Perpustakaan dalam Peradaban Islam

Salam satu hal yang berkaitan dengan pembicaraan tentang badan-badan sosial dan keilmuan dan dalam peradaban kita adalah pembicaraan mengenai perpustakaan. Sekolah-sekolah dan badan-badan sosial yang diberi infak oleh para amir, hartawan dan ulama dimaksudkan agar ilmu pengetahuan terbesar di kalangan orang banyak, khususnya pada masa itu. Karena percetakan belum ada maka untuk memperbanyak buku mereka menyuruh para ahli untuk menyalin (memperbanyak) buku dengan tulisan tangan. Dengan begitu harga buku mencapai batas yang sulit dijangkau oleh penuntut ilmu atau orang alim yang miskin, apalagi jiak ia ingin memiliki sekumpulan buku mengenai disiplin ilmu yang menjadi spesialisasinya. Dari uraian ini kita bisa mengetahui dengan jelas bahwa dalam masyarakat kita pada masa silam berdirinya perpustakaan-perpustakaan lahir dari rasa kemanusiaan, sekaligus dari kecenderungan keilmuan.

Barangkali sastra Arab merupakan sastra dunia klasik yang paling banyak menyenandungkan, menggemari, mencintai dan membicarakan buku sehingga buku seolah-olah seorang kekasih yang jauh tempat tinggalnya. Semua hati pun tertuju dan cinta kepadanya. Ahmad bin Ismail berkata, “Buku adalah teman bicara yang tidak mendahuluimu ketika engkau sibuk, tidak memanggilmu ketika engkau sedang bekerja, dan tidak memaksamu agar berdandan untuknya. Buku adalah teman duduk yang tidak menyanjungmu, sahabat yang tidak membujukmu, kawan yang tidak membosankanmu, dan penasihat yang tidak mencari kesalahanmu.”

Masyarakat kita pada masa silam lebih mengutamakan membaca buku daripada mendatangi orang-orang di majelis-majelis mereka. Mereka melihat kesukaan

terhadap buku lebih dekat ke hati daripada kesukaan terhadap khalifah atau orang yang punya kekuasaan. Muhammad bin Abdul Malik Az Zayyat, wazir yang sastrawan, pernah mengasingkan diri di rumahnya selama beberapa waktu. Pada satu waktu Al Jahizh ingin mengunjunginya. Ia berpendapat hadiah terbaik yang akan diberikan kepada sahabatnya itu adalah buku Sibawahi Imam bahasa Arab. Betul saja. Betapa senangnya Wazir menerima hadiah itu. Ia berkata kepada Al Jahizh, “Demi Allah, tidaklah engaku memberikan hadiah kepadaku yang lebih kusukai daripada buku ini.”

Salah seorang khalifah pernah meminta seorang ulama agar menemaninya bercakap-cakap. Tatkala pelayan mendatanginya, ia mendapati ulama itu sedang duduk di kelilingi buku-buku yang tengah ia baca sebagian. Pelayan berkata kepadanya, “Amirul mukminin mengundang Tuan.” Ulama itu menjawab, “Katakan kepada khalifah, aku sedang bercakap-cakap dengan para ahli hikmah. Jika sudah selesai nanti aku akan datang.” Tatkala pelayan kembali kepada khalifah dan memberitahukan hal itu, khalifah bertanya, “Hai pelayan, siapakah ahli-ahli hikmah yang dihadapinya itu?” Pelayan menjawab, “Demi Allah, wahai Amirul mukminin, saya tidak melihat seorang pun yang berada di situ.” Mendengar penuturan si pelayan, khalifah berkata, “Kalau begitu suruh dia datang sekarang juga bagaimanpun keadaannya!”

Tatkala ulama itu datang, Khalifah bertanya kepadanya, “Wahai ulama, siapa ahli-ahli hikmah yang kau hadapi itu?” Ulama menjawab, “Wahai Amirul mukminin, mereka adalah teman duduk yang pembicaraannya tak membosankan. Jujur dan bisa di percaya baik ketika gaib ataupun tampak dan apabila kita menyendiri. Mereka adalah sebaik-baik pembicaraan, pembantu utama untuk menghilangkan segala macam kesusahan. Mereka memberi kita ilmu tentang masa lalu berupa pemikiran dan pendidikan, juga pendapat dan kepemimpinan. Tak ada keraguan yang dikuatirkan, tidak pula kejelekan yang digauli dengannya. Kita tidak takut kepada mereka, baik lidah maupun tangan. Jika kau katakan mereka hidup tidak lah engkau keliru.”

