Pesan-pesan Ibadah Haji

Haji adalah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan sekali dalam seumur bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Haji juga adalah salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang paling dimimpikan oleh setiap Muslim untuk dilaksanakan. Sekaligus haji adalah sebuah amalan Islam yang memiliki ‘gengsi’ (prestise) karena sekaligus merupakan indikasi tingkatan kehidupan sosial ekonomi seseorang.

Kewajiban haji didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, dan tentunya menjadi kesepakatan umat (ijma’ al-ummah). Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan kewajiban haji adalah: “Dan bagi Allah atas umat manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu” (ayat). Sementara hadits, antara lain: “Islam itu dibangun di atas lima pilar: …….dan berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu menunaikannya” hadits).

Oleh karena haji adalah salah satu dari lima pilar Islam dan merupakan ibadah yang dimimpikan, konsentrasi umat tentu selalu mengarah kepada nilai ritual (ta’abbudi) dari haji itu sendiri. Akbatnya, haji terkadang tidak lebih dari wahana tahunan untuk mengumpulkan pahala untuk masuk syurga. Seolah syurga Allah itu adalah sesuatu yang dibarter dengan amalan-amalan ibadah kita.

Konsekuensi langsung dari pemahaman yang terbatas itu menjadikan haji seolah kering dan kurang bermakna dalam kehidupan nyata umat ini. Seolah seorang Muslim di saat kembali dari tanah haram, dia telah menyelesaikan ‘aqd’ (kontrak) dengan Tuhan, sehingga syurga menjadi miliknya. Kehidupan nyata yang menjadi tuntutan konsekwensi pelaksanaan haji terabaikan. Sehingga sepulang haji, manusia terkadang hanyut kembali dalam kehidupan yang penuh dengan kotoran duniawi.

Risalah Haji

Haji adalah ibadah seumur hidup. Kewajban haji hanya sekali seumur manusia. Kalaupun ada yang berhaji berkali-kali maka haji setelah yang pertama itu tidak lebih dari haji yang sunnah hukumnya.

Haji menjadi kewajiban sekali seumur karena haji merupakan refleksi lengkap dari kehidupan manusia itu sendiri. Haji merupkan miniature (gambaran kecil) kehidupan manusia, sejak lahir hingga kembali ke pangkuan Ilahi, sang Pencipta.

Apa saja risalah (pesan) haji yang harus kita ketahui? Berikut pesan-pesan itu disampaikan secara ringkas:

1. Pesan fithrah

Bahwa manusia semuanya tanpa kecuali terlahir dalam keadaan fitri (suci, natural dan tidak berdosa). Kesucian manusia itu bersifat abadi dan tidak pernah hilang (laa tabdiila li khaliqillah). Yang terjadi kemudian adalah manusia rentang menjadi lupa dan tidak sadar sehingga terbawa arus godaan duniawi. Di sinilah manusia dikenal dengan nama itu (insan), salah satunya berarti pelupa. Walaupun kata manusia juga bisa berasal dari kata ‘anasa-ya’nasu-unsun’ yang berarti jinak/tidak buas.

Kenyataan di atas menjadikan haji sebagai salah satu pilar Islam menjadi sangat urgen dan signifikan. Karena haji dimulai dengan simbolisasi kesucian atau ihram (dari kata ahrama-yahramu-ihram atau haram). Kata ‘haram’ berarti kesucian yang tidak boleh dilanggar. Larangan-larangan adalah sesuatu yang tidak boleh dilanggar, dan melanggarnya adalah melanggar kesucian larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka pilar pertama dari haji (ihram) adalah risalah atau pesan sekaligus pengakuan akan eksistensi fitrah manusia yang harus dipertahankan. Fitrah adalah modal utama kehidupan manusia. Dan ketika fitrah manusia terkalahkan oleh egoisme hawa nafsunya maka disitulah kemudian rentang terjadi berbagai kerusakan (al-fasadu) dalam kehidupannya (lihat Ar-Rum).

2. Risalah Tauhid

Manusia juga tanpa kecuali terlahir untuk sebuah tujuan universal. Yaitu melakukan pengabdian total kepada sang Pencipta. Pengabdian total inilah yang sebut dengan ibadah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah: “Tidaklah Saya menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaKu” (Ayat).

