Dengan syariatnya yang tinggi dan undang-undangnya yang universal, Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dan hukum-hukum bagi masing-masing pelamar dan yang dilamar, yang apabila petunjuknya itu dilaksanakan, maka perkawinan akan berada pada puncak keharmonisan, kecintaan dan keserasian. Di samping itu, keluarga yang terdiri dari putra dan putri akan berada pada puncak keimanan yang kokoh, badan yang sehat, akhlak yang mulia, pikiran yang matang dan jiwa yang tenang dan bersih.
Dan dengan ini penulis akan sajikan kaidah-kaidah dan hukum tersebut:
1. Memilih Berdasarkan Agama
Yang dimaksud agama –ketika kami menyebutkannya- di sini adalah pemahaman yang hakiki terhadap Islam dan penerapan setiap keutamaan dan moralitasnya yang tinggi dalam perbuatan dan tingkah laku, melaksanakan syariat dan prinsip-prinsipnya secara sempurna untuk selama-lamanya.
Ketika pelamar atau yang dilamar telah mencapai taraf pemahaman dan pelaksanaan seperti ini, maka kita akan menyebut masing-masing di antara mereka sebagai orang yang memiliki agama dan moral. Dan apabila salah seorang di antara mereka belum mencapai taraf pemahaman dan pelaksanaan seperti ini, maka selayaknyalah kita menghukuminya sebagai orang yang menyeleweng dan berperilaku buruk, sekalipun dalam hal ini ia tampak sebagai orang yang baik, takwa dan mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim yang berkeyakinan kuat.
Alangkah mendalamnya apa yang dilakukan oleh khalifah yang adil, Umar Ibnul Khaththab radiyallahu ‘anhu ketika meletakkan pertimbangan yang benar untuk mengetahui hakikat kebenaran seseorang, yaitu ketika ia didatangi oleh seseorang yang menjadi saksi bagi seorang lainnya:
Umar bertanya kepada laki-laki itu, “Apakah engkau mengetahui orang ini?”
Laki-laki itu menjawab,”Ya!”
Umar, “Apakah engkau tetangganya yang mengetahui keluar dan masuknya orang itu?”
Laki-laki itu menjawab, “Bukan.”
Umar, “Apakah engkau pernah menemaninya dalam perjalanan sehingga engkau mengetahui kemuliaan akhlaknya?”
Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”
Umar, “Apakah engkau telah menjadikannya pegawai dengan diberi dinar dan dirham, sehingga kesalehan seseorang dapat diketahui?”
Laki-laki itu mengaku, “Tidak.”
Kemudian Umar berteriak, “Mungkin engkau pernah melihatnya berdiri dan solat di masjid, sesekali mengangkat kepalanya dan sesekali merendahkannya?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya!”
Umar berkata pada laki-laki itu, “Pergilah! Sesungguhnya engkau tidak mengenal orang ini.”
Kemudian Umar menoleh kepada orang itu dan berkata kepadanya, “Ajukan saksi lain yang mengenal dirimu.”
Umar radiyallahu ‘anhu belum pernah tertipu oleh bentuk lahir seseorang. Tetapi ia mengetahui hakikat kebenaran dengan pertimbangan secara benar yang dapat menguakkan tabir kebenaran dan dapat menunjukkan keagamaan dan akhlaknya.
Inilah makna yang diambil dari hadis Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk dan badan kamu, tetapi Dia menilai hati dan perbuatan kamu…” (HR. Muslim)
Berdasarkan semua itu, Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam memberikan petunjuk kepada orang-orang yang ingin menikah supaya benar-benar memilih wanita yang memiliki agama, agar menjadi istri yang dapat menjalankan kewajibannya yang paling sempurna memenuhi hak suami, hak anak-anak dan hak rumah sebagaimana yang diperintahkan oleh Islam. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah:
“Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Dapatkanlah wanita yang memiliki agama, niscaya kedua tanganmu akan penuh dengan debu.”[1]
Dan di dalam kitab Al Ausath, Thabrani meriwayatkan dari Anas radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Siapa saja yang mengawini seorang wanita karena kemuliaannya, maka Allah tidak akan menambahkannya kepadanya selain daripada kehinaan. Siapa yang mengawininya karena hartanya, maka Allah tidak akan menambahkan kepadanya selain daripada kemiskinan. Siapa saja mengawininya karena kedudukannya, maka Allah tidak akan menambahkan kepadanya selain daripada kerendahan. Dan siapa yang mengawini seorang wanita hanya karena ia menginginkan agar dapat menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya atau menyambung ikatan kekeluargaannya, maka Allah akan memberkati orang tersebut pada wanita itu dan akan memberkati wanita itu padanya.”