Mendengar penuturan ulama tersebut tahulah khalifah bahwa yang dimaksud ahli-ahli hikmah itu adalah buku-buku ulama dan hukama sehingga khalifah tidak menyalahkan keterlambatannya. Sahib bin Abbad lebih mengutamakan tinggal disisi perpustakaannya daripada memegang jabatan tertinggi di istana Nuh bin Manshur as Samani. Itu karena ia sangat mencintai perpustakaannya. Ia tidak dapat pergi tanpa perpustakaan itu dan tidak pula dapat membawanya. Maka ia memilih tinggal di sisi perpustakaannya.

Dengan ruh keilmuan ini, para ulama, hartawan dan amir kita sangat mencintai buku. Mereka mengumpulkan buku sampai-sampai berpendapat bahwa bencana yang menimpa harta dan rumah mereka lebih ringan daripada bencana yang menimpa buku-bukunya. Pernah suatu ketika istana Ibnu Amid diserbu oleh tentara setelah mereka merobohkan para pengawal dan pembantunya. Ibnu Amid lari ke gedung keamiran (gedung utama). Ia dapati seluruh harta bendanya telah dirampas bahkan tak satupun kursi dan gelas minumanya yang tersisa. Tapi bukan itu yang dirisaukannya. Ia memikirkan bagaimana keadaan buku-buku dan catatan-catatannya. Bagi Ibnu Amid tidak ada sesuatupun yang lebih berharga dari buku-bukunya yang meliputi semua ilmu, sastra dan hikmah. Kalau diambil buku-buku itu bisa diangkut oleh seratus ekor unta bahkan lebih. Karena itulah ketika melihat panjaga perputakaannya, ia menanyakan keadaan perputakaan itu. Penjaga manjawab, Ia tetap seperti semula. Tak sebuah tangan pun yang menjamahnya. Mendengar penuturan si penjaga hilanglah kerisauan Ibnu Amid. Ia berkata kepada penjaga, “Aku bersaksi engkau berjiwa berkah. Semua harta bisa diganti tetapi perpustakaan ini tidak ada gantinya.”

Dengan ruh keilmuan ini mereka berlomba membeli karangan-karangan ilmiah dari para penulisnya begitu selesai ditulis. Al Hakam, Amir Andalus mendengar adanya buku Al Aghani yang sekarang termasyhur di dunia sastra, ia segera mengirim seribu dinar emas kepada penulisnya, Abul Fajar al Asfahani sebagai harga naskah dari bukunya kepada Al Hakam. Buku Al Aghani ini sudah dibaca di Andalus sebelum Irak, tempat tinggal penulisannya.

Dari ruh keilmuan inilah munculnya penyebaran perpustakaan-perpustakaan di berbagai penjuru dunia Islam. Amat jarang sekolah yang tidak mempunyai perpustakaan dan hampir tak ada sebuah desapun yang tidak memiliki perputakaan. Ibukota dan kota-kota besar penuh dengan perpustakaan-perputakaan dengan bentuk yang tak ada bandingannya dalam sejarah masa-masa pertengahan. Perpustakaan pada masa itu ada dua macam, perpustakaan umum dan perpustakaan khusus (pribadi).

1. Perpustakaan Umum

Perpustakaan umum didirikan oleh para khalifah, amir, ulama dan hartawan. Untuk perpustakaan tersebut mereka juga menambahkan bangunan-bangunan khusus dan terkadang digabung dengan masjid-masjid dan sekolah-sekolah besar. Bangunan-bangunan khusus itu terdiri dari kamar-kamar yang dihubungkan oleh serambi-serambi yang luas. Buku-buku diletakkan di rak-rak yang terpancang di dinding-dinding. Setiap ruangan dikhususkan untuk satu cabang ilmu. Untuk buku-buku fiqhsatu ruangan, buku-buku kedokteran satu ruangan, buku-buku sastra satu ruangan, begitu seterusnya. Di situ terdapat serambi khusus untuk orang-orang yang muthala`ah (ruang baca) dan ruangan-ruangan untuk para penulis yang ingin menyalin buku-buku. Di sebagian perpustakaan terdapat pula ruangan untuk musik yang didatangi orang-orang muthala`ah untuk beristirahat dan refreshing. Ini merupakan salah satu keunikan peradaban kita. Di situ terdapat ruangan untuk halaqah-halaqah kajian dan diskusi keilmuan.

