Allah ta’ala berfirman:
“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, Dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan Dia berkata: “Ini adalah hari yang Amat sulit”. dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, Inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?” mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa Kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan Sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya Kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, Sesungguhnya Kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu Pergilah dengan membawa keluarga dan Pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya Dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena Sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; Bukankah subuh itu sudah dekat?”. Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu Tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS Hud: 77-83)
Kisah Nabi Luth bersama kaumnya berulang kali dikisahkan di dalam berbagai surah Al Qur’an, diantaranya surah Al A’raf, Hud, Al Hijr, Al Syu’ara, An-Naml, Al ‘Ankabut, Al Qamar dan lain-lain yang tergolong surah Makkiyah.
Di dalam surah Hud ini kisah kaum Nabi Luth lebih diperinci dibandingkan surah lainnya. Setidaknya terlihat dari beberapa aspek. Pertama, aspek kejiwaan Nabi Luth, yaitu perasaan beliau yang “Dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka”. Ini sangat wajar, sebab Nabi Luth juga manusia biasa namun mendapatkan wahyu Allah. Nabi Luth merasa susah akan kedatangan utusan-utusan Allah itu karena mereka berupa pemuda yang rupawan sedangkan kaum Luth Amat menyukai pemuda-pemuda yang rupawan untuk melakukan homoseksual. Beliau merasa tidak sanggup melindungi mereka jika ada gangguan dari kaumnya.
Kedua, aspek kehancuran moral dan kejiwaan kaum Luth bahwa “sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji.” Maksudnya perbuatan keji di sini mengerjakan liwath (homoseksual). Juga perkataan mereka yang menjijikkan, “Kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan Sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya Kami kehendaki.” Padahal binatang saja tidak ada yang mau berhubungan seks sejenis.
Lebih jauh, Allah menyindir keras moral mereka dengan menyatakan, “Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?” Artinya, mereka bukanlah orang yang bertakwa kepada Allah dan tidak berakal. Sebab tidak mungkin dikatakan bahwa pelaku homoseksual (gay atau lesbian) tidak tercela melakukannya asal mereka bertakwa kepada Allah tetap beribadah dan seterusnya, seperti dinyatakan seorang cendekiawan muslimah. Ia berani menyatakan, “Seorang lesbian yang bertakwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini” (Jurnal Perempuan, Maret 2008). Perbuatan homoseksual jelas bertentangan dengan sifat takwa kepada Allah, lalu bagaimana dikatakan seorang homoseks bisa bertakwa?! Hal ini lebih ditegaskan dalam firman Allah, “ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” (QS Asy Syu’ara: 161)
Ketiga, betapa keras dan dahsyatnya siksa Allah ke atas kaum Luth, Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. Jika ada yang berseloroh menantang, kalau demikian mengapa sekarang ini azab Allah yang keras itu tidak juga dijatuhkan kepada para pelaku homoseksual zaman ini?
Jawabnya, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan misi kedatangan Nabi Muhammad adalah “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya’: 107) Bentuk rahmat Allah setelah diutusnya Nabi Muhammad adalah tidak ada lagi dijatuhkan siksa Allah yang memusnahkan seperti yang menimpa umat-umat nabi terdahulu, karena Allah menginginkan risalah Islam ini kekal dan diterima oleh umat manusia sampai hari kiamat. Imam Ibnu Jarir At Thabari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat itu, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat ditetapkan untuknya rahmat di dunia dan akhirat, dan siapa yang tidak kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia dibebaskan dari siksa memusnahkan yang telah menimpa umat-umat sebelumnya.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, vol.5/339)
Perilaku homoseksual yang dimulai oleh kaum Luth ini disebutkan dengan sifat-sifat tercela, “malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas (qawmun musrifun)” (Al A’raf: 81); “bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas (qawmun‘aduun)” (Asy Syu’ara: 166); “sebenarnya kamu adalah kaum yang bodoh (qawmun tajhalun, tidak mengetahui akibat perbuatanmu)” (An Naml: 55). Keseluruhan sifat buruk kaum Luth menunjukkan bahwa mereka sudah rusak akal dan jiwanya, karena Allah telah menghimpun tiga sifat (berlebihan, melampaui fitrah, dan kebodohan). Mereka tidak mengerti bahaya perbuatan terkutuk itu dan dampaknya terhadap reproduksi manusia, kesehatan, akhlak dan etiket umum dan beragam kemunkaran yang lahir darinya. Mereka pun sudah tidak memiliki rasa malu dan akhlak yang mencegah perbuatan keji.
Di dalam surah lain, tindakan keji homoseksual diungkap sebagai, “Apakah Sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, memotong jalan dan mengerjakan kemungkaran di tempAt Tempat pertemuanmu?” (al-‘Ankabut: 29) Sebagian ahli tafsir mengartikan taqtha’un as-‘sabil dengan melakukan perbuatan keji terhadap orang-orang yang dalam perjalanan karena mereka sebagian besar melakukan homoseksual itu dengan tamu-tamu yang datang ke kampung mereka. ada lagi yang mengartikan dengan merusak jalan keturunan karena mereka berbuat homoseksual. Kebiasaan kaum Luth adalah menghadang para kafilah yang melewati kampung mereka dengan merampas harta, membunuh dan memaksa kaum laki-lakinya berbuat homoseks. Mereka biasa duduk dan memilih di jalan siapa yang ingin mereka setubuhi dari kaum laki-laki. (lihat At Tahrir wa At Tanwir, vol.20/240)
Sanksi terhadap Pelaku Homoseksual
Para ulama bersepakat bahwa praktek homoseksual adalah dosa besar dan pelakunya dilaknat berdasarkan hadis-hadis yang secara mutawatir mengharamkannya. Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anh meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menyatakan, “Sungguh perkara yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth” (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad). Ibnu Abbas meriwayatkan hadis marfu’ dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kalian dapati seorang yang mengamalkan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan korbannya” (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Oleh sebab itulah para sahabat utama seperti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anh dan lainnya berpendapat bahwa sanksinya adalah dibunuh, baik si pelaku maupun objeknya. Semua sahabat nabi sepakat pelakunya dibunuh. Tapi dengan cara seperti apa, mereka berbeda pendapat.
Bahkan diriwayatkan dari Ali Radhiyallahu ‘Anh ia mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar setelah dibunuh dengan pedang, mayat pelakunya dibakar karena maksiat yang melampaui batas. Sementara itu Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anh dan Usman bin Affan Radhiyallahu ‘Anh berpendapat dibunuh dengan cara merobohkan dinding lalu ditimpakan keatas pelakunya. Demikian hasil rangkuman Imam Asy Syaukani dalam kitab Al Muntaqa. Imam Mujahid, seorang ulama tabi’in, pernah berkata, “Sekiranya orang yang melakukan perbuatan kaum Luth itu mandi dengan seluruh air hujan yang menetes dari langit dan seluruh air yang memancar dari bumi, maka ia tetaplah najis” (lihat Tafsir Al Manar, vol.8/458). Wallahu A’lam.