atau yurisprudentie yang akan datang, supaya lama-lama menjadi adat dan pimpinan itu ialah berupa pengawasan atas berjalannya evolusi itu, sehingga dapatlah jalan-tengah yang adil,, jangan terlampau jumud (beku, statis), dan jangan pula terlampau longgar sama sekali. Ia harus menjaga, demikian anjuran Guru-Besar tersebut, supaya masyarakat yang sedang terkungkung oleh adat-adat lama dapat menuju kepada susunan hak berkaum yang pantas (rasionil), tapi jangan sampai terperosok kepada kemauan hidup masing-masing yang terlampau leluasa (ongebonden individualisme).[9]
Harus kita perhatikan, bahwa yang dianjurkan Prof. B. Ter Haar ini, bukanlah semata-mata untuk mendapat kelonggaran dalam pembagian warisan liarta pencaharian saja, melainkan mengenai hukum-hukum adat umumnya dan hukum-hukum matriarchaat di Minangkabau khususnya.
Kita kemukakan semua ini, adalah untuk membuktikan bahwa selain dari Agama Islam, banyaklah pula kekuatan dan pengaruh-pengaruh lain, yang senantiasa “bercatur” dengan “adat kita yang kawi” itu.
Dan lagi untuk membuktikan bahwa diluar kalangan Islam sudah lama orang berikhtiar hendak “mengisar-tepian”, pada hal sedikitpun tidak dipermusyawaratkan dengan rakyat yang banyak, yang memangku Adat itu, dan tidak dipuhunkan [10] terlebih dahulu kepada pertiapan “ninik-mamak dan penghulu-penghulu kita nan-gadang-basa- batuah.”
Tidak pernah, …akan tetapi yang ditujunya langsung juga lambat-launnya…!
IV
Suara Rakyat yang Mempunyai Adat
Sekarang datang mosi yang bersifat permohonan kepada semua yang berwajib dan bersifat nasihat serta peringatan kepada semua yang bersangkutan dengan “pembagian harta-pusaka” sebagai seorang Islam.
Mosi itu dikemukakan oleh alim-ulama, pemimpin-pemimpin ruhani umat, ditunjang oleh beberapa penganjur dari kalangan ninik-mamak, diperhatikan serta dikuatkan oleh ribuan anak Minangkabau yang berkesempatan memberikan suara mereka dalam rapat umum itu.
Belum disebutkan lagi tunjangan moril dari ratusan-ribu rakyat Minangkabau umumnya, baik yang tergabung dalam Perti atau dalam salah satu perkumpulan Islam yang lain. Begitupun dari pihak yang tidak tergabung dalam gerakan-gerakan itu, tetapi mereka beragama Islam.
Semua ini sampai cukup untuk pengukur kekuatan mosi tersebut.
Adapun permintaan yang terkandung dalam mosi itu, tidaklah pula menghendaki satu perubahan yang amat “radikal” yang membongkar urat dan akar-akar adat yang telah berlaku. Harta pusaka yang bukan harta-pencarian tidak dijadikan urusan oleh mosi itu. Yang diminta, hanyalah agar harta-pencarian, hendaklah diwarisi menurut Undang-undang-faraidh, karena orang Minangkabau beragama Islam, “supaya umat Islam Minangkabau jangan selalu memakan harta yang haram menurut Agamanya!”
Coba bandingkan isi mosi ini dengan apa yang dianjurkan oleh Prof. B. Ter Haar seperti tersebut diatas tadi. Tidak sanggup kita memikirkan apakah lagi, yang kurang-dari-ini, yang mungkin “diminta” oleh alim-ulama kita dan oleh orang Minangkabau sebagai orang Islam umumnya, — kalau sebenarnya mereka tinggal dalam negeri yang menjamin kemerdekaan penduduknya beragama?!
V
Warih Dijawe, Pusako Tatotong[11]
Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa Agama Islam telah menetapkan suatu peraturan pembagian harta-warisan dengan cukup jelas dan terang. Tiap-tiap seseorang Muslim, tentu juga sebrang Minangkabau Muslim, tidak terlepas dari pada peraturan Agama tersebut.
