Prinsip Pertama: Kesempurnaan Islam (2)

Setelah memberikan penjelasan dengan global, Imam Syahid memerincinya untuk menjelaskan esensi universalitas Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Beliau berkata,

“Islam adalah negara dan tanah air, atau pemerintahan dan umat, ia adalah akhlak dan kekuatan, atau kasih sayang dan keadilan, ia adalah wawasan dan perundang-undangan, atau ilmu pengetahuan dan peradilan, ia adalah materi dan kekayaan, atau kerja dan penghasilan, ia adalah jihad dan dakwah, atau tentara dan fikrah, sebagaimana ia adalah akidah yang bersih dan ibadah yang benar.”

Islam Adalah Negara

Daulah (negara) menurut para pakar tata negara adalah sekumpulan manusia yang bermukim secara permanen pada satu wilayah dan mempunyai penguasa yang memerintah, menguasai, serta mengatur urusan mereka di dalam maupun di luar negeri.

Melalui definisi di atas jelaslah bahwa rukun-rukun yang harus ada untuk eksis dan tegaknya sebuah negara adalah adanya umat, tanah air, dan penguasa yang memerintah.

Islam dengan segala prinsip, tatanan, syariat, dan realitas sejarahnya yang panjang, sejak pertama kali dikumandangkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa aspek-aspek utama negara tersebut, dengan maknanya yang utuh, sesuai dengan universalitas dan kesempurnaan Islam.

Keberadaannya, sebagaimana yang dimaksudkan bahwa dalam Islam terdapat hukum-hukum yang mengatur dan memperhatikan urusan-urusan negara. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya sebagaimana dipahami sebagian orang yang tidak tahu Islam atau pura-pura tidak tahu hukum-hukumnya. Bahkan sebaliknya, di samping mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan kelompok (jamaah), dan hubungan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

Jamaah inilah yang menggunakan tatanan politik tertentu yang disebut negara. Negara ini dipimpin oleh kepala negara yang dalam terminologi fiqh disebut sebagai imam atau khalifah.

Islam telah menjelaskan dasar-dasar negara tersebut, mekanisme pemilihan pemimpin, hubungan individu dengan negara, hak dan kewajiban warga negara terhadap negara, serta hak dan kewajiban negara terhadap individu. Semua pembahasan ini sudah sangat dikenal dalam kitab-kitab hadits dan fiqh Islam.

Kesimpulan berkenaan dengan masalah ini adalah bahwa dalam islam, negara dibangun berdasarkan landasan ideologis yang tidak lain adalah Islam. Ia adalah negara akidah, bukan nasionalis, rasialis, maupun regionalis.

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…” (QS. Saba’ : 28)

Pemimpinnya dipilih oleh kaum Muslimin sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang tersimpul dalam kapabilitas dan amanah. Tujuan pemilihannya adalah untuk melaksanakan syariat Allah dan memimpin rakyat untuk mengikuti syariat itu, sebagaimana firman-Nya,

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia…” (QS. Al-Hadid : 25)

Makna Al-Kitab pada ayat di atas adalah Alquranul Karim yang memuat prinsip-prinsip agama dan risalah yang terakhir. Imam Thabari menjelaskan maksudnya, ‘Dan Kami turunkan bersama mereka itu kitab suci dengan hukum, syariat, dan neraca keadilan yang ada di dalamnya.’ Fakhrurazi menjelaskan bahwa kata Al-Kitab pada ayat ini menunjuk pada hukum-hukum yang memerintahkan berlaku adil dan objektif yang Allah sebutkan di dalam Kitab-Nya.

Mizan (neraca) pada ayat di atas memberikan isyarat untuk berlaku adil antar sesama umat manusia dengan timbangan yang adil dan memenuhi hak-hak mereka. Dalam tafsir Ar-Razi dikatakan, ‘Neraca pada ayat di atas memberikan isyarat agar kita memperlakukan manusia berdasarkan hukum-hukum Allah yang dibangun di atas prinsip keadilan.’