Secara keseluruhan perpustakaan dilengkapi dengan perkakas yang megah dan nyaman. Di sebagian perpustakaan terdapat pula ruang makan (untuk para pengunjung) dan ruang tidur (untuk pengunjung asing). Misalnya perpustakaan Ali bin Yahya bin Munjim. Ia memilki istana besar di sebuah desa dekat Bagdad (desa

Karkar di pinggiran kota Al Qafash). Di istana itu terdapat perputakaan besar yang disebut Khazanah hikmah. Orang-orang dari setiap negeri mendatangi tempat itu. Mereka kemudian tinggal di situ dan mempelajari bebagai macam ilmu. Selain buku-buku juga disediakan rezeki lain yang melimpah ruah untuk para pengunjung. Semua berasal dari harta Ali bin Yahya sendiri. Bahkan di situ ada hal yang lebih menakjubkan dan ini tidak kita jumpai bandingannya sekarang di ibukota peradaban Barat termaju sekalipun. Di Mousil terdapat sebuah gedung yang didirikan oleh Abul Qasim Ja`far bin Muhammad bin Hamdan al Mousilli. Gedung itu disebut gedung ilmu. Gedung tersebut dijadikan tempat khazanah buku dari semua ilmu sebagai wakaf untuk penuntut ilmu. Siapapun tidak dilarang memasukinya. Jika seorang asing datang ke situ untuk belajar sastra sedang ia kesulitan biaya maka ia akan diberi buku-buku dan sejumlah uang. Gedung itu dibuka setiap hari. Hingga sekarang ini pernahkah anda mendengar sebuah perpustakaan di London, di Washington atau di salah satu ibukota besar dunia yang memberikan buku-buku dan sejumlah uang kepada para penuntut ilmu?

Perpustakaan-perpustakaan umum tersebut mempunyai pegawai-pegawai yang dipimpin oleh kepala perpustakaan yang juga seorang ulama paling tersohor pada masanya. Di situ juga ada petugas-petugas yang menyerahkan buku-buku kepada para pembaca, ada penerjemah-penerjemah yang menerjemahkan buku-buku asing, ada penyalin-penyalin yang menulis buku-buku dengan tulisan tangan mereka yang indah dan ada juga penjilid-penjilid yang menjilid buku-buku agar tidak rusak atau hilang. Selain itu tentu saja ada pula para khadam dan petugas-petugas lain yang memang dibutuhkan oleh perpustakaan.

Setiap perpustakaan, besar atupun kecil, mempunyai katalog-katalog yang dijadikan rujukan untuk kemudahan penggunaan buku-buku. Katalog itu disusun berdasarkan bab-bab ilmu. Di samping itu pada setiap lemari dipasang daftar yang memuat nama-nama buku yang ada di lemari itu. Yang sudah dkenal dalam sitem perpustakaan ialah bahwa peminjaman buku untuk dibawa pulang biasanya diijinkan dengan membayar jaminan atas buku itu bagi orang kebanyakan, sedang bagi ulam dan orang-orang yang mempunyai keutamaan tidak dikenai ketentuan ini.

