“Rasionalisme” dalam Islam dan Reaksi Atasnya (1)

(Aliran Paham Mu’tazilah Dan Ahlis Sunnah).

I

Pendahuluan

Paham, pengertian dan keyakinan tentang ketuhanan dan apa yang bersangkut dengan itu yang termaktub dalam Quranul-Karim telah menjadi buah permenungan dan perbincangan ahli akal semenjak abad hijrah yang pertama, jauh sebelumnya orang Islam berkenalan dengan falsafah Yunani.

Maka, sebagaimana yang telah kita terangkan di waktu memperbincangkan Ikhwanus-Shafa’, pada permulaan abad kedua Hijrah mulailah timbul satu aliran paham yang dikemukakan oleh beberapa ahli akal yang terkemuka, yang mendirikan satu mazhab yang dinamakandengan “Mu’tazilah”.

Muarrikhin Barat pernah menamakan pergerakan ini dengan “Rationalisme” dalam Islam. Kita sengaja menuliskan perkataan “rationalisme” dengan koma dua-serangkai oleh karena pada hakikatnya rasionalisme sebagaimana yang terkenal di Barat itu tidak sama dengan paham dan i’tikad yang dibentangkan oleh ulama Mu’tazilah tersebut.

Sebagian dari masalah-masalah yang penting yang menjadi pusat perbincangan kaum Mu’tazilah ini, ialah tentang: “sifat-sifat Tuhan” dan masalah “qadha dan qadat”, “apakah Qura’n itu makhluk atau tidak”, dan beberapa masalah yang lain lagi yang bersangkutan dengan i’tikad. Selain dari pada itu mereka tidak ketinggalan memperbincangkan masalah-masalah politik, khususnya masalah khilafah.

Memang dalam zaman itu soal pemerintahan negara sudah mengobarkan perhatian kaum Muslimin umumnya. Malah ditentang masalah yang satu ini pula telah berdiri ber-macam-macam firkah yang masing-masing-nya memperhubungkan pendirian politik mereka dengan salah satu keyakinan yang bersifat keagamaan. Masing-masing mendasarkan cita-cita kenegaraannya kepada suatu kepercayaan suci yang jadi sumber dan tenaga pencapai cita-cita itu. Ada yang berbuat demikian dengan sungguh-sungguh dan’ ikhlas, ada pula yang sekedar hendak memakai semboyan keagamaan, untuk “pensucikan” dan pembenarkan tingkah laku mereka pada penglihatan dunia umum.

Memang rupanya, tiap-tiap usaha pencapai salah satu maksud yang berkehendak kepada pengurbanan umat yang banyak, susah melakukannya bila tidak berdasarkan’ satu i’tikad yang suci atau yang dianggap suci, sekalipun adakalanya maksud yang hendak dituju itu pada hakikatnya pemuaskan nafsu keduniaan se-mata-mata.

Adapun perhubungan masalah siasat-negara dengan falsafah dalam kebudayaan Islam adalah satu soal yang berkehendak kepada perbincangan yang terkhusus. Lebih dahulu kita kembali kepada perjalanan masalah yang berhubungan dengan ketuhanan antara lain. masalah:

Qadha dan Qadar

Masalah ini, masalah tua; bukan masalah yang dibawa oleh Agama Islam sendiri. Soal ini ialah satu soal yang telah pernah menggulung hati dan memeras otak manusia umumnya, malah jauh sebelum datangnya Islam. Telah berjumpa dalam kalangan Kristen, bahkan dalam kalangan yang diluar dan sebelum agama Kristen, antara lain dalam kalangan falsafah yang lebih dulu.