Sebaliknya, Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam telah memberikan petunjuk kepada para wali wanita yang dilamar untuk mencarikan pelamar yang memiliki agama dan akhlak, sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.
Dalam hal ini Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang agama dan akhlaknya kamu ridai, maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya, maka akan menjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. Tirmidzi)
Fitnah apakah yang lebih besar yang menimpa agama, pendidikan dan akhlak daripada fitnah jatuhnya gadis mukminah dalam cengkeraman seorang pelamar yang (durhaka) menghalalkan segala cara, atau seorang suami murtad yang tidak akan memberikan tanggung jawab dan perlindungan kepada gadis mukminah dan tidak akan mempertimbangkan kehormatan dan kemuliaan?
Fitnah apakah yang lebih besar yang menimpa wanita salehah daripada jatuhnya wanita itu ke dalam pelukan laki-laki durhaka yang memaksanya untuk bepergian, bergaul bebas, meminum minuman keras dan menemani laki-laki lain dalam berdansa, dan bersikeras untuk melucuti baju agama dan akhlak?
Berapa banyak gadis-gadis yang sewaktu berada di rumah keluarganya menjadi teladan dalam kesucian dan kehormatan, namun ketika ia pindah ke rumah suami murtad dan durhaka, ia berbalik menjadi seorang wanita liar dan bebas. Sedikitpun ia tidak menghargai nilai-nilai moralitas, tidak pula menghargai arti kesucian dan kemuliaan.
Sudah kita maklumi bahwa anak-anak yang lahir dan dibesarkan di dalam rumah seorang murtad dan durhaka seperti ini, pasti akan lahir dan tumbuh menjadi orang-orang yang menyimpang dan menghalalkan segala cara, dan akan mendapatkan pendidikan kebejatan dan kemungkaran.
Dengan demikian, pilihan berdasarkan agama dan akhlak adalah salah satu faktor terpenting yang akan mewujudkan kebahagiaan secara sempurna bagi suami istri dan anak mendapatkan pendidikan Islami yang mulia dan keluarga akan mencapai kehormatan dan ketenteraman.
2. Memilih Berdasarkan Keturunan dan Kemuliaan
Di antara kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh Islam dalam memilihkan pasangan hidup adalah, memilih jodoh dari keturunan atau keluarga yang mulia yang dikenal mempunyai kebaikan, akhlak dan keturunan yang mulia. Sebab, manusia itu (bagaikan) logam. Mereka masing-masing tidak sama di dalam kehinaan dan kemuliaan, kerusakan dan kebaikan.
Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam menyebutkan bahwa manusia adalah laksana logam. Mereka saling berada di dalam kehinaan dan kemuliaan, kebaikan dan keburukan. Beliau bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thayalisi, Ibnu Mani’ dan Al Askari dari Abu Hurairah:
“Manusia itu laksana logam dalam kebaikan dan keburukan. Orang-orang yang baik dari mereka dalam zaman jahiliyah adalah yang sebaik mereka dalam zaman Islam, apabila mereka memahami.”
Untuk itu, maka kepada setiap orang yang ingin kawin, Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam menganjurkan untuk memilih pasangan atas dasar keturunan, kemuliaan dan kemaslahatan. Berikut kami sajikan hadis-hadis yang saling menguatkan.
Daruquthni, Al Askari dan Ibnu ‘Adi telah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri secara marfu’ (langsung ke Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam):
“’Jauhilah oleh kalian rumput hijau yang berada di tempat kotor.’ Mereka bertanya, ‘Apakah yang dimaksud dengan rumput hijau yang berada di tempat kotor itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu, wanita yang sangat cantik, yang tumbuh (berkembang) di tempat yang tidak baik.’”
Ibnu Majah, Daruquthni dan Hakim telah meriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha secara marfu’:
“Seleksilah untuk air mani (calon istri) kamu sekalian dan kawinilah oleh kamu sekalian orang-orang yang sama derajatnya.”