Qisth (keseimbangan) maksudnya menegakkan kehidupan manusia berikut berbagai aktivitasnya berdasarkan prinsip keseimbangan pada berbagai aspeknya, tanpa melebihkan sisi yang satu terhadap sisi yang lain atau kelompok tertentu atas kelompok yang lain.

Hadid (besi) adalah lambang kekuatan yang menopang prinsip-prinsip Al-Quran, neraca keadilan, dan prinsip-prinsip keseimbangan. Tentang diturunkannya besi ini Ibnu Katsir berkata, ‘Allah menjadikan besi untuk memaksa orang yang enggan menerima kebenaran dan menentangnya setelah ada kejelasan hujah atas mereka.’

Adapun kedudukan individu dalam negara Islam, hal ini sangat jelas. Setiap individu bertanggung jawab atas baik buruknya kemajuan negara dan pelaksanaan tugas kepala negara. Selanjutnya mereka berhak mengawasi, menasihati, membimbing, dan mengkritik kepala negara.

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS. Ali ‘Imran : 159)

“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…”  (QS. Asy-Syura : 38)

Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, “’Agama adalah nasihat.’ Kami bertanya, ‘Kepada siapa?’ Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kepada Allah, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam, dan kaum Muslimin pada umumnya.’”[1]

Kaum Muslimin telah memahami semua itu dan mempraktikkannya secara nyata bersama khalifah-khalifah mereka. Para khalifah juga mengakui hak mereka. Di antaranya adalah pidato khalifah pertama, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, “Jika saya baik, tolonglah saya, tapi bila saya berbuat buruk maka luruskanlah saya. Taatilah saya selama saya menaati Allah dan Rasul-Nya.” Khalifah Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu juga berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihat kebengkokan pada diri kami, hendaklah ia meluruskannya.” Mendengar pidatonya itu, berdirilah seorang badui seraya berkata, “Demi Allah, jika aku melihat kebengkokan pada dirimu niscaya akan kuluruskan dengan pedangku ini.” Sayidina Umar sangat gembira dengan jawaban itu sehingga beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan satu di antara umat Muhammad yang mau meluruskan kebengkokan Umar dengan pedangnya.”

Di sisi lain, negara bertanggung jawab atas keamanan dan kehidupan yang layak bagi warga negaranya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‘Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya, seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.’

Itulah negara menurut konsepsi Islam, tugas dan perannya, serta kedudukan warga negara di dalamnya.

Daulah tidak dapat tegak kecuali di atas dasar-dasar dan rukun-rukun. Hal itu telah disinggung oleh Imam Syahid untuk mengingatkan bahwa Islam dengan sistemnya telah mencakup semuanya, yaitu:

1.    Wathan (bumi dan tanah air)

Menurut bahasa, tanah air adalah tempat yang dihuni oleh manusia atau tempat menetap yang permanen di permukaan bumi, misalnya: seseorang bertanah air, maksudnya menjadikannya sebagai tempat tinggal menetap; atau saya bertanah air maksudnya saya menjadikannya sebagai tanah air.

Pengertian secara bahasa di atas memberikan inspirasi bahwa bertanah air adalah tinggal dan menetap di suatu tempat untuk memanfaatkan berbagai potensi dan kekayaan alam yang Allah sediakan di tempat itu bagi umat manusia.

Adapun konsepsi jahiliah, khususnya yang kontemporer, tanah air tidak mempunyai pengertian yang jelas. Dalam konsep jahiliah pengertiannya terkadang dipengaruhi oleh kepentingan tertentu dan terkadang juga didasarkan kepada persepsi yang salah. Definisi yang diutarakan oleh para pakar politik berbeda dengan definisi para ahli sosiologi, definisi para ahli sosiologi berbeda dengan definisi para pemilik kepentingan.