Ini tidak berarti bahwa Agama Islam itu satu Agama, yang menghapuskan akan semua yang ada pada sebelumnya, sebagaimana yang seringkah didakwakan orang. Agama Islam membawa ajaran-ajaran yang berhubung dengan ‘akaid dan ‘ubudiyah dan sebagian dari urusan-urusan mu’amalah (keduniaan), sebagaimana yang termaktub dalam Quran dan Sunnah .Rasul, yang tak mungkin ada perubahan didalamnya.
Salah satu dari urusan keduniaan yang telah diatur itu, ialah urusan waris.
Adapun terhadap hak-hak keduniaan di luar semuanya ini, yakni yang tidak diatur oleh Agama Islam, maka Undang-undang Islam mengambil sikap menurut satu kaedah yang terkenal dalam kalangan ahli-usul dengan sebutan: “al baraatul ashliyah” atau “al ibahatul-ashliyah”, yang maksudnya bahwa, “pada asalnya semua boleh, kecuali mana yang telah dilarang.”
Lantaran itu orang tidak usah kuatir bahwa Islam akan menghapuskan juga semua peraturan-peraturan-adat yang lain-lain, yang tidak berlawanan dengan Agama.
Selain dari pada dua-tiga masalah pergaulan hidup yang sudah diatur oleh Agama Islam seperti perkawinan dan warisan ini, berapa banyak lagi adat-istiadat yang dibiarkan, dibenarkan dan dikuatkan oleh Islam, umpamanya saja yang berhubung dengan achlak dan adab yang baik-baik.
Pun juga berhubung urusan waris ini, Agama Islam tidak akan membawa pemeluk-pemeluknya di Minangkabau kearah “ongebonden individualisme”, hidup bernafsi-nafsi yang tak-kenal-kaum, sebagaimana yang disuruh jauhi juga oleh Prof. B. Ter Haar dalam pidatonya yang terkenal itu.
Sudah menjadi satu peraturan Agama yang cukup dikenal orang Islam umumnya, bahwa Tiap-tiap orang Islam berhak mewasiatkan paling banyak 1/3 dari hartanya untuk siapa saja yang ia sukai. Agama Islam ialah satu Agama yang lengkap untuk mengatur hak dan kewajiban seseorang terhadap kepada kaum dan masyarakatnya dalam “rationeel gemeenschapsverband”, dengan cara yang harmonis, adil dan seimbang.
Malah ada peraturan ‘dari Islam, supaya tatkala akan membagi harta pusaka, hendaklah jangan dilupakan memberi kepada karib yang kebetulan hadir diwaktu pembagian itu, barang sekedarnya (QS An-Nisa’: 8).
Sekurang-kurangnya, jikalau hendak memperbesar harta “pusaka yang kawi”, — yang memang buat orang Minangkabau besar juga manfaatnya sebagai onderstenningsfonds bagi pamili, bila dapat diatur dengan baik dan adil —, ada cukup terbuka jalan dengan jalan wasiat. Dengan ini waris dapat dijawat, pusaka dapat ditolong.
Dengan cara yang baik sepanjang adat, halal pula sepanjang syara’. Dan tidak pula menganiaya anak-yatim yang kematian bapak…!
Islam dan „adat-politik”, — “Still powerless to be bovn!’
Sikap Pemerintah
Berdasar kepada keterangan yang berulang-ulang dari pihak Pemerintah dengan cara yang resmi itu, dapatlah kita memahamkan bahwa Pemerintah dalam hal ini tetap netral semata-mata. Diwaktu Pemerintah menetapkan „Agrarisch Reglement van Sumatras Westkust” seperempat abad yang lalu (Stb. 15 Jan. 1915 No. 98), Pemerintah juga telah menegaskan sikapnya yang demikian itu. [12]
Dan dalam Reglement itu juga, Pemerintah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum-adat itu, ialah hukum-adat yang sudah semestinya berubah-ubah menurut perubahan masa dan keadaan. [13]
Maka kalau prinsip adanya perubahan itu sudah diakui, antaranya oleh karena pengaruh kehakiman Barat dengan nama “pimpinan” pegawai-pegawai kehakiman, seperti yang dianjurkan oleh Prof. B. Ter Haar itu, apakah lagi yang mungkin menjadi alasan bagi Pemerintah untuk mengalangi perubahan itu bilamana datang keinginan dari pihak rakyat yang memangku adat itu sendiri, serta dicukupkannya dengan alasan-alasan yang kuat sebagai yang dikemukakan oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah dalam mosinya itu. Maunya untuk terjadinya perubahan itu tidak berkehendak kepada satu ordonansi atau Undang-undang apapun juga, sebab Undang-undang yang akan diubah itu tidak pernah tertulis (gecodificeerd) seperti Undang-undang yang lain. Sebaliknya, campur tangan Pemerintah dengan berupa halangan — quod non — dalam urusan ini, mungkin sekali akan menimbulkan rasa kecewa dan salah-terima dari rakyat itu.