Sumber-sumber keuangan yang membiayai perpustakaan-perpustakaan itu antara lain berasal dari wakaf-wakaf yang didirikan secara khusus untuk itu dan ini sudah menjadi keadaan sebagian besar perputakaan. Di samping itu ada juga buku-buku dari pemberian-pemberian para amir, hartawan dan ulama yang mendirikan perpustakaan-perpustakaan tersebut. Dalam sejarah peradaban kita tercatat bahwa Muhammad bin Abdul Malik az Zayyat memberi 2000 dinar setiap bulan untuk para penerjemah dan penyalin buku. Al Ma`mun selalu memberi emas kepada Hunain bin Ishaq seberat buku-buku yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Sekarang akan kami paparkan sebagian contoh perpustakaan umum dan perpustakaan khusus yang tersebut dalam sejarah peradaban kita.

a. Perpustakaan Khalifah Dinasti Fatimiyah di Kairo

Perpustakaan yang paling terkenal adalah perputakaan para khalifah dinasti Fatimiyah di Kairo. Perputakaan ini sangat menakjubkan karena isinya berupa mushaf-mushaf dan buku-buku yang sangat berharga. Jumlah seluruh buku yang ada di situ mencapai dua juta eksemplar. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh banyak sejarawan.

b. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo

Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo oleh Al Hakim Biamrillah. Perpustakaan ini mulai dibuka pada tanggal 10 Jumadil Akhir tahun 395 Hijriah, setelah dilengkapi perabotan dan hiasan. Pada semua pintu dan lorongnya dipasangi tirai. Di situ ditempatkan pula para penanggung jawab, karyawan dan petugas. Di situ dihimpun buku-buku yang belum pernah dihimpun oleh seorang raja pun. Perputakaan itu mempunyai 40 lemari. Bahkan ada salah satu lemari yang memuat 18,000 buku tentang ilmu-ilmu kuno. Semua orang boleh masuk ke situ. Di antara mereka ada yang datang untuk membaca buku, menyalin atau untuk belajar. Di situ terdapat segala yang diperlukan (tinta, pena, kertas dan tempat tinta).

c. Perpustakaan Baitul Hakam di Baghdad

Perputakaan ini didirikan oleh Harun Ar Rasyid dan mencapai puncak kebesarannya pada masa Al Ma`mun. Perpustakaan ini lebih menyerupai sebuah universitas yang di dalamnya terdapat buku-buku.Orang-orang berkumpul di situ, berdiskusi, muthala`ah dan menyalin buku. Di situ juga terdapat para penyalin dan penerjemah yang menerjemahkan buku-buku yang di peroleh Ar Rasyid dan Al Ma`mun dalam penaklukan-penaklukan mereka Ankara, Amuria dan Cyprus.

Ibnu Nadim bercerita kapada kita bahwa telah terjadi surat-menyurat (korespondensi) antara Al Ma`mun dan raja Romawi yang pernah dikalahkannya dalam sebagian peperangan. Salah satu syarat perdamaian yang ditetapkan Al Ma`mun ialah agar raja Romawi membolehkan buku-buku yang ada di dalam lemari-lemarinya diterjemahkan oleh para ulama yang dikirim Al Ma`mun, yang kemudian di sepakati dan dilaksanakan. Ini kisah paling agung yang diriwayatkan dalam sejarah mengenai penguasa yang menang perang. Sang khalifah melihat harga bagi kemenangan itu tidak lebih mahal dari buku-buku ilmu pengetahuan itu tidak lebih mahal dari buku-buku ilmu pengetahuan yang dialihkannya kepada putera-putera umat dan negerinya.

d. Perpustakaan Al Hakam di Andalus

Perpustakaan ini sangat besar dan luas. Buku yang ada di situ sampai mencapai 400.000 buah. Perpustakaan ini mempunyai katalog-katalog yang sangat teliti dan teratur sehingga sebuah katalog khusus diwan-diwan syi`ir yang ada di perpustakan itu mencapai 44 bagian. Di perpustakaan ini terdapat pula para penyalin buku yang cakap dan penjilid-penjilid buku yang mahir. Pada masa Al Hakam terkumpul khazanah-khazanah buku yang belum pernah dimiliki seorangpun baik sebelum maupun sesudahnya.

e. Perpustakaan Bani Ammar di Tripoli

Perpustakaan ini merupakan salah satu lambang keagungan dan kebesaran. Di situ terdapat 180 penyalin yang menyalin buku-buku. Mereka bekerja secara bergiliran siang dan malam supaya penyalinannya tidak terhenti. Bani Ammar sangat gemar melengkapi perpustakaan dengan buku-buku yang langka dan baru. Mereka mempekerjakan orang-orang pandai dan pedagang-pedagang untuk menjelaja negeri-negeri dan mengumpulkan buku-buku yang berfaedah dari negeri-negeri yang jauh dan dari wilayah-wilayah asing. Al Maarri pernah menafaatkan perpustakaan itu dan menyebutkannya di bagian bukunya. Mengenai jumlah buku yang dikandungnya ada perselisihan pendapat. Namun pendapat yang paling kuat adalah pernyataan bahwa perpustakaan itu memiliki buku sejumlah satu juta.