Adapun Islam, ia telah membatasi maknanya dan menetukan kandungannya, yaitu suatu tempat yang diperintah oleh akidah, sistem hidup, dan syariat dari Allah. Dengan definisi ini dapat disimpulkan bahwa negeri Muslim adalah seluruh wilayah Islam yang ketika Islam masuk penduduknya tinggal di sana, atau wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kaum Muslimin, pemerintahan negara Islam berdiri, dan memberlakukan hukum-hukumnya di sana.

Dari definisi tersebut jelaslah bahwa dalam pandangan Islam, tanah air bukan sesuatu yang dianggap suci seperti anggapan orang-orang jahiliah. Ia juga bukan tuhan yang disembah sebagaimana mereka gembar-gemborkan. Ia adalah satu di antara makhluk-makhluk Allah lainnya, yang kesuciannya bersumber dari kesucian akidah yang diberlakukannya di negeri itu dan mendapatkan penghormatan serta kecintaan yang tulus dari warga negaranya karena mereka mendapati bahwa syariat diterapkan diatasnya.

Karena itu para ulama berkata, ‘Setiap negara yang memerangi seorang Muslim karena akidahnya, menghalanginya dari (menjalankan) agamanya, dan tidak mengamalkan syariatnya adalah Darul Harb (daerah perang) walaupun di dalamnya terdapat keluarga, kerabat, kaum, harta dan perniagaannya.

Sebaliknya, setiap wilayah yang akidahnya ditegakkan dan syariatnya diterapkan adalah Darul Islam (negeri Islam) walaupun ia tidak memiliki keluarga, kerabat, golongan, harta, maupun perniagaan di dalamnya. Karena itu mereka mengatakan bahwa Darul Harb adalah tanah air orang-orang kafir, sedangkan Darul Islam adalah tanah air kaum Muslimin.

Imam Syahid rahimahullah mengatakan bahwa Islam telah memperluas batasan tanah air, ia berpesan untuk selalu berusaha dan berjuang demi kebaikannya, dan berkorban untuk meraih kemerdekaan serta kebesarannya.

Tanah air dalam tradisi Islam meliputi:

Pertama, wilayah yang khusus terlebih dahulu;

Kedua, kemudian berkembang meluas ke negeri-negeri Islam lain, sehingga seakan-akan ia menjadi negeri dan tanah air bagi orang Islam;

Ketiga, kemudian berkembang menuju daulah islamiah pertama yang telah dibangun oleh para pendahulu dengan darah mereka yang mahal dan mulia yang kemudian mereka meninggikan panji Allah di atasnya. Sisa-sisa peninggalan mereka di negeri-negeri itu menjadi saksi pengobanan dan kebesaran mereka. Berkenaan dengan seluruh wilayah ini, setiap Muslim akan ditanya dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala, ‘Mengapa ia tidak berusaha merebutnya kembali?’

Keempat, setelah itu kemudian negeri Muslim meningkat hingga mencakup seluruh dunia. Tidakkah Anda dengar Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah.” (QS. Al-Anfal : 39)

Dengan demikian Islam telah menyejajarkan antara tanah air khusus dan tanah air umum dengan hal-hal yang mengandung kebaikan bagi seluruh umat manusia.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat : 13)

Adapun hak tanah air Islam, negara Islam wajib melindungi batas-batas wilayahnya dengan segala kekuatan dan senjata, serta menentang setiap tindakan yang menginjak-injak kehormatannya. Selain itu, kaum Muslimin seluruhnya juga harus melindungi dan membelanya. Ini adalah kewajiban agama yang harus mereka kerjakan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Allah tidak melarangmu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarangmu menjadikan kawan orang-orang yang memerangimu karena agama, mengusirmu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah : 8 – 9)

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka.” (QS. Al-Hajj : 39)