Dan kita sayangkan, jika sekiranya masih ada yang memandang masalah ini semata-mata sebagai pertentangan antara Adat dengan Agama, dan diatas itu hendak memetik, bahwa tibalah saat yang baik untuk menahan propaganda Islam itu dengan “memperkuat benteng-adat” —, maka sudah terang orang itu akan terkecewa pula.
Lebih baik dalam masalah yang macam ini didengar kembali pendapat pembina politik-jajahan menghadapi kaum Muslimin, yang telah berjasa besar bagi Pemerintah Hindia Belanda, dan berulang-ulang memperingatkan kepada mereka yang berpaham demikian.
Dia berkata:
“…tak ada dimanapun juga dia (Agama Islam) itu, suka melepaskan urusan berumah-tangga (berpamili) dari tangannya. Menahan aliran ini dengan cara yang dibuat-buat sama artinya dengan memungkiri sejarah dan akan berakibat seperti mendayung biduk kemudik, menentang arus yang deras.”.. [14]
Kalau ini belum terang, maka Prof. Snouck menambah lagi:
“Perlindungan yang diberikan kepada adat, walaupun baik pada hakikatnya, menurut keyakinan saya tidaklah akan menolong menahan propaganda Islam, sekiranya perlindungan itu diberikan dengan mempertahankan beberapa Undang-undang adat yang khusus seperti Undang-undang matriarchaat, dengan cara yang dibuat-buat (kunstmatig), dan (yang semacam itu), mungkin makin mengobarkan propaganda Islam dengan cara yang tidak disetujui. Sebab keyakinan, bahwa kehidupan berpamili secara adat Minangkabau itu, harus diubah menurut Undang-undang Agama, lambat laun tetap akan berpengaruh besar atas perasaan mereka; dan apabila Pemerintah menghalang-halangi datangnya perubahan itu, maka dengan itu ia memberikan senjata ketangan mereka yang suka menimbulkan curiga terhadap kepada maksud-maksud (Pemerintah), sebagai niat hendak menentang Agama (mereka).”[15]
Kita rasa semua ini sudah lebih dari cukup diketahui oleh pihak Pemerintah sendiri, dan tak usah kiranya kita ulangi lagi!
Saringan
- Hukum-adat Minangkabau bukanlah suatu susunan Undang-undang yang telah ditetapkan oleh sipembuat-undang seperti menetapkan Undang-undang-Pemerintah biasa, yang Tiap-tiap perubahannya harus ditetapkan dengan Undang-undang pula, baik dengan nama Undang-undang ataupun ordonansi dan lain-lain yang semacam itu. Hukum-adat Minangkabau bukanlah pula satu susunan yang diturunkan dengan perantaraan Wahyu Ilahi sebagai halnya Kitab-kitab Suci yang tidak mungkin ada perubahan atasnya sedikitpun juga. Akan tetapi hukum-adat Minangkabau itu ialah suatu susunan peraturan-peraturan pergaulan- hidup yang tumbuh dalam masyarakat Minangkabau sedikit- demi-sedikit dari zaman bertukar masa, serta menerima perubahan menurut zaman dan keadaan.