Kenyataannya karena kelalaian jugalah banyak manusia kemudian tidak sadar bahwa hidupnya, bahkan matinya sekaligus, tidak lain ditujukan hanya sebagai pengabdian kepada Tuhan yang maha Tunggal. Karena kelalaian ini, manusia kemudian menjalani hidupnya dalam segala aspeknya tidak lain untuk memenuhi hasrat hawa nafsunya. Atau sebagian yang beragama Islam, pengabdiannya menjadi kikir dan sempit karena hanya dalam hal-hal amalan agama yang bersifat ritual semata.

Di sinilah haji mengingatkan dalam pengakuan lisan yang pertama: “Labbaika allahumma labbaik, labbaika laa syaraiika laka labbaik…dan seterusnya”.

Bahwa kedatangan haji ke tanah suci tidak lain untuk melakukan komitmen baru. Atau melakukan sumpah baru bahwa hidupnya tidak lain adalah dating memenuhi ajakan ilahi dalam mengabdi kepadaNya. Pengabdian totalitas kepada Ilahi ibilah yang diistilahkan dalam agama Islam dengan sebutan Tauhid. Yaitu sebuah konsep yang memahami bahwa Tuhan adalah pusat kehidupan, maka segala lini kehidupan manusia semuanya dan secara totalitas ditujukan sebagai pengabdian kepada Yang Maha Tunggal itu.

3. Risalah kehidupan

Bahwa semua manusia terlahirkan ke atas dunia ini tidak lain menjalani kehidupan ini dengan tujuan yang telah ditentukan. Manusia sesungguhnya sedang dalam perjalanan (haji secara kata berarti perjalanan ke tujuan yang jauh) dari satu titik poin ke titik poin yang sama. Ini perjalan ini tergambarkan dalam filsafat hidup seorang Muslim: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”.

Haji adalah gambaran perjalanan itu. Dan semua yang tergambarkan dalam perjalanan itu terilustrasikan dalam berbagai amalan ritual haji. Ambillah misalnya, persiapan haji. Persiapan harus bersifat totalitas; fisik, akal dan ruh. Perjalanan hidup manusia juga tidak mungkin akan dijalani secara maksimal dan utuh tanpa persiapan totalitas tersebut. Manusia hanya bisa menjadi manusia dengan ketiga aspek kehidupan yang tidak terpisahkan: Jasad, akal, dan ruh.

Thawaf membawa pesan makna kehidupan yang memang berputar. Bahwa hidup itu tidak kemana-mana. Batas kemampuan manusia juga hanya berputar di sekitar itu dan juga batas kehidupannya juga tidak jauh dari perputarannya. Dalam batas-batas yang telah ditentukan itulah, umur, rezeki, jodoh, mati, dan lain-lain, manusia berjalan/berputar. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa apapun yang terjadi dalam perputaran itu, jangan lupa Ka’bah (simbol Al Haq atau kebenaran) harus tetap menjadi sentra kehidupan.

Sa’i membawa pesan bahwa tidak ada yang gratis dalam hidup ini (nothing is free) kata orang. Diperlukan kerja keras (sa’i berarti kerja/usaha keras) seperti ikhtiyar atau usaha yang pernah dilakukan oleh Ibu ismail, Sitti hajar, mencari air demi kelanjutan hidupnya dan anaknya. Namun usaha apapun yang dilakukan dalam hidup ini, perlu diyakini bahwa sumber segala sesuatu (Source of all sources) hanya Dia yang Ar-Razzaq al-Alim. Oleh karenanya, sekuat tenaga Hajar mencari air, dari tempat yang dia yakini sebagai sumber, kenyataannya Allah yang menetukan sumber tersebut.

4. Pengenalan (Arafah)

Proses pengenalan kembali adalah tuntutan hidup yang penuh intrik. Dalam proses kehidupan manusia, dia terlupa akan hakikat dirinya dan kosekwensinya lupa akan Penciptanya. Oleh karenanya proses pengenalan (arafah) diri menuju pengenalan Tuhan (man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu) merupakan risalah terpenting dari haji. Di sinilah wukuf di Arafah menjadi puncak pelaksanaan haji (al-hajju Arafah, kata Rasul).

