Persangkaan dan Persepsi Terhadap Calon Selama Ta’aruf

Proses pernikahan ada yang berlangsung cepat, ada yang membutuhkan waktu lama. Mengenai waktu yang dibutuhkan selama proses, saya teringat kepada doa keluar rumah yang artinya, “Dengan menyebut nama Allah atas jiwaku, hartaku, dan agamaku. Ya Allah, jadikanlah aku ridha dengan apa yang Engkau tetapkan dan jadikanlah barakah apa yang telah Engkau takdirkan. Sehingga, tidak kepingin aku untuk menyegerakan apa yang Engkau tunda, dan menunda apa yang Engkau segerakan.”

Ada satu catatan. Pernikahan termasuk salah satu dari tiga perkara yang dianjurkan untuk disegerakan. Jika tidak ada hal yang merintangi, mempercepatnya adalah lebih baik. Mempercepat proses pernikahan termasuk salah satu kebaikan dan lebih dekat dengan kemaslahatan, barakah, dan ridha Allah. Insya-Allah, pertolongan Allah sangat dekat. Apa-apa yang menghalangi langkah untuk menyegerakan, akan dimudahkan dan dilapangkan. Sesungguhnya Allah tidak zalim terhadap apa-apa yang diserukan-Nya. Allah tidak zalim terhadap hamba-Nya, betapa pun Allah Mutlak Kekuasaan-Nya. Kitalah yang sering zalim kepada Allah.

Laa ilaaha illa Anta, subhanaka innii kuntu minazh-zhalimin. Rabbana zhalamna anfusana waillam taghfirlana lanaa kuunanna minal khosirin.

Ya Allah, ampunilah hamba atas kezaliman hamba sendiri. Mempercepat proses pernikahan adalah lebih baik, tetapi hendaknya tidak terjatuh pada sikap tergesa-gesa. Selama proses berlangsung, kita membutuhkan informasi dan pembicaraan berkaitan dengan rencana pernikahan. Adakalanya, kita mendapatkan informasi mengenai beberapa hal dari keluarga calon, perantara, atau orang lain. Adakalanya, kita mendapatkan keterangan tentang beberapa hal dari calon pendamping secara langsung.

Selama masa ini kita sangat peka terhadap berbagai informasi yang kita terima, disebabkan oleh besarnya harapan untuk menyegerakan ataupun besarnya kekhawatiran. Bisa juga oleh sebab-sebab lain yang bersifat qalbiyyah (hati). Kadang-kadang, orang mengalami deprivasi (kebutuhan yang sangat, seperti orang yang lapar) yang menyebabkannya menjadi lebih peka terhadap jenis-jenis informasi tertentu.

Pada saat Anda sedang mengalami deprivasi makanan, Anda akan cepat mengira orang yang sedang memukul-mukulkan besi kecil sebagai penjual nasi goreng sedang lewat.

Masa menjelang nikah adalah masa yang sensitif. Apa yang berlangsung selama masa ini, bagaimana memaknainya, mempengaruhi bagaimana kedua manusia itu kelak akan menghayati pernikahannya. Proses antara pinangan dengan pelaksanaan akad, hingga detik-detik akadnya, bisa menjernihkan niat-niat yang masih keruh sehingga pada saat keduanya melakukan shalat berjama’ah segera setelah akad, mereka banyak beristighfar, memohon pertolongan Allah untuk melimpahkan kebarakahan dan menjauhkan dari keburukan, serta merasakan syukur yang dalamkarena telah terhindar dari ancaman maksiat. Tetapi, proses menuju pernikahan bisa juga mengeruhkan niat-niat, sekalipun sekilas tampak mendapat pembenaran agama.

Padahal manusia mendapatkan hasil dari perbuatannya sesuai dengan apa yang diniatkan.

Pada masa ini, di antara sekian banyak hal yang mungkin harus diselesaikan, masalah lisan adalah yang paling peka dan paling rawan. Sebab, masalah memperlakukan lisan ini mempengaruhi keseluruhan masalah lain, termasuk dalam hubungan suami-istri setelah menikah. Bahkan termasuk bagaimana menghayati hubungan intim suami-istri. Wallahu A’lam bishawab wastaghfirullahal ‘adzim. Saya mohon perlindungan Allah dari kekejian lisan saya sendiri.

Ada dua hal yang perlu dijaga dalam memperlakukan lisan selama proses berlangsung (juga sesudahnya). Pertama, menjaga lidah dalam mengucapkan katakata (hifdhul-lisan). Kedua, menjaga persepsi kita terhadap apa yang kita dengar dari lisan orang lain.