- Semenjak masuknya pengaruh-pengaruh dari luar dengan jalan pengajaran dan pergaulan dengan lain-lain bangsa, serta peraturan-peraturan yang datang dari Pemerintah Hindia Belanda, mulailah timbul dalam Alam Minangkabau satu “aliran baru” di kalangan anak-kemenakan yang muda-muda yang semakin lama semakin jauh juga perasaan dan pemandangan hidupnya dari pada yang lazim dalam pergaulan hidup di Minangkabau, menurut ukuran pengertian dan perasaan yang turun-temurun dari dahulu kala. Salah satu dari akibat pertikaian antara dua-dunia ini, ialah bahwa bukan sedikit anak-kemenakan orang Minangkabau yang walaupun diam, tidak mengeluarkan suara, akan tetapi memperlihatkan dengan perbuatan dan amal mereka, yang mereka pada hakikatnya tidak patuh lagi pada yang dimaksud oleh adat Minangkabau yang asli itu. Keadaannya hampir menyerupai perlawanan- diam-diam dan hal ini hanya mungkin diperbaiki, bilamana adat Minangkabau tidak mengambil sikap: menolak Tiap-tiap yang “baru” itu belaka, akan tetapi dapat menyesuaikan diri dengan aliran masa yang terus berjalan tidak berhenti itu.
- Pemerintah, mengakui akan adanya evolusi dalam hukum-Minangkabau, dan membiarkan berjalannya evolusi itu dengan mengizinkan masuknya pengaruh kehakiman Barat antara lain berupa “pimpinan” dari hakim-hakim pengadilan yang berdasar pada Undang-undang Barat.
- Mosi yang dikemukakah oleh Kongres Perti itu supaya warisan harta-pencaharian dibagi menurut hukum-faraidh, adalah satu permintaan yang berdasar kepada keadilan dan aturan-aturan Ilahi yang dijunjung tinggi oleh anak Minangkabau sebagai orang Islam. Mosi itu ialah ujung lidah dari rakyat Minangkabau terhadap semua yang berwajib dalam urusan ini, dan hal itu tidak patut kalau diabaikan saja.
- 4. Agama Islam sebagai satu Agama untuk individu dan gemeenschap mempunyai peraturan-peraturan yang cukup berhubung dengan harta- warisan ini dan juga membukakan pintu dengan secukupnya pula untuk menambah kokohnya harta pusaka yang kawi, antara lain dengan jalan wasiat.
- Pada hakikatnya penyelesaian masalah ini bukanlah bergantung kepada kerelaannya pihak Pemerintah yang senantiasa memegang teguh dasarnya, bersikap netral terhadap Adat dan Agama penduduk asli, akan tetapi bergantung kepada kebijaksanaan dan permupakatan penduduk Minangkabau yang mempunyai Adat itu sendiri, dari penghulu nan gadang basa batuah, sampai kepada alim-ulama penuntun umat, dari ninik-mamak sampai kepada anak kemenakan, dari penganjur-penganjur dan pemimpin pergerakan sampai kepada arifin yang cerdik pandai, baik yang dikampung ataupun yang dirantau.
Penutup
Kita kemukakan sedikit pemandangan ini untuk jadi pertimbangan bersama, mudah-mudahan dapat menghasilkan manfaat. Dalam Westkustrapport, pernah yang menyusunnya mengatakan bahwa “aliran-baru” dalam Alam Minangkabau: “is powerless to be born, tak-berdaya akan lahirke dunia.”
Begitu pendapatan orang, akan tetapi kita percaya bahwa “si anak yang dalam kandungan itu” pada satu saat tak boleh tidak akan “cukup juga bulannya” dan sudah tentu akan lahir juga kedunia, dengan tidak bergantung kepada sudi tak-sudinya si ibu.
Maka, akan selamatlah si Ibu dan si Anak, bilamana si Ibu mengakui akan undang-undang alam ini, serta bersedia dengan rela hati memberikan kurbannya bilamana perlu untuk menyambut si Anak, sambungan hayatnya itu.
Dari Panji Islam..
Juni-Juli 1939
[1] Di-Indonesia-kan: Tidak rusak oleh panas, tidak ‘lapuk oleh hujan, maksudnya tidak berubah selamanya.
[2] “Zijn vlottend karakter, de gemakkelijkheid waarmee het zich voor de maatschappelijke toestanden, waar deze zich wijzigeri, weder pas-klaar laat maken”. Dr. Snouck Hurgronje, Adatrechtbundel I : pag. 22 (1911).
