3. Mengutamakan Orang Jauh (dari Kekerabatan) dalam Perkawinan
Di antara pengarahan Islam yang bijaksana di dalam memilih istri adalah, mengutamakan wanita yang jauh atas wanita yang seketurunan atau kaum kerabat. Hal ini dimaksudkan demi keselamatan fisik anak dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara heriditas, di samping untuk memperluas lingkungan kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.
Di dalam hal ini, fisik mereka akan bertambah kuat, kesatuan mereka semakin kokoh dan terjalin, dan perkenalan mereka bertambah luas. Tidak aneh bila Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam memberikan peringatan agar sebaiknya tidak mengawini wanita-wanita yang seketurunan atau sekerabat, agar anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua ornag tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya.
Di antara peringatan Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam tersebut adalah sabda beliau:
“Janganlah kalian menikahi kaum kerabat, sebab akan dapat menurunkan anak yang lemah jasmani dan bodoh.”
Dan sabdanya:
“Carilah untuk kalian wanita-wanita yang jauh, dan janganlah mencari wanita-wanita yang dekat (yang lemah badannya dan lemah otaknya).”[1]
Dan ilmu tentang genetika telah menetapkan, bahwa perkawinan dengan kaum kerabat akan melahirkan keturunan yang lemah, baik fisik maupun kecerdasannya, dan anak-anak akan mewarisi sifat-sifat moral yang hina dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang tercela.
Kebenaran ini telah ditetapkan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam sejak empat belas abad yang lalu, sebelum ilmu pengetahuan datang mengungkapkan teorinya dan menjelaskan kebenaran-kebenarannya bagi orang-orang yang berakal.
Ini adalah salah satu mukjizat Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam yang utama dan agung, di samping sejumlah mukjizat lain yang benar.
4. Lebih Mengutamakan Wanita yang Masih Gadis
Di antara ajaran Islam yang sangat tepat dalam memilih istri adalah, mengutamakan gadis dibandingkan janda. Yang demikian itu dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung.
Di antara manfaat tersebut adalah, melindungi keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, yang menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan dan menyebarkan kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab, gadis itu akan memberikan sepenuhnya kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki pertama yang melindunginya, menemui dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda. Kadangkala dari suaminya yang kedua, ia tidak mendapatkan kelembutan yang sempurna, kecintaan yang menggantikan kecintaan dari suami yang pertama dan pertautan hati yang sesungguhnya, karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua.
Tidak aneh bila kita melihat Aisyah radiyallahu ‘anha telah memberikan kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam makna semua ini, ketika ia berkata kepada Rasullah sholallahu ‘alaihi wassalam:
“’Wahai Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam, bagaimana pendapatmu jika engkau turun pada suatu lembah yang di dalamnya terdapat sebatang pohon yang telah dimakan sebagian daripadanya dan sebatang lain yang belum dimakan daripadanya. Di mana engkau akan menggembalakan untamu?’ Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam menjawab, ‘Pada pohon yang belum pernah digembalakan daripadanya.’ Aisyah radiyallahu ‘anha berkata, ‘Maka aku ini adalah pohon (yang masih utuh dan belum digembalakan daripadanya) itu.’” (HR. Bukhari)
Aisyah bermaksud menjelaskan keutamaannya dibanding istri-istri yang lainnya. Sebab Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah mengawini gadis, kecuali Aisyah.
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam telah menjelaskan sebagian hikmah mengawini gadis. Beliau bersabda:
“Kawinlah oleh kamu sekaliah gadis-gadis. Sebab, mereka itu lebih manis pembicaraannya, lebih banyak melahirkan anak, lebih sedikit tuntutan dan tipuan, serta lebih menyukai kemudahan.” (HR. Ibnu Majah dan Al Baihaqi)
Rasulullah telah menjelaskan pula kepada Jabir radiyallahu ‘anhu bahwa mengawini gadis itu akan melahirkan kecintaan dan memperkuat aspek kesucian. Bukhari, Muslim dan lainnya meriwayatkan:
“Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam bertanyan kepada Jabir –ketika ia kembali dari perang Dzatur Riqa’-, ‘Hai Jabir, apakah engkau telah kawin?’ Jabir menjawab, ‘Benar wahai Rasulullah.’ Beliau juga bertanya, ‘Janda atau gadis?’ Jabir mengaku, ‘Janda.’Tanyanya lagi, ‘Mengapa bukan seorang hamba (jariyah) saja yang dapat kau permainkan dan dia mempermainkan engkau?’ Jabir berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku tertawan pada waktu perang Uhud dan mewariskan tujuh wanita bagi kami. Maka saya kawini satu orang yang mencakup keseluruhannya (serba bisa) mewakili mereka dan bertanggung jawab atas mereka.’ Beliau bersabda, ‘InsyaAllah engkau benar.’”
Di antara yang diisyaratkan oleh hadis Jabir adalah bahwa mengawini janda kadangkala lebih utama daripada mengawini gadis dalam beberapa keadaan, seperti keadaan Jabir radiyallahu ‘anhu yang telah disebut tadi, demi menolong, memelihara dan bertanggung jawab atas anak-anak yatim, sebagai realisasi firman Allah Subhanahu Ta’ala:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maidah: 2)
5. Mengutamakan Perkawinan dengan Wanita Subur
Di antara ajaran Islam di dalam memilih istri adalah memilih wanita subur yang banyak melahirkan anak. Dan hal ini dapat diketahui dengan dua cara:
Pertama, kesehatan fisiknya dari penyakit-penyakit yang mencegahnya dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada spesialis kandungam.