2. Perpustakaan Pribadi

Perpustakaan-perpustakaan pribadi terdapat di setiap negeri di kawasan Timur dan Barat dunia Islam. Jarang Anda dapati seorang ulama yang tidak memiliki perpustakaan yang berisi ribuan buku. Perpustakaan-perpustakaan pribadi pada masa peradaban kita dahulu antara lain:

a. Perpustakaan Al Fath bin Khaqan (terbunuh tahun 247 H)

Al Fath memiliki perpustakaan yang luas. Dia mengamanatkan pengumpulan buku-bukunya kepada seorang ulama dan sastrawan pilihan pada masanya, yaitu Ali bin Yahya al Munjim sehingga di perpustakaannya terkumpul buku-buku hikmah yang sama sekali belum pernah terkumpul di perpustakaan hikmah sendiri.

b. Perpustakaan Ibnu Khasyab (Wafat tahun 567 H)

Ibnu Khasyab adalah orang paling alim terhadap nahwu (gramatika Arab). Dia mempunyai pengetahuan luas tentang tafsir hadits, logika (manthiq) dan filsafat. Dia sangat gemar kepada buku hingga mencapai batas tamak. Kegemarannya ini memaksakannya menempuh jalan tak terpuji dalam mengumpulkan buku. Jika ia datang ke pasar buku dan ingin membeli sebuah buku, ia merobek sebagian kertasnya ketika orang-orang sedang lalai agar ia bisa mendapatkannya dengan harga murah. Jika ia meminjam buku dari seseorang kemudian orang itu memintanya kembali maka dia berkata, “Ada kesangsian antara aku dan buku-buku itu sehingga aku tidak bisa mengembalikannya.”

c. Perputakaan Jamaluddin Al Qifthi (Wafat tahun 646 H)

Ia mengumpulkan buku yang tidak bisa digambarkan. Perpustakaannya selalu dituju oleh orang-orang dari berbagai penjuru karena mengharapkan kemurahan dan kedermawanannya. Ia tidak mencintai dunia selain buku-bukunya. Ia mewakafkan dirinya untuk buku-buku. Ia mewasiatkan perpustakaannya yang bernilai lima puluh dinar kepada An Nashir.

d. Perpustakaan Bani Jaradah Al Ulama di Haleb

Salah seorang dari bani itu, Abul Hasan bin Abi Jaradah (548 H) menulis dengan khat-nya buku-buku berharga sebanyak tiga lemari. Satu lemari untuk anaknya, Abu Barakat, dan satu lemari untuk anaknya, Abdullah.

e. Perpustakaan Muwaffaq bin Muthran ad Dimasqi (587 H)

Ia mempunyai semangat tinggi untuk mendapatkan buku sehingga tatkala telah meninggal di lemarinya terdapat buku-buku kedokteran dan buku-buku lain sebanyak 10.000 Untuk membantunya, ada tiga orang penyalin yang selalu menuliskan untuknya. Para penyalin itu diberi gaji dan nafkah. Itulah beberapa contoh perpustakaan umum dan perpustakaan pribadi yang pernah memenuhi peradaban kita pada masa silam. Hal ini membuktikan, betapa tingginya kita menjunjung keilmuan.

3. Petaka yang menimpa Perpustakaan Dunia Islam

Selanjutnya, jika kesukacitaan memenuhi jiwa kita ketika berbicara tentang kemerataan perpustakaan-perpustakaan kita berupa penghancuran  dan pembakaran-pembakaran terhadap buku-buku tersebut yang tak dapat dinilai berapa kerugian ilmu yang terkandung untuk selama-lamanya. Perpustakaan-perpustakaan kita telah ditimpa petak yang memusnahkan jutaan bukunya sehingga dunia kehilangan buku-buku itu untuk selama-lamanya padahal buku-buku itu termasuk peninggalan paling berharga dari pemikiran manusia dalam sejarah.