Ibnu Majah dan Ad Dailami telah meriwayatkan dari Rasullah sholallahu ‘alaihi wassalam:
“Seleksilah air mani (istri) kamu sekalian. Karena sesungguhnya keturunan itu kuat pengaruhnya.”
Ibnu ‘Adi dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha secara marfu’:
“Pilihlah untuk air mani (istri) kamu sekalian. Karena sesungguhnya wanita-wanita itu melahirkan orang-orang yang menyerupai saudara laki-laki mereka dan saudara perempuan mereka.”
Dan dalam sebuah riwayat dikatakan, “Carilah oleh kamu sekalian wanita-wanita yang sederajat untuk air mani kalian. Sebab, seseorang itu, barangkali akan menyerupai pamannya.”
Ibnu ‘Adi di dalam Al Kamil telah meriwayatkan secara marfu’:
“Kawinilah olehmu wanita yang baik. Sebab, sesungguhnya keturunan itu kuat pengaruhnya.”[2]
Hadis-hadis ini, secara keseluruhan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang ingin kawin untuk memilih istri-istri yang tumbuh dalam lingkungan baik dan besar dalam rumah mulia dan baik, serta diturunkan dari air mani yang terpancar dari sumber yang mulia.
Rahasia yang tersembunyi dalam hal ini dimaksudkan agar seseorang dapat melahirkan anak-anak yang bertabiat tinggi, murni dan berakhlak Islami. Dari ibu-ibunya mereka dapat menghirup air susu kemuliaan dan keutamaan. Dengan cara yang suci, mereka dapat mencari sifat-sifat yang baik dan akhlak mulia.
Bertolak dari prinsip ini, Utsman bin Abil Ash Ats Tsaqafi telah berwasiat kepada anak-anaknya untuk memilih sumber air mani yang baik dan menjauhi sumber yang buruk. Dia berkata kepada mereka, “Wahai anakku yang ingin menikah dan menanam (bibit keturunan), hendaklah seseorang memperhatikan di mana ia menanam tanamannya. Sebab, akar yang buruk itu sedikit sekali dapat melahirkan. Maka pilihlah, walaupun memerlukan waktu yang lama.”
Sebagai penekanan terhadap anjuran memilih ini, Umar Ibnul Khaththab telah menjawab pertanyaan salah seorang anak yang menanyakan kepadanya tentang hak anak terhadap bapaknya. Umar berkata, “Agar bapaknya menyeleksi ibunya, memberinya nama yang baik dan mengajarkan Al Quran kepadanya.”
Keharusan memilih seperti yang dikemukakan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam ini, dipandang sebagai kebenaran ilmiah terbesar, dan sesuai dengan pandangan paedagogis pada abad modern ini. Ilmu yang membahas tentang heriditas (keturunan) telah menetapkan, bahwa anak akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orang tuanya, baik moral, fisikal maupun intelektual, sejak masa kelahiran.
Oleh karena itu, jika pemilihan suami atau istri itu berdasarkan atas keturunan, kemuliaan dan kebaikan, maka tidak diragukan lagi, bahwa anak-anak akan tumbuh berkembang dengan terhormat, suci dan istiqamah. Dan apabila pada anak terdapat faktor-faktor heriditas yang baik dan pendidikan yang utama, maka anak akan mencapai puncaknya dalam agama dan akhlak serta menjadi teladan di dalam ketakwaan, keutamaan, pergaulan yang baik dan akhlak yang mulia.
Tidak ada jalan lain bagi orang-orang yang ingin kawin kecuali mereka mencari pilihan yang baik untuk pasangan hidup mereka, jika mereka ingin memiliki keturunan yang baik dan suci serta anak-anak yang beriman.
[1] Kata taribat yadaka adalah kalimat yang menyatakan anjuran dan doa semoga mendapatkan banyak harta. Jadi, arti kalimat itu menjadi, “Dapatkanlah wanita yang beragama (Islam) dan janganlah berpaling kepada harta atau yang lain.”
[2] Hadis-hadis tentang pemilihan wanita berdasarkan keturunan dan kehormatan, jika ditinjau secara sendiri-sendiri, adalah dhaif (lemah). Jika ditinjau secara keseluruhannya adalah hasan, karena jalur sanadnya melimpah (berbilangan).