Kedua, melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuannya yang telah kawin. Sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak, maka biasanya wanita itu pun akan seperti mereka.
Sebagaimana yang dapat diketahui secara medis, bahwa wanita yang termasuk banyak melahirkan anak, biasanya mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat. Wanita yang mempunyai tanda-tanda seperti ini dapat memikul beban rumah tangganya, kewajiban-kewajiban mendidik anak dan memikul hak-hak sebagai istri secara sempurna.
Di antara yang perlu diingat di sini adalah, bahwa bagi orang yang mengawini wanita yang banyak anak, dan suka mempunyai banyak keturunan dan ingin melahirkan keturunan, hendaklah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab, baik yang berkenaan dengan memberikan nafkah, tanggung jawab mendidik maupun tanggung jawab mengajar.
Jika ia tidak melaksanakan itu, maka ia bertanggung jawab kepada Allah Subhanahu Ta’ala atas apa yang telah ia lalaikan. Benarlah sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam:
“Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap penggembala atas apa yang ia gembalakan. Apakah ia telah memelihara ataukah menghilangkan. Bahkan Allah akan meminta pertanggungjawaban seseorang tentang keluarganya.” (HR. Ibnu Hibban)
Kesimpulan uraian di atas adalah bahwa, bagi orang yang ingin melaksanakan tanggung jawab terhadap anak-anaknya sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Islam, maka –jika ia hendak menikah- hendaknya mencari wanita yang akan banyak melahirkan anak, agar ia dapat melipatgandakan jumlah umat Muhammad yang telah dijadikan Allah sebagai sebaik-baik umat yang ada di kalangan umat manusia. Yang demikian itu tidak lain hanyalah salah satu di antara pengarahan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam, yaitu ketika beliau didatangi seorang laki-laki yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai seseorang wanita yang berketurunan, mempunyai kedudukan dan harta kekayaan, hanya saja wanita itu tidak melahirkan anak. Apakah aku harus mengawininya?” Maka beliau melarangnya. Kemudian datanglah wanita kedua, ketika mengatakan kepada beliau seperti yang telah dikatakan oleh orang pertama tadi, maka beliau bersabda:
“Kawinilah olehmu sekalian wanita-wanita yang subur yang banyak melahirkan anak dan penuh kecintaan. Karena aku sesungguhnya ingin memperbanyak umat dengan kamu sekalian.” (HR. Abu Dawud, Nasai, dan Al Hakim)
Itulah prinsip-prinsip perkawinan dan kaitannya dengan masalah-masalah pendidikan yang terpenting yang kami sajikan kepada para pembaca. Pada dasarnya Islam menangani masalah pendidikan individu dari unsur-unsur pertama bagi keluarga dengan perkawinan. Sebab, perkawinan itu dapat memenuhi tuntutan fitrah dan kehidupan, menyambungkan silsilah keturunan anak-anak dengan bapak-bapak mereka, membebaskan masyarakat dari penyakit-penyakit yang sangat berbahaya dan dari dekadensi moral, mewujudkan usaha saling membantu antara suami istri di dalam mendidik anak-anak, dan menumbuhkan perasaan kebapakan dan keibuan dalam diri mereka berdua.
Dan pula, karena perkawinan itu dibina berlandaskan prinsip-prinsip yang kuat dan kaidah-kaidah yang praktis dan benar di dalam memilih pasangan hidup, yang di antaranya dan terpenting memilih atas dasar keturunan dan kemuliaan serta atas dasar mengutamakan gadis. Seorang muslim harus mengetahui dari mana ia harus mulai membina rumah tangga, membentuk keturunan yang saleh dan generasi yang beriman kepada Allah.
Dengan itu ia telah meletakkan batu fondasi di dalam rumahnya, yang di mana di atas batu itu akan berdiri pusat-pusat pendidikan yang tepat, tiang-tiang perbaikan sosial dan masyarakat yang berkepribadian. Batu itu adalah wanita salehah. Dengan demikian, pendidikan anak di dalam Islam harus dimulai sejak dini, yakni dengan perkawinan ideal yang berlandaskan prinsip-prinsip yang secara tetap mempunyai pengaruh terhadap pendidikan dan pembinaan generasi.
Semua ini, hendaklah diingat oleh orang-orang yang berakal.
[1] Hadis ini ditakhrij (dikeluarkan) oleh Al ‘Iraqi dalam takhrijnya tentang hadis-hadis dari Al Ihya lil Ghazali, bahwa lafal hadis ini sebenarnya bukanlah hadis sahih, melainkan merupakan atsar dari kata-kata Umar bin Al Khaththab radiyallahu ‘anhu yang mengatakan kepada keluarga As Saib. Sedang hadis: “Janganlah kalian menikahi kaum kerabat, sebab akan dapat menurunkan anak yang lemah jasmani dan bodoh.” Dikenal sebagai atsar yang juga dari Umar radiyallahu ‘anhu dalam riwayat yang lain. Jika ada ulama atau seorang ahli yang mengkhususkan di bidang hadis mengatakan, bahwa keduanya adalah hadis, maka mereka menganggap keduanya adalah hadis marfu’. Wallahu a’lam.