Imam Syahid berkata, “Sesungguhnya ukhuwah islamiah telah menjadikan setiap Muslim berkeyakinan bahwa setiap jengkal tanah yang didiami oleh saudara yang beragama dengan agama Al-Quran adalah bagian dari bumi Islam, pada umumnya Islam mewajibkan semua pemeluknya untuk berusaha melindungi dan menyejahterakannya. Dengan begitu, menjadi luas dan tinggilah ufuk tanah air Islam, dari sekadar batas-batas wilayah geografis dan daerah menuju wilayah prinsip-prinsip yang luhur, akidah yang bersih dan benar, serta hakikat-hakikat yang Allah jadikan sebagai petunjuk dan cahaya bagi seluruh alam. Ketika menanamkan perasaan akan makna ini dan menanamkannya di dalam jiwa pemeluknya, pada saat yang sama Islam membebankan kewajiban yang pasti untuk melindungi bumi Islam dari permusuhan orang-orang yang melampaui batas, membebaskannya dari tangan orang-orang yang merampasnya, serta membentenginya dari ambisi dan ketamakan orang-orang yang melampaui batas. Itulah tanah air Islam, itulah batas-batasnya, dan itulah konsepsi Muslim yang benar tentangnya.”

2.    Umat

Umat adalah sekelompok manusia yang disatukan oleh ikatan tertentu yang menjadikan mereka sebagai komunitas istimewa yang saling menyatu dan ingin hidup bersama dengan penuh ketentraman.

Islam, sebagai sistem yang berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui kepentingan dan dorongan hamba-hamba-Nya, Ia telah memilihkan untuk umat-Nya itu ikatan yang paling kuat, kukuh, dan kekal, yaitu ikatan akidah dan takwa.

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf : 67)

Jika demikian halnya, ikatan ini saja cukup untuk membentuk umat yang satu sementara ikatan lainnya tidak akan mampu menegakkan umat itu. Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat : 10)

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu. Dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’ : 92)

Ikatan ini tidak mempedulikan perbedaan-perbedaan ras, bahasa, maupun daerah karena akidah Islam yang menyatukannya. Karena itu Imam Syahid rahimahullah berkata, “Dari sinilah maka jamaah yang mengimani Islam, betapapun berbeda negeri, warna kulit, ras, dan sukunya, menurut tradisi Islam seluruhnya merupakan satu umat yang sangat kuat pegangannya dan sangat agung ikatannya. Hubungan mereka telah sampai pada derajat persaudaraan yang tulus, kemudian meningkat menjadi kecintaan, dan meningkat lagi sampai tingkat itsar (mendahulukan kepentingan orang lain).

“Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr : 9)

Dengan demikian Islam adalah akidah dan kebangsaan. Bukan kebangsaan yang didasarkan kepada darah dan tanah air, ia adalah kebangsaan yang didasarkan kepada jiwa persaudaraan. Ikatan inilah yang paling kuat dan paling efektif.

Al-Quran telah menegaskan hakikat-hakikat tersebut. Ia mengatakan,

“Dan orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” (QS. At-Taubah : 71)

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat : 10)

“Dan ingatlah akan nikmat Allah yang diberikan kepada kalian ketika kalian dulu (masa jahiliah) bermusuhan, maka Allah menjinakkan hati kalian, lalu menjadilah kalian dengan nikmat-Nya orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali ‘Imran : 103)

Prinsip ini menjadikan umat Islam sangat istimewa dibanding umat-umat jahiliah yang menjadikan jalannya bukan ikatan akidah tapi berupa ras, bahasa, wilayah, geografis, dan tradisi. Karena itu jadilah umat Islam sebagai bangsa terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia dan umat pertengahan yang menjalankan fungsinya sebagai saksi atas umat manusia.

3.    Hukumah (Pemerintahan)

Hukumah yaitu kekuasaan yang memerintah, ia merepresentasikan jadi diri umat secara utuh, mengatur urusan sosial, ekonomi, pertahanan, manajemen politik dalam negeri, dan menata hubungannya dengan negara lain. Semuanya itu diatur dan dikelola dengan kekuasaan yang dimilikinya, baik kekuasaan material maupun spiritual.