Petaka itu ditimpahkan oleh tentara Tartar ketika mereka menaklukkan Bagdad. Yang pertama kali dihancurkan sebelum menghancurkan yang lain adalah perpustakaan. Tentara Tatar yang biadab melemparkan semua buku yang mereka dapatkan di perpustakaan-perpustakaan umum ke sungai Dajlah sehingga sungai itu penuh dengan buku-buku. Sampai-sampai seorang penunggang kuda bisa melintas di atasnya dari tepi ke tepi sungai. Air sungai tetap hitam pekat selama berbulan-bulan lantaran bercampur dengan tinta buku-buku yang ditenggelamkan ke situ.

Petaka Serangan Salib juga telah membuat kita kehilangan perpustakaan-perputakaan paling berharga yang ada di Tripoli, Maarrah, Al Quds, Ghazzah, Asqalan, dan kota-kota lainnya yang dihancurkan mereka. Salah seorang sejarawan menaksir, buku-buku yang di musnahkan tentara Salib di Tripoli sebanyak tiga juta Buah. Petaka penduduk Spanyol atas Andalus juga telah membuat kita kehilangan perpustakaan-perputakaan besar yang diceritakan sejarah dengan mencengangkan. Semua buku di bakar oleh pemeluk-pemeluk agama yang fanatik. Bahkan buku-buku yang dibakar dalam sehari di lapangan Granada menurut taksiran sebagian sejarawan berjumlah satu juta buku.

Petaka-petaka umum itu beralih kepada petaka-petaka akibat fitnah-fintah intern. Perputakaan para khalifah dinasti Fatimiyah berakhir riwayatnya karena di serang oleh masa dari kalangan budak Turki. Mereka menyalakan api di dalam perpustakaan itu dan seorang budak membagi-bagi cover-cover buku, kemudian dijadikan sandal-sandal yang mereka pakai. Sejumlah besar buku mereka lempar ke sungai Nil dan sebagian diangkut ke wilayah-wilayah lain, sedang sisanya diterbangkan angin sehingga menjadi gundukan buku.

Di Haleb terdapat sebuah perpustakaan yang sangat besar yang disebut Khazanah Sufisme. Ketika terjadi bentrokan karena fitnah antara Sunnah dan Syiah pada hari-hari Asyura, perpustakaan ini di rampas dan isinya dijual dan sisanya dirampas. Petaka paling aneh yang menggelikan adalah yang diperbuat oleh orang-orang dungu terhadap ilmu dan buku. Amir bin Fatik, salah satu amir Mesir di abad ke-5 Hijriah mempunyai sebuah perpustakaan besar. Sebagian besar waktunya dugunakan untuk duduk di situ. Ia mempunyai seorang istri keturunan bangsawan tetapi dirasuki cemburu terhadap buku-buku tersebut (karena suaminya begitu gemar membaca dan mencintai buku-bukunya).

Ketika Amir bin Fatik wafat maka si istri beserta pelayan-pelayannya mendatangi perpustakaannya. Ia begitu sakit hati terhadap buku-buku tersebut karena telah melalaikan suaminya dari dirinya. Ia menangisi dan meratapi suaminya sambil melemparkan buku-buku itu ke kolam besar di tengah rumah (dengan dibantu oleh para pelayannya). Begitulah yang di perbuat seorang isteri yang marah karena suaminya mencintai buku. Ia menuntut balas kepada buku-buku itu setelah suaminya wafat.

Di kalangan wanita kita pun ada yang cemburu terhadap buku-buku seperti kecemburuan isteri yang mulia tersebut. Dulu isteri Imam Zuhari ketika melihatnya sedang asyik membaca buku pernah berkata kepadanya, “Demi Allah, buku-buku berat atas diriku daripada tiga orang madu!” Inilah pembicaraan tentang perpustakaan-perpustakaan kita pada masa-masa peradaban kita berikut kesudahan yang dialaminya. Kini perpustakaan-perputakaan di Eropa telah memelihara sisa-sisa yang tertinggal dari pusaka kita. Di situ banyak tersimpan karangan-karangan berbahasa Arab yang tak didapati padanannya di seluruh dunia Islam saat ini.