Tidak mustahil pula, kalau orang berkata, bahwa dalam hal ini padri-padri dan ulama-ulama Kristen mempunyai pengaruh pula banyak-sedikitnya, dengan memasukkan buah pertengkaran dari lingkungan gereja mereka sendiri kedalam dunia Islam. Baik dengan maksud hendak memalingkan minat dan perhatian kaum Muslimin dari pada amal dan jihad mereka yang amat berbahaya bagi kekuasaan Kristen dizaman itu — ataupun tidak. Ala kulli hal, di masa itu banyak pula di dalam kalangan Muslimin, orang-orang Kristen yang baharu masuk Islam dan yang masih menganggap bahwa pembahasan dan perbincangan tentang masalah qadha dan qadar dan yang semacam itu adalah sebagian dari amalan-amalan orang yang saleh (Marmaduke Pickthall: “Islamic Culture”, vol VII: 685).

Muarrikhin yang sepakat dengan teori ini (tentang asal-usulnya aliran paham Mu’tazilah), mengemukakan juga bahwa di zaman pemerintahan Bani Umaiyah terjadilah perhubungan yang lebih rapat antara kaum Muslimin dan kaum Kristen di Siria yang, — berkat keluasan dada serta ketinggian budi pekerti orang Islam terhadapagama lain —, senantiasa mendapat penghargaan yang cukup dari pemerintah negeri. Dalam keadaan yang demikian tak dapat tidak pertukaran fikiran dalam masalah-masalah agama akan timbul dengan sendirinya antara kedua belah pihak.

Diriwayatkan bahwa seorang ahli ilmu kalam Kristen yang bernama Yohannes van Damascus (lahir th. 676 M.) anak dari seorang Kristen yang bergaul baik dengan Khalifah ‘Abdul Malik, pernah menulis satu kitab pembelaan agama Kristen terhadap Islam dengan cara bersoal jawab.

Tidak mustahil, apabila pendirian Yohannes ini, yang antara lain berhubung dengan “keselamatan manusia”-dan “pengampunan dari Tuhan”, ber-macam-macam ajarannya perihal „kemerdekaan manusia tentang mempunyai dan menjalankan kemauan”, masuk pula kedalam dunia Islam, disambut dan dikupas lebih lanjut oleh mereka yang menamakan diri mereka bermazhab: “Murjiyah” dan “Qadhariyah” (G. Brockelmann: hal. 66).

Sebagaimana yang kita katakan, ini satu teori, dan tidak lebih dari itu. Dalam pada itu kita percaya, bahwa satu umat yang telah cukup tingkatan kecerdasanya, yang telah sampai kepada perasaan yang halus, yang telah dianugerahi akal yang kuat dan subur (aqlul fa’al) seperti umat Islam dalam zaman keemasannya itu, sudah tentumungkin dengan sendirinya sampai kepada masalah-masalah yang pernah menjadi buah perbincangan umat yang telah lebih dahulu dari mereka, yang tingkatan peradabannya kira-kira sama dengan tingkatan kebudayaan mereka sendiri. Seringkah kita melihat bagaimana dua zaman yang amat berjauhan, diantarai oleh beberapa abad, mungkin menghasilkan pujangga yang bersamaan aliran fikirannya, walaupun tak ada perhubungan antara satu dengan yang lain, dan walaupun yang satu di Timur, yang satu di Barat.

Antara Imam Ghazali dengan Descartes ada lebih kurang 5 abad. Yang seorang di Bagdad dan yang lain di Perancis. Akan tetapi aliran fikiran Ghazali dalam “Tahafut” bertemu kembali dalam perbmcangan Descartes dalam buku “Discours de la Methode”. Rupanya beberapa anasir dan keadaan-keadaan yang bersamaan dalam dua zaman yang berjauhan itu telah menghasilkan dua aliran fikiran manusia yang menunjukkan beberapa persamaan pula. Manakah bertemu dengan yang seperti itu, biasanya disudahi orang saja, dengan kata kesimpulan “Y’histoire se repete”: “Zaman beredar, riwayat berulang!” Hal yang demikian ini tak boleh kita lupakan bilamana kita hendak menjawab pertanyaan: dimanakah asal-usulnya mazhab Mu’tazilah, atau dari manakah datangnya aliran “tasawuf” dan yang semacam itu.