Ada dua bagian manusia yang dapat menjaminkan surga atau menjerumuskan ke neraka, yaitu lisan dan kemaluan. Nikah adalah proses menjaga kesucian kemaluan kita dari tindakan yang tidak diridhai Allah (mudah-mudahan kita termasuk orang yang menikah demi menjaga kesucian farji). Melalui nikah, apa yang sebelumnya merupakan dosa besar, menjadi ibadah yang dimuliakan. Nikah adalah kesucian. Tetapi, lisan dapat menjadikannya keruh.

Dari Sahl bin Sa’d As-Sa’di Radhiyallahu ‘Anh, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjamin kepadaku akan menjaga apa yang ada di antara kedua rahangnya (mulut) dan apa yang ada di antara kedua kaki pahanya (kemaluan) niscaya aku menjamin surga untuknya.” (HR Bukhari).

Suatu ketika Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘Anh bertanya, “Ya Rasulullah, apakah keselamatan itu?”

Beliau menjawab, “Tahanlah lisanmu, kerasanlah di rumahmu, dan tangisilah dosamu.” (HR Tirmidzi).

Saya tidak bisa menjelaskan bab ini lebih lanjut. Cukuplah saya akhiri bab ini dengan beberapa hadis. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni kesalahankesalahan niat dalam menikah disebabkan oleh ketidaktahuan kita, dan meluruskannya dengan menyemayamkan niat terbaik yang diridhai-Nya. Mudah-mudahan kelak kita akan mendapati pernikahan kita dan keturunan kita seluruhnya barakah dan diridhai Allah ‘Azza wa Jalla. Allahumma amin.

Al-Maqdisi mengetengahkan sebuah hadis, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Berikan penafsiran terbaik tentang apa yang engkau dengar, dan apa yang diucapkan saudaramu, sampai engkau menghabiskan semua kemungkinan dalam arah itu.”

Suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai hadis, “Jika engkau mendengar sesuatu yang mungkin diucapkan oleh saudaramu, berikan interpretasi yang terbaik sampai engkau tidak dapat menemukan alasan untuk melakukannya.”

Menanggapi pertanyaan tersebut, Imam berkata, “Carilah alasan untuknya dengan mengatakan mungkin dia berkata begini, atau mungkin maksudnya begini.”

Tabayyun (meminta penjelasan) adalah bentuk lain upaya untuk mendapatkan interpretasi sesuai dengan yang dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya. Bisa jadi kita mendengar langsung dengan orang yang berbicara, tetapi kita menangkapnya tidak sebagaimana dimaksud. Di sinilah tabayyun (mengecek kebenaran informasi) diperlukan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga diriwayatkan pernah bersabda, “Janganlah salah satu di antara kamu sekalian ber-imma’ah, yang jika orang lain baik maka engkau baik, dan jika mereka jelek maka engkau ikut jelek pula. Akan tetapi hendaklah engkau tetap konsisten terhadap (keputusan) dirimu. Jika orangorang baik, maka engkau juga baik, dan jika mereka jelek, hendaklah engkau menjauhinya keburukan-keburukan mereka.” (HR Tirmidzi).

Apakah imma’ah itu? Kita minta Muhammad Hashim Kamali, seorang guru besar ilmu fiqih pada International Islamic University, Malaysia, untuk menjelaskan. Menurut Muhammad Hashim Kamali, imma’ah adalah, “Memuji atau mencela orang lain tanpa alasan, tetapi semata-mata karena dia melihat orang lain melakukan hal itu.”

Kita imma’ah ketika kita dengan cepat menyimpulkan ucapan orang lain hanya dari mendengar selintas. Kita juga imma’ah kalau kita segera memberikan pujian karena mendengar kabar sekedarnya mengenai dia. Apalagi kalau sampai menjatuhkan kesimpulan dengan sangat yakin tentang seseorang hanya dari rumor — entah, apakah masih termasuk imma’ah atau bukan.

Alhasil, dengan kriteria seperti itu, rasanya hampir setiap hari kita terperosok ke dalam imma’ah. Kadang-kadang tersadar sesudah lewat, tetapi melakukan kesalahan lagi beberapa menit sesudah sadar.

Saya mohon ampunan kepada Allah atas berbagai perbuatan imma’ah yang saya lakukan karena ketidaktahuan saya atau karena kecerobohan saya. Saya meminta maaf kepada Anda jika saya pernah gegabah menyimpulkan ucapan Anda, padahal saya belum memeriksanya.

Apapun, kita mengharap pertolongan Allah semoga kemudahan dalam proses menumbuhkan kehangatan dan keakraban setelah menikah. Adapun kesulitan dalam proses, melahirkan kesetiaan, kedalaman cinta, dan kelurusan niat setelah melaksanakan akad nikah. Bagi mereka ketenteraman, mawaddah wa rahmah hingga hari kiamat kelak. Allahumma amin.

Rahmat Allah datang dalam berbagai bentuk.