Di wukuf Arafah inilah jamaah haji mengagumkan keesaan Ilahi dengan dzikir yang paling utama: “Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa alaa kulli syaein qadir”. Dzikir ini merupakan pengakuan keesaan Ilahi kembali setelah tertimbung dalam keangkuhan dan egoisme manusia itu sendiri.

Dzikir bukan sekedar mengucapkan mantra-mantra atau bacaan tertentu. Tapi dzikir adalah simbolisasi introspekasi diri (self introspection) atau muhasabah dalam bahasa agama. Hanya dengan muhasabah kita akan mampu melakukan reparasi kerusakan hati/jiwa yang berpegaruh dalam prilaku dan sikap manusiawi kita.

5. Hadapi tantangan itu

Ternyata risalah atau pesan hidup juga mengajarkan bahwa dalam hidup tidak selamanya kita berjalan di atas karpet merah (red karpet). Hidup penuh dengan godaan, rintangan dan duri. Oleh karenanya, kesadaran manusiawi kita mengajarkan bahwa manusia harus siap menghadapi rintangan tersebut. Manusia, selama masih menghembuskan nafas kehidupannya, tidak akan bisa lari dari tantangan tersebut.

Di sinilah haji membawa risalah persiapan menghadapi tantangan, godaan maupun kesulitan hidup. Mabit di Muzdalifah adalah simbolisasi persiapan lahir batin (dengan dzikir dan mengumpulkan bebatuan) dalam peperangan abadi melawan rintangan hidup itu. Kelanjutan perjalan dengan menginap selama tiga hari melempar jumrah, merupakan simbolisasi keseriusan pertarungan ini. Bahwa pertarungan ini bersifat abadi dan nyata dalam hidup manusia.

6. Akhir perjalanan itu

Pada akhirnya di penghujung perjalanan suci (ibadah) itu manusia akan meninggalkan tanah haram. Meninggalkan tanah haram bagi seorang Muslim tidak lebih dari meninggalkan medan perjuangan pengabdian kepada Ilahi (dunia ini). Dan oleh karenanya, satu hal yang perlu dipastikan bahwa sebelum meninggalkan tanah haram perlu dilakukan kepastian tawah (dengan thawaf wada).

Thawaf wada ini adalah simbolisasi kepastian pengabdian kepada Ilahi dalam menghadap kepadaNya. Pengabdian dalam perjalanan menghadap kepadaNya inilah yang dikenal dengan “husnul khatimah” atau akhir yang baik. Keadaan husnul khatimah digambarkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang akhir kata-katanya adalah laa ilaaha illallah, dia masuk syurga” (hadits).

7. Universalisme kemanusian

Akhirnya, haji juga melahirkan komitmen universalisme ukhuwah (persaudaraan) manusia yang dibangun di atas asas kekeluargaan. Penyampaian ayat-ayat Al-Qur’an mengenai kewajiban haji menggambarkan dengan jelas pengakuan ikhuwah (persaudaraan) universal manusia. Bahwa semua manusia itu bersaudara karena memang tercipta dari seorang bapak dan seorang ibu (Adam & Hawa).

Manusia yang berkumpul di sebuah padang luas di Arafah, dengan latar belakang yang berbeda-beda (ragam) namun hanyut dalam satu hati dan pikiran, menghamba kepada sang pencipta menggambarkan pesan ini. Bahwa semua mansia berada dalam posisi yang sama, walau memiliki latar belakang yang berbeda. Risalah ini pernah disampaikan oleh Rasul di saat menyampaikan khutbah di padang Arafah, yang lebih dikenal dengan ‘khutbatul wada’ (khutbah perpisahan). Di mana beliau menegaskan: “Tuhan kalian Satu, ayah (dan ibu) kalian juga satu. Semua kalian berasal dari Adam (keturunan Adam) dan Adam tercipta dari tanah. Tiada kelebihan orang Arab di atas non Arab, dan tiada kelebihan orang putih di atas orang hitam kecuali karena ketakwaan”.

Komitmen kesetaraan dana keragaman inilah yang kemudian disadari atau tidak mengilhami para pejuang HAM dan kesetaraan di abad modern.

Semoga mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji, pernah dan akan melakukannya diberikan kesempatan untuk memahami secara dalam pesan-pesan atau risalah haji tersebut. Amin!

New York, 3 Oktober 2013

Muhammad Shamsi Ali