Islam menganggap bahwa menegakkan lembaga pemerintahan ini adalah kewajiban yang pasti dan merupakan salah satu prinsip sosial kemasyarakatan yang dibawanya untuk umat manusia. Ia tidak memperbolehkan terjadinya kekacauan dan tidak membiarkan komunitas Muslim tanpa pemimpin. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‘Jika kalian bertiga, hendaklah kalian mengangkat salah seorang di antara kamu menjadi pemimpin.’ (HR. Abu Daud)

Di samping itu Islam juga mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan lembaga kekuasaan ini, merumuskan karakteristiknya, menjelaskan hak-hak dan kewajibannya, dan mengaitkan legitimasi kekuasaan pemerintah itu dengan tingkat komitmennya berdasarkan aturan dan syariat yang dibuatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasulullah, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’ : 59)

Ketaatan kepada para pemimpin (pemerintah) sangat terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‘Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf.’ (Mutafaq ‘Alaih)

Dalam hadits lain disebutkan,

‘Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.’ (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim).

Dengan demikian yang dimaksud pemerintah oleh Imam Hasan Al-Banna di sini adalah pemerintah Islam yang di antara karakteristiknya yang khas adalah bersifat qurani dan syura.

Disebutkan pemerintahan Qur’an karena ia tegak di atas prinsip-prinsip Al-Qur’an dan tunduk kepada kaidah-kaidah dan hukum-hukumnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al-A’raf : 3)

“Hendaklah engkau memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Al-Ma’idah : 49)

Disebut pemerintahan syura karena ia tidak diktator dalam menentukan kebijakan tanpa bermusyawarah dengan Ahlul Hali wal Aqdi. Sebaliknya, ia selalu mempertimbangkan pandangan dan pendapat mereka, khususnya dalam hal-hal yang sangat penting karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali ‘Imran : 159)

Syura tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang belum diatur dengan nash-nash Al-Qur’an maupun Sunah. Ia merupakan salah satu sifat mendasar orang-orang yang beriman.

“Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (QS. Asy-Syura : 38)

Karena itu jamaah Islam tidak boleh mendirikan atau rela menegakkan urusannya sendiri tanpa didasarkan kepada syura. Jika demikian halnya, berarti mereka berdosa dan mengabaikan perintah Allah subhanahu wa ta’ala.

Di antara tugas pemerintahan Islam adalah menghilangkan segala bentuk syirik dengan melancarkan dakwah Islam, menegakkan shalat, menunaikan zakat, amar ma’ruf nahi munkar dan mengendalikan umat manusia agar tetap berada pada batas-batas ajaran Allah.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dan tidak mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur : 55)

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang munkar, dan kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan.” (QS. Al-Hajj : 41)

Itulah karakteristik utama pemerintahan Islam yang apabila tidak demikian maka ia kehilangan sifat Islamnya dan termasuk pemerintahan jahiliah yang umat Islam wajib menggantikanya dengan pemerintahan Islam yang komitmen dan melaksanakannya.



[1] Penerjemah memahami bahwa kata nashihah dalam bahasa Arab maknanya tidak sama dengan kata nasihat dalam bahasa Indonesia, meskipun nasihat dengan makna bahasa Indonesia termasuk dalam pengertian nashihah di atas. Suatu kejanggalan bila Allah subhanahu wa ta’ala., kitab suci-Nya, dan Rasul-Nya dinasihati oleh kita. Dengan melihat akar katanya yaitu nashaha yang berarti murni, kita dapat mengerti bahwa nashihah di sini berarti ketulusan. Taubatan nashuha adalah tobat yang setulus-tulusnya. Wujud ketulusan hati kita kepada Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Riyadussalihin adalah keikhlasan dalam beribadah, ketaatan, ketundukkan, kepatuhan, takut, harap, dan berdoa kepada-Nya. Ketulusan hati bagi Rasul-nya diwujudkan dengan mengikuti Sunahnya, ketulusan hati untuk para pemimpin diwujudkan dengan memberikan masukan dan kritik. yang membangun, ketulusan hati untuk kaum Muslimin diwujudkan dengan memberi mau’izhah (nasihat), memberi masukan, kritik, dan amar ma’ruf nahi mungkar. Wallahu a’lamu bish-shawab. –penerj.