[3] Indonesianya : gedang, besar dan ber-tuah, maksudnya penghulu-penghulu dalam negeri di Minangkabau.
[4] “Zelfs, zonder de werking der Mohammedaansche propaganda zou het matriarchaat der Minangkabauers, ziy het ook na langdurigen passieven weerstand, door den invloed van ons bestuur, onze rechtspraak, ons onderwijs, en door ons verbeterde communicatiemiddelen veroordeeld Ziyn te bezwiyken.” (Adatrechtbundel XII, p. 30).
[5] Saudara laki-laki oleh ibu.
[6] Lihat juga: Adatrechtbundel XII: pag. 27. Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn, pidato 28 Okt. 1930.
[7] “Peraturan Hukum Adat”, fs. 31 (1927), hr. Arab.
[8] “De te grote spanning binnen dat geheel uit zich in a’llerhande „onwettige” transacties en leidt tot bedriegeriyen. Hoe zou het’zijm, indien eens voor het familierecht op pusakagoed een woord gekozen was, dat een ontwikkelingsmogelijkheid open Het naar in defamiliegenotert of kleinere familietakken (aansluitend op de wijze van vererven van eigen gewonnen goed) zich vestigende rechten, zodan’g dat de familie zich niet behoeft te laten belemmeren in haar greep op de grond, zolang zij dien waarlijk onverslapt wil handhaven, doch anderzijds, dat het den rechter mogelijk zou zijn, langzamerhand toegelaten inbreuken op het [amilierecht, die veelvuldig voorkomen als versterking van de individuele rechten te waarderen als symptomen van de geboorte van een nieuwe wereld, en hij zich niet verplicht behoeft te gevoelen zulk een vervormiag als „onwettig”,. voorzover zijn macht reikt af te snijden” (Mr. B. Ten Haar Bzn, Rede 28 Oct. 1930).
[9] “De leiding van den rechter’ is de enyge effectieve hulp die bij het ontwikkelingsproces door de overheid verleend kan worden; van den rechter die het evenwicht tussen stabiliteit en soepelheid, dat is de grootste rechtvaardigheid, moet zoeken, die bij omvorming der maatschappij uit magische beklemming in rationeel gemeenschapsverband of in ongebonden individualisme op schildwacht staat, en weet, dat het te vroeg en te laat begriypen van een rechtsontwikkejjng zijne beslissingen tot voelbaar onrecht maakt” (Ibid).
[10] dimintakan izin.
[11] Harta warisan dapat diambil dan harta pusaka turun-temurun dari pihak ibu dapat pula terpelihara.
[12] Agrarisch Reglement van Sum. Westkust, muka 17.
[13] Ibid, muka 18 : „In dit opzicht bliyft — in hoofdzaak althans — ook na de inwerkto(treding van dit agrarisch reglement, het burgerliyk adatrecht — wel te verstaan zoo als dit zich geleideliyk ontwikkek en aan nieuwe toestanden zich aanpast — ziyn volle kracht behouden”.
[14] …nergens laat hiy (de Islam) zich op den duur de regeling van het leven der familie betwisten. Door dezen loop der zaken kunstmatig te willen tegenhouden, zou men de lessen der geschiedenis miskennen en vergeefs oproeien tegen een sterken stroom”… (Dr. Snouck Hurgronye, Adatrechtbundel I, p. 30).
[15] “Bescherming der adat, hoewel op zich zelf wenschelijk, zal dus naar miyne overtuiging geenen dam helpen opwerpen tegen de Moslimsche propaganda; zou de bescherming bestaan in het kunstmatig handhaven van bepaalde adat-wetten gelijk de matriarchale, dan kon zij zelfs op zeer ongewenschte wijze die propaganda in de hand werken. Immers de overtuiging, dat de Maleische familie naar den zin der godsdienstige wet hervormd moet worden, kriygt zeker allengs heerschappij over de gemoederen, en wanneer gouvernement hinderpalen in den weg legt aan die noodwendige hervorming der adat, zou het wapenen geven in de handen van hen, die zijne bedoelingen gaarne als tegen den godsdienst gekant, verdacht maken” (Adatrechtbundel